Nukaha, Surga tersembunyi di Samudra Arafura

Jejak Perjalanan Menuju Timur
02/11/2025
Ketrangan gambar: Potret Pulau Nukhaha dengan keindahan pasir putih ditambah air lautnya yang biru dan jernih. Foto: Tangkapan layar dari video akun facebook @Tanti Ratila Saimasa dan diolah redaksi titastory.id

Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, – Pagi di atas langit timur Nusantara adalah lautan cahaya. Dari balik jendela pesawat yang meluncur ke arah Ambon, gugusan pulau-pulau kecil tampak seperti serpihan zamrud di atas permadani biru. Tiga jam terbang dari Jakarta, dan dunia mulai berubah: gedung bertingkat berganti deretan karang, debu kota berganti kabut laut, dan waktu terasa berjalan lebih lambat.

Di Bandara Pattimura Ambon, udara asin laut menyapa lembut. Di ruang tunggu keberangkatan menuju Saumlaki, percakapan penumpang terdengar dalam berbagai dialek: ada yang dari Kei, ada yang dari Aru, dan beberapa dari Tanimbar sendiri. Semua menuju ke satu arah — selatan, ke jantung Kepulauan Tanimbar.

Maskapai penerbangan wings menjadi rekomendasi untuk anda dan rombongan lainnya untuk terbang rendah di atas Samudra Banda. Dari ketinggian, pemandangan berubah menjadi lukisan biru kehijauan: gugusan karang, pantai yang meliuk halus, dan rumah-rumah kecil di tepian air. Setelah satu jam perjalanan, pesawat mendarat di Bandara Mathilda Batlayeri, pintu gerbang utama menuju Tanimbar.

Begitu menjejak tanah, mata akan dimanjakan oleh panorama Saumlaki, kota pesisir yang tenang namun hidup. Di sepanjang jalan utama, deretan pohon lontar melambai ditiup angin, sementara anak-anak bersepeda menyusuri tepi pantai dengan tawa riang. Tak jauh dari pusat kota, terdapat beberapa penginapan dengan suasana tropis — Saumlaki Beach Hotel, Hotel Galaxy, dan Beringin Tanimbar — tempat ideal untuk melepas lelah sambil menikmati pemandangan laut dan hidangan ikan bakar segar.

Namun bagi penjelajah sejati, perjalanan belum selesai.

 

Menembus Pulau Yamdena

Dari Saumlaki, perjalanan darat menuju Desa Fordata dimulai. Mobil travel sewaan melaju perlahan meninggalkan kota. Jalan berliku, menembus perbukitan hijau dan padang savana yang terbentang luas. Di sepanjang perjalanan, kampung-kampung tradisional Tanimbar berdiri di tepi jalan: rumah panggung dari kayu besi, beratap daun lontar, berdiri di atas tiang-tiang tinggi. Di beranda, para perempuan menenun kain tradisional, sementara anak-anak berlarian tanpa alas kaki.

Sekitar empat hingga lima jam perjalanan, mata tak pernah benar-benar lelah. Setiap tikungan menghadirkan panorama baru: laut di kejauhan, hutan lontar, dan deretan batu karang yang tampak seperti pahatan purba. Sang Sopir, sesekali menunjuk ke arah bukit atau pantai yang kami lewati.

Menjelang sore, langit mulai keemasan. Dari ujung jalan di Fordata, perahu kayu sudah menunggu di dermaga kecil. Angin laut membawa aroma garam dan wangi kayu basah. Inilah titik terakhir perjalanan darat — setelah ini, hanya laut dan Nukaha di cakrawala.

keterangan gambar: Infografik dan Catatan Traveller menuju ke Pulau Nukaha di Kepulauan Tanimbar. Foto diolah oleh Artificial Intellegent (AI).

Menyapa Pulau Nukaha

Perahu berangkat saat matahari mulai turun. Ombak kecil memantulkan cahaya jingga, membuat permukaan laut seperti diselimuti emas cair. Perjalanan sekitar 30 menit terasa singkat, mungkin karena mata tak lepas menatap horizon yang semakin dekat: Pulau Nukaha.

Dari kejauhan, pulau itu tampak seperti permata putih di tengah birunya laut Arafura. Semakin mendekat, garis pantainya tampak berkilau. Pasirnya begitu halus, lembut seperti tepung. Tidak ada dermaga permanen — perahu harus berhenti di air dangkal, lalu penumpang turun berjalan kaki. Airnya jernih hingga dasar karang terlihat jelas, dengan ikan-ikan kecil menari di antara batu.

Nukaha adalah dunia yang belum tersentuh. Tak ada jejak bangunan modern, tak ada suara mesin. Hanya bisikan angin, debur ombak, dan kepakan sayap camar. Di beberapa titik, terlihat rumput laut tumbuh alami di perairan dangkal. Di darat, hanya ada beberapa pohon kelapa dan hamparan pasir putih membentang sejauh mata memandang.

 

Legenda dan Keheningan

Bagi masyarakat Tanimbar, Nukaha bukan hanya pulau. Ia adalah tanah cerita, tempat legenda dan kepercayaan bersemayam. Orang-orang tua di Fordata menyebutnya “tempat singgah Eyang Anna”, sosok ratu dari marga Lalin yang diyakini mencapai keabadian di bukit Wetiur, Fordata. Mereka percaya, setiap hembusan angin di Nukaha membawa pesan dari leluhur.

Di sisi utara pulau, di bawah air yang jernih, terdapat bangkai kapal tua — sisa masa perang yang kini menjadi karang buatan alami. Di sekitarnya, ikan warna-warni berenang bebas. Para nelayan menyebut lokasi itu “Tanduan Besi” — tempat mereka biasa memancing, tapi juga berhenti sejenak untuk memberi penghormatan. “Itu bukan sekadar bangkai,” ujar nelayan tua bernama Daniel. “Itu sejarah, dan sejarah harus dijaga.”

Berada di Nukaha berarti belajar kembali tentang makna diam. Di sini, tidak ada jadwal, tidak ada gangguan sinyal, dan tidak ada suara selain laut. Anda bisa duduk di bawah pohon kelapa, membiarkan waktu berjalan tanpa arah. Atau berjalan di sepanjang pantai hingga kaki terbenam pasir halus. Di malam hari, langit dipenuhi bintang—jutaan, mungkin miliaran—terlihat begitu dekat seolah bisa dijangkau tangan.

Pagi hari, laut begitu tenang. Warna air berubah dari biru tua ke toska muda, lalu jernih seperti kaca. Anda bisa berenang, snorkeling, atau sekadar terapung mendengarkan dunia dari bawah permukaan air. Bagi warga lokal, Nukaha adalah tempat berdoa, tempat mencari tenang, tempat untuk “mendengar laut bicara”.

 

Menjaga Surga Ini Tetap Perawan

Pemerintah daerah kini mulai melirik Nukaha sebagai destinasi wisata bahari potensial. Dua bangunan kecil — semacam rumah singgah dan toilet sederhana — telah dibangun di bibir pantai. Namun masyarakat berharap pembangunan tidak berlebihan. “Kalau terlalu ramai, Nukaha akan kehilangan suaranya,” kata Kepala Desa Fordata pelan.

Karena itulah, mereka ingin wisata di Nukaha berjalan pelan dan berkelanjutan. Bukan untuk mengundang keramaian, tapi untuk menghadirkan kesadaran: bahwa keindahan sejati tak selalu butuh keramaian. Kadang ia justru lahir dari sunyi, dari laut yang berbicara dalam lirih, dan dari pasir yang tak ingin diinjak terlalu sering.

Catatan Traveler

  • Rute: Jakarta – Ambon – Saumlaki – Fordata – Pulau Nukaha

  • Durasi: 3 jam (Jakarta–Ambon), 1 jam (Ambon–Saumlaki), 4–5 jam (darat Saumlaki–Fordata), 30 menit (laut Fordata–Nukaha)

  • Bandara: Pattimura (Ambon), Mathilda Batlayeri (Saumlaki)

  • Waktu Terbaik: Agustus–Oktober

  • Tips: Bawa bekal, air minum, dan perlengkapan pribadi. Tak ada fasilitas modern di pulau. Gunakan jasa nelayan lokal untuk perjalanan laut.

 Di akhir perjalanan, saat perahu kembali ke Fordata dan Nukaha perlahan menghilang di kejauhan, satu hal yang tersisa bukan hanya gambar keindahan, tapi rasa tenang yang sulit dijelaskan. Nukaha bukan hanya tujuan — ia adalah perjumpaan: antara manusia dan alam, antara waktu dan keheningan, antara legenda dan kenyataan.

Dan di tengah samudra yang luas, di ujung timur Maluku, ada pulau kecil yang mengingatkan kita bahwa surga mungkin memang nyata — hanya saja, ia memilih bersembunyi.

 

Penulis: Christin Pesiwarissa
error: Content is protected !!