TITASTORY.ID, -Nyanyian adat berirama sendu ditingkahi pekikan dan diiringi pukulan tipa terdengar menyayat hati di halaman kantor Pengadilan Negeri (PN) Dobo, Rabu (03/11/2021) siang.
Lagu ini dinyanyikan warga Marafenfen yang sedang memperjuangkan tanah adat seluas 689 Ha di Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru yang diklaim sebagai milik TNI AL.
Seluruh masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang tua berdiri di luar halaman pengadilan sambil memegang pamflet saat sidang sedang berlangsung. Mereka berdiri dengan tertib meminta keadilan hingga sidang selesai.
Tanpa mengenal lelah, masyarakat serta tua-tua adat di Kabupaten Kepulauan Aru selalu hadir dalam tiap proses persidangan.
Melalui tim kuasa hukum yang dipimpin Samuel Waileruny, mereka berusaha mempertahankan hak ulayat mereka lewat jalur hukum.
Kuasa hukum warga Marafenfen Semuel Waileruny yang dikonfirmasi via ponselnya mengatakan, sidang telah berlangsung di Pengadilan Negeri Dobo dengan agenda memasukkan kesimpulan.
“Tadi pihak-pihak yang bersengketa telah masukkan kesimpulan. Kami berharap masyarakat adat dapat kembali menguasai tanah adat mereka.”harapnya.
Dalam sidang gugatan Marga Bothmir terhadap TNI AL dan Pemerintah Provinsi Maluku sebelumnya, pihak TNI AL menghadirkan 7 saksi untuk memperkuat hak kepemilikan tanah di Desa Marafenfen.
Para saksi memberikan keterangan tanpa disumpah karena status mereka masih aktif sebagai anggota TNI AL dan Pegawai Sipil sehingga ditolak oleh Kuasa Penggugat masyarakat adat, menghadirkan banyak kejutan.
Pada sidang perkara Nomor 11/Pdt.G/2021/PN.Dob, saksi LJ yang adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) TNI AL menjelaskan, dirinya mulai bekerja tahun 1991, dan ditugaskan selama 3 bulan oleh Pimpinan atas nama Letkol Sarinding dari Lanal Halong – Ambon untuk melakukan land clearing yakni pembersihan lahan seluas 200 HA di Desa Jerol.
Tanah yang dilakukan land clearing tersebut ternyata kemudian ditukarkan oleh TNI AL dengan tanah yang diambil di Desa Marafenfen untuk kepentingan pembangunan lapangan udara TNI AL dan berbagai sarana lainnya seluas 689 Ha.
Setelah ditanya oleh Kuasa Penggugat, apakah TNI AL memiliki tanah di Desa Jerol sehingga ditukar dengan tanah milik marga Bothmir di Desa Marafenfen, saksi menjelaskan bahwa saat TNI AL datang ke Desa Marafenfen tidak membawa apa-apa, tidak punya tanah dan tidak membawa uang sekalipun.
Mereka hanya membawa bahan untuk diserahkan kepada masyarakat. Barang-barang yang diberikan berupa semen, senk dan cat.
Semuel Waileruny yang dikonfirmasi, Minggu (3/10/2021) via ponselnya menyangkut pertukaran lahan tersebut menyebutkan, sejumlah nama penerima yang dicantumkan oleh pihak TNI AL tidak jelas identitasnya.
Kenyataannya lanjut Waileruny, dari sejumlah nama yang diajukan di dalam daftar penerima barang-barang yang diajukan oleh TNI AL pada bukti T.I-7, sebanyak 30 orang penerima tidak diketahui secara pasti pemilik nama-nama tersebut.
“Bahkan banyak nama yang tidak dikenal oleh masyarakat Desa Marafenfen atau dengan kata lain ada nama yang tidak ada orangnya atau dengan kata lain ada nama yang orangnya belum pernah lahir ke muka bumi yang menerima pada daftar penerima barang, sedangkan orang yang namanya dijelaskan secara lengkap, menyangkal menerima bahan-bahan yang disebut,”ungkapnya.
Apalagi lanjut Waileruny, selama ini tidak ada saksi atau surat apapun yang membuktikan bahwa masyarakat Desa Jerol telah melepaskan hak atas tanah seluas 200 HA kepada TNI AL, yang kemudian ditukar dengan tanah milik Penggugat di Desa Marafenfen.
“Bukti yang diajukan oleh TNI AL pada bukti T.I.7 ini sama dengan bukti 100 orang nama yang ada dalam daftar yang dikirim oleh TNI AL kepada Komnas HAM Perwakilan Maluku, kemudian Komnas HAM Perwakilan Maluku mengirimnya kepada para tokoh masyarakat desa Marafenfen. Diantara 100 nama yang seakan-akan mengikuti musyawarah itu, ternyata ada yang belum pernah lahir di muka bumi, ada yang masih anak-anak, ada yang sudah keluar meninggalkan Desa Marafenfen sejak lama. Jadi intinya, kalimat yang paling cocok disampaikan adalah TNI AL membuat daftar musyawarah fiktif dan daftar ganti rugi fiktif, untuk merampok tanah milik masyarakat adat,”tegasnya.
Hal ini kata Waileruny, sejalan dengan keterangan saksi Tergugat I atas nama W. Tampubolon (purnawirawan TNI AL), yang dalam keterangannya di bawah sumpah menjelaskan bahwa pada saat saksi ditugaskan oleh pimpinan ke TNI AL tahun 1991 – 1992, saksi mengetahui ada pertemuan antara pimpinannya Letkol Sarinding dengan Kepala Desa Marafenfen. Saat itu tidak ada dokumen apapun, namun saat ini tiba-tiba muncul dokumen.
Waileruny juga menjelaskan, bahwa upaya untuk menarik nama Desa Jerol ke dalam persidangan seakan-akan tanah masyarakat desa Jerol telah ditukar dengan tanah milik Penggugat di Desa Marafenfen, dapat dianggap sebagai upaya mengadu domba masyarakat hukum adat masuk dalam konflik.
Untuk itu, Waileruny telah menghimbau masyarakat Desa Marafenfen maupun masyarakat hukum adat di Kepulauan Aru, agar selalu berhati-hati dalam permainan ini.
“Sebagai orang Maluku, kita punya pengalaman yang sangat berharga menyangkut konflik Maluku, di mana konflik tersebut sebagai konspirasi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan, kemudian anak negeri Maluku diadu domba dengan alasan agama, dan sebagainya,”ujarnya.
Untuk itu Waileruny menghimbau kepada mereka yang memiliki kekuatan untuk tidak mengorbankan masyarakat dengan cara-cara yang jahat.
“Upaya ini sebagai bentuk pelemahan terhadap masyarakat hukum adat di Kepulauan Aru dan di Maluku,”pungkasnya. (redaksi)
Discussion about this post