TITASTORY.ID, – Ombudsman RI Perwakilan Maluku menyatakan, Pemerintah Desa (Pemdes) Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon memiliki Peraturan Desa (Perdes) Nomor 4 Tahun 2018 tentang pungutan Desa Waiheru dan Perdes Waiheru Nomor 01 Tahun 2015 termasuk surat keterangan mengenai tanah (alas hak) dan Pembayaran public lainnya. Sehingga bentuk pungutan yang dilakukan itu sah di mata hukum.
Penjelasan tertulis ini disampaikan Ombudsman RI Perwakilan Maluku sesuai surat nomor 8/0018/LM 42-290088 2022/2023, yang isinya tentang Pemberitahuan Penanganan dan Penutupan Laporan, di mana surat ini ditujukan kepada La Muhamad yang bertindak atas nama Perkumpulan Pemantau Keuangan Negara (PKN) Maluku.
Dijelaskan Ombudsman, setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan terhadap laporan yang dilayangkan masyarakat sesuai laporan registrasi bernomor 088/LM/VIII/2022/AMB mengenai dugaan permintaan uang barang dan jasa yang dilakukan oleh Kepala Desa Waiheru telah dilakukan proses surat menyurat untuk meminta klarifikasi I ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Ambon dan juga Kepala Desa Waiheru, pada tanggal 1 November 2022.
Ada pun sejumlah point klarifikasi yang didapat Ombudsman RI Perwakilan Maluku yang kemudian diajukan ke pihak Pelapor khusus pada point 3 yang menjelaskan tentang Desa Waiheru, dan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 01 Tahun 2015 termasuk surat keterangan mengenai tanah (alas hak) dan Pembayaran public lainnya, sehingga pihak Ombudsman menjelaskan dan menyatakan laporan pihak PKN ditutup karena tidak ditemukan adanya mall administrasi dalam laporan yang dilayangkan.
Dalam kaitan dengan itu, Pemuda Desa Waiheru, Erwin Banea kepada titastory.id, senin malam menegaskan jika mengacu pada 2 Perdes yang mendapat pengakuan dari pihak Ombudsman RI Kantor Maluku sebagai lembaga Independen maka ada hal yang mesti dipertanyakan.
Menurutnya, penjelasan yang disampaikan pihak Ombudsman soal keberadaan dua Perdes Waiheru tersebut sebetulnya ingin menjelaskan bahwa bentuk pungutan dalam kaitan dengan pendapatan asli desa termasuk pungutan pelayanan publik sesai point ke tiga mengisyaratkan bahwa Pemdes Waiheru bisa melakukan penarikan atau pungutan yang berkaitan dengan pelayanan publik di lingkup Desa Waiheru.
” Pihak Ombudsman mengakui ada Perdes Waiheru nomor 4 tahun 2018, dan Perdes nomor 1 tahun 2015 sehingga bentuk pungutan yang telah dilakukan dapat dikatakan adalah bagian dari pendapatan asli desa (PAD) Waiheru, ‘ jelasnya.
Dia juga menjelaskan dari sisi regulasi peraturan desa yang ada tentunya sesuai aturan yang artinya untuk melakukan penarikan atau pungutan pada sumber – sumber pendapatan desa itu sah – sah saja. Namun ada hal yang cukup janggal.
Kejanggalannya adalah ” terang Banea”, hasil penarikan atau pungutan sumber – sumber pendapatan desa itu masuk dalam mata anggaran mana.
” Pada pos anggaran pendapatan Laporan Realisasi Pelaksanaan APBDes (LRP APBDes) Waiheru khususus pendapatan asli desa atau PAD adalah bentuk penarikan dan pungutan pada sumber – sumber pendapatan di desa, pertanyaannya kenapa tidak direkrut dalam LRP APBDes ?, tanya tegas.
Menurutnya, selama ini Pemerintah Desa Waiheru dalam pengelolaan anggaran Desa Waiheru bersumber pada dua sumber pendapatan yaitu anggaran Dana Desa (DD) dan anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan dana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Kota Ambon. Lalu, dimaknakah pendapatan asli desa (PAD) Waiheru?.
Ditekankan Erwin, Jika dikaji dari Laporan Realisasi Pelaksaan APBDes Waiheru sejak tahun 2015 hingga tahun 2020 tidak ada realisasi ada mata anggaran PAD atau usaha lain yang dianggap sah sebagaimana yang diarahkan dalam Perdes Waiheru nomor 4 tahun 2018 dan Perdes Nomor 1 Tahun 2015.
Terang Banea, kecurigaan ini pun muncul, lantaran selama dirinya berada di Desa Waiheru, keterangan kolom PAD kosong. Artinya tidak ada bentuk pungutan atau penagihan terhadap bentuk pelayanan publik.
” Jika dikaji dari sumber pendapatan Desa, Desa Waiheru mendapatkan dua sumber dana yaitu DD dan ADD, lalu di mana PAD,?, tanyanya.
Terkait atas produk pihak Ombudsman, Banea pun dengan tegas menyampaikan, dalam hal memberikan klarifikasi, pihak Ombudsman setidaknya harus jeli. Dimana pihak Ombudsman mesti melihat bukti ril terkait dua peraturan desa ini, apakah ada atau tidak.
” Dugaan saya dua peraturan desa ini diterbitkan untuk mengelabui masyarakat Desa Waiheru dalam hal melakukan penarikan atau pungutan, namun tidak dilaporkan sebagai salah satu item pendapatan atau PAD. Lalu ke mana anggaran anggarannya,?, tukasnya.
Hal yang berikut, saya juga menduga, bahwa dua Perdes ini diduga kuat tidak pernah ada, alias hanya kamuflase untuk menutupi adanya pungutan atau penagihan secara ilegal, sehingga tidak dilaporkan sebagai bagian dari pendapatan asli desa.
” Kenyataannya ada pungutan, ada penagihan, ada pemberian dari masyarakat terkait pelayanan alas hak penjualan tanah. Kenapa tidak masukan dalam laporan pertanggungjawaban,? apakah uang uang yang disetor oleh masyarakat atau pihak lain itu bukan bagian dari pendapatan,?, tanyanya.
Untuk itu, Banea menegaskan agar pihak berwajib segera mengusut tuntas dugaan mall administrasi dan dugaan korupsi di Desa Waiheru terkait produk surat pihak Ombudsman yang menerangkan bahwa Pemerintah Desa Waiheru memiliki Peraturan Desa.
” Intinya adalah, bahwa munculnya Peraturan Desa karena kebutuhan. Kebutuhannya adalah agar Desa Waiheru memiliki kewenangan dalam mengelola pendapatan dari potensi sumber – sumber pendapatan di Desa Waiheru. Namun sayangnya tidak dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban Pemerintah Desa Waiheru. Atau dugaan lain, bahwa dua Perdes tersebut adalah produk yang tidak pernah ada alias produk di dunia angan – angan (TS 02)
Discussion about this post