Intan Jaya, Papua Tengah, — Laporan terbaru dari lapangan menyebutkan empat warga sipil kembali tewas dalam operasi militer yang dilakukan oleh Satgas Habema di Kampung Zoambili, Distrik Sugapa, pada Jumat, 7 November 2025.
Operasi tersebut merupakan bagian dari penempatan pasukan bersenjata di wilayah Intan Jaya sejak awal November. Dalam dua pekan terakhir, sedikitnya 39 orang dilaporkan tewas, baik dari pihak sipil maupun kombatan, akibat serangkaian bentrokan dan serangan udara di beberapa kampung.
Unggahan akun Papua Berkisah di media sosial menulis, “Korban terbaru dilaporkan dari Kampung Zoambili, di mana empat nyawa kembali melayang akibat operasi militer yang dipimpin oleh Komandan Operasi Habema.”
Sumber tersebut menyebutkan, dasar pelaksanaan operasi bersenjata itu merujuk pada Surat Keputusan (SK) Bupati Intan Jaya, Aner Maiseni, yang diterbitkan 14 Maret 2025. SK tersebut disebut sebagai legalitas operasi militer di sejumlah distrik, termasuk Hitadipa dan Sugapa.

Namun kebijakan itu justru memicu penolakan warga sipil yang menilai operasi militer telah memperburuk situasi kemanusiaan. “Situasi semakin mencekam. Banyak yang mengungsi, banyak pula yang hilang,” tulis laporan yang sama.
Koalisi masyarakat sipil dan sejumlah tokoh gereja sebelumnya juga telah meminta pemerintah pusat untuk meninjau ulang kebijakan pengerahan pasukan besar-besaran di wilayah sipil yang belum dinyatakan sebagai zona perang. Mereka menilai penggunaan kekuatan bersenjata hanya memperdalam trauma dan memperpanjang konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun di Intan Jaya.
Pos Militer di Nduga Picu Ketakutan Warga
Di wilayah lain, keresahan juga datang dari Distrik Mebrok, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, yang baru-baru ini dilanda banjir dan longsor.
Seorang warga bernama Oholiba Lokbere menulis keluhannya di media sosial, menyebut bahwa pos-pos militer di perbukitan menghalangi warga untuk mencari korban yang hilang.
“Semua sisi gunung ditutup pos militer. Kami takut ditembak saat hendak mencari jenazah korban banjir,” tulisnya.
Lokbere menuturkan, warga kini sulit bergerak bebas, bahkan untuk membantu sesama. “Nyawa kami terancam, dan nyawa yang sudah pergi pun susah dicari agar dikubur secara terhormat.”
Situasi di Intan Jaya dan Nduga menunjukkan bahwa kehadiran aparat bersenjata di tengah masyarakat sipil masih memicu ketegangan dan rasa takut.
Pengamat konflik Papua menilai, operasi militer yang dijalankan tanpa batas jelas antara area tempur dan permukiman hanya memperparah penderitaan warga sipil.
“Ketika keamanan dijalankan dengan pendekatan senjata, bukan keadilan, maka yang lahir hanyalah duka baru,” tulis salah satu laporan pemantauan HAM Papua yang diterima titastory.id.
