titastory, Bula – Mochtar Marasabessy (31) tahu benar betapa kerasnya laut. Sebagai nelayan dari Dusun Pasahari, Kabupaten Seram Bagian Timur, hidupnya lekat dengan aroma garam dan desiran angin laut. Namun, Kamis dini hari, 26 Desember 2024, perjalanan laut yang biasa ia tempuh berubah menjadi kisah panjang penuh ketegangan.
Sekitar pukul 03.00 WIT, Mochtar berangkat dari pesisir Dusun Pasahari dengan perahu kecilnya. Angin pagi bertiup tenang, dan bintang masih menggantung di langit. Namun, hingga matahari kembali tenggelam di ufuk barat, ia tak kunjung pulang. Keluarga yang menunggunya di bibir pantai mulai cemas.

Kabar tentang hilangnya Mochtar pertama kali dilaporkan oleh Aipda Rahman, anggota Polairud Bula, ke Unit Siaga SAR Bula pada Jumat pagi, 27 Desember 2024, pukul 09.40 WIT. Laporan itu segera ditindaklanjuti. Sebuah tim gabungan SAR diberangkatkan menggunakan Rigid Inflatable Boat (RIB) dari Unit Siaga SAR Bula menuju koordinat yang diperkirakan sebagai titik terakhir keberadaan Mochtar: 2°41’7.72″ S – 129°38’56.26″ E, sekitar 66,8 mil laut arah barat laut.
Dalam perjalanan menuju lokasi, tim SAR menghadapi tantangan besar: ombak tinggi, angin kencang, dan jarak yang cukup jauh. Sementara itu, keluarga Mochtar di Dusun Pasahari hanya bisa berdoa agar ia segera ditemukan dalam keadaan selamat.
Sekitar pukul 13.00 WIT, harapan itu akhirnya tiba. Danpos Polairud Kobisadar melaporkan bahwa Mochtar ditemukan oleh nelayan setempat dalam kondisi selamat. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana ia bertahan di tengah laut selama lebih dari 24 jam tanpa komunikasi dan bantuan. Namun, wajah Mochtar yang pucat dan tubuhnya yang lemah saat tiba di pantai sudah cukup untuk menceritakan ketegangan yang ia alami.

Kepala Basarnas Ambon, Muhamad Arafah, menjelaskan bahwa pencarian dilakukan segera setelah laporan diterima.
“Nelayan tersebut diketahui berangkat melaut sejak Kamis dini hari di sekitar Perairan Dusun Pasahari, namun tak kunjung kembali. Setelah laporan diterima, kami langsung melakukan upaya pencarian dan beruntung korban berhasil ditemukan dalam keadaan selamat,” ujar Arafah.
Mochtar sendiri masih enggan bercerita banyak tentang pengalamannya di tengah laut. Namun, beberapa kerabatnya yang sempat mendengarnya berbicara mengatakan bahwa mesin perahunya tiba-tiba mati di tengah lautan. Ombak yang semakin tinggi dan angin yang kencang membuatnya terombang-ambing di atas perahu kecil tanpa bisa berbuat banyak. Dengan sedikit persediaan makanan dan air, Mochtar hanya bisa bertahan, berharap ada kapal nelayan yang melintas di dekatnya.
Insiden yang dialami Mochtar bukanlah yang pertama di perairan Seram Bagian Timur. Daerah ini dikenal dengan arus lautnya yang kuat dan cuaca yang sering berubah secara mendadak. Banyak nelayan di wilayah ini masih bergantung pada peralatan sederhana dan jarang memiliki alat komunikasi yang memadai.
Kasus ini kembali menyoroti perlunya peningkatan keselamatan nelayan di wilayah Maluku. Pengamat kelautan dari Universitas Pattimura menegaskan pentingnya distribusi alat komunikasi darurat dan pelatihan mitigasi bencana bagi para nelayan lokal. Selain itu, koordinasi yang lebih baik antara tim SAR, Polairud, dan masyarakat pesisir menjadi kunci penting dalam penanganan kasus serupa di masa depan.
Hari itu, keluarga Mochtar menyambutnya dengan tangis haru. Namun, di balik kebahagiaan itu, terselip keprihatinan yang mendalam tentang betapa rapuhnya jaring pengaman bagi para nelayan kecil di perairan yang ganas ini.
Ketika malam kembali turun di Dusun Pasahari, suara ombak terdengar seperti nyanyian pelipur lara. Namun, bagi Mochtar Marasabessy, setiap desiran ombak mungkin masih menyimpan kenangan tentang satu malam panjang yang hampir merenggut nyawanya. (TS-03)