Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
- Artikel ini adalah tulisan kedua dari penulis. Artikel pertama yang telah terbit pada tanggal 24 Oktober 2024 berjudul “Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur (Sebuah Renungan).”
- Keberhasilan Indonesia di panggung internasional membutuhkan diplomasi yang fokus, strategi jangka panjang, dan kepemimpinan yang visioner.
- Selama Indonesia tetap dalam posisi reaktif, diplomasi globalnya hanya akan menjadi hiburan bagi negara besar lainnya tanpa dampak strategis yang signifikan.
- Pertanyaan kunci: apakah Indonesia siap menjadi penabuh atau akan terus menjadi penari dalam geopolitik dunia?
Pada Agustus 2023, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam pertemuan itu, Indonesia menyatakan minatnya menjadi anggota penuh BRICS, aliansi ekonomi strategis yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Walau diterima, keanggotaan Indonesia baru resmi diumumkan pada 6 Januari 2025 oleh Brasil, pemimpin BRICS periode 2025.
Namun, bergabungnya Indonesia dalam BRICS menuai pertanyaan besar: apakah langkah ini akan mengubah posisi Indonesia dari sekadar “penari” menjadi pemain utama di panggung global?
Hanya beberapa hari setelah Pemerintahan Prabowo-Gibran terbentuk Menlu Sugiono yang baru dilantik melakukan tugas perdana ke luar negeri sebagai utusan khusus Presiden Prabowo untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia.
Kemudian, pada 6 Januari 2025, Brazil sebagai pemimpin BRICS 1 Januari 2025 sampai 31 Desember 2025 mengumumkan kalau Indonesia menjadi anggota penuh BRICS. Namun, keanggota Indonesia ini tidak serta merta karena melalui proses dalam KTT Johannesburg pada 2023.
Untuk itu, keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak terlalu mengejutkan karena indikasinya sangat jelas sejak Indonesia mengambil bagian dalam KTT BRICS. Namun, Indonesia akan dihadapkan dengan sejumlah implikasi baik positif maupun negatif sebagai konsekuensi logis dari keanggotaan dalam BRICS.
Patut digarisbawahi dalam konteks BRICS, Indonesia tidak perlu terlalu berbangga diri kalau dunia internasional memandang Indonesia sebagai negara penting. Hal semacam itu hal yang lumrah dalam diplomasi. Tapi, bagi Indonesia dipandang penting atau tidak, sejatinya memang penting. Negara mana yang tidak tergiur dengan sumber daya alam Indonesia? Negara mana yang tidak menelan liur dengan jumlah penduduk Indonesia yang merupakan pasar potensial? Kekuatan Indonesia ini hanya bisa dikelola dengan kepemimpinan yang terampil memainkan peran dalam tataran global.
Sayangnya, hal ini tidak terlihat dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Keberadaan Indonesia dalam BRICS tidak lebih sebagai penari yang menari di tifa yang ditabuh pihak lain. Status sebagai penari ini hanya sekadar menghibur dengan mengeksploitasi potensi diri untuk menghibur penonton dengan irama yang ditabuh Brazil, Rusia, India, China yang disusul Afrika Selatan.
Indonesia bukan pelopor, apalagi bermimpi menjadi pemain utama dalam tataran global maupun geopolitik. Dari sejumlah aliansi APEC, G20 dan sebagainya sangat jelas, Indonesia hanya sekadar ikut arus besar tanpa menjadikan diri sebagai pelopor dan penentu arah di kawasan maupun global. Bahkan, di kawasan ASEAN, kalau mau jujur, pengaruh Indonesia tidak sekuat pada masa orde baru. Lebih terkejut lagi, ketika Indonesia praktis tidak memainkan peran apapun di Kawasan Indonesia Pacifik, meskipun, secara geografis, separuh wilayah Indonesia berada dalam gugusan pasifik, demikian pula penduduknya memiliki ras yang sama dengan negara-negara Pasifik Selatan. Justru, negeri-negara besar memainkan peran yang sangat menentukan masa depan kawasan Indo Pasifik. Untuk itu, hanya dengan sikap fokus terhadap persoalan hubungan luar negeri yang memungkinkan potensi dan letak geografis Indonesia yang strategis dan kaya sumber daya alam dapat bermanfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Contoh lain, posisi Indonesia dalam menyikapi persoalan Israel-Palestina, praktis tidak bisa memainkan peran apapun, justru hanya sebatas “tukang kutuk”, seruan, imbauan dan mengirim bantuan kemanusiaan, tetapi tidak mampu berperan dalam menghasilkan solusi damai. Posisi penengah hanya mungkin dilakukan oleh pihak yang setidaknya dianggap netral, dimana omongan dan tindakan sejalan dengan politik bebas aktif.
Bahkan, secara sadar, Palestina hanya sekadar objek politik, dimana isu Palestina dikapitalisasi untuk meraih popularitas dan simpati politik dalam negeri. Di satu sisi, Indonesia begitu mencintai Palestina, sehingga tampak seolah lebih peduli ketimbang nasib sesama anak bangsa yang sangat menderita di berbagai pelosok negeri.
Hanya saja, sikap Indonesia mulai goyah, karena secara aktif berusaha untuk bergabung ke dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dimana mau atau tidak, Indonesia membutuhkan tanda tangan Israel untuk bisa diterima sebagai anggota OECD. Di sini, jelas terlihat, siapa penari dan siapa penabuh tifa.
Terlepas dari sikap kritis peran Indonesia di pentas global. Tidak terlalu keliru untuk melakukan instropeksi dari semua ini. Hipotesis sederhana: jika Indonesia masih menganut sistem kesatuan, maka politik luar negeri Indonesia hanya sebatas penari! Sebab, hanya dengan sistem berbagai kewenangan melalui system federasi yang memungkinkan pemerintah pusat secara otomatis akan berada pada posisi outward looking, yang berorientasi kepada kawasan dan global, untuk menjangkau negara-negara lain secara efektif dan intensif. Federalsime akan memberikan kesempatan yang luas kepada pemerintah pusat untuk fokus menabuh tifa di tingkat global.
Sebaliknya, dalam sistem kesatuan, pemerintah pusat akan terjebak dalam dilema antara fokus ke dalam atau ke luar negeri. Tentu, idealnya, urusan luar negeri dan dalam negeri berjalan bersamaan, tetapi itu hanya ada dalam teori. Praktek bernegara selama ini sudah membuktikan, dimana persoalan pendidikan, kesehatan, kesejahetaraan, kemiskinan dan sebagainya menjadi tantangan serius bagi Indonesia.
Sementara politik luar negeri, Indonesia memainkan peran sebagai penari yang ditabuh negara-negara besar yang memang menganut sistem federal, dimana politik luar negeri merupakan “dunianya” dan tuntutan konstitusinya. Dengan sendirinya, sikap outward looking ini akan menjadikan negara-negara lain sebagai sasaran untuk memastikan kelangsungan negaranya. Bila perlu dengan menciptakan para penari melalui berbagai elemen di sebuah negara.
Untuk itu, bergabungnya Indonesia dalam BRICS dan aliansi internasional apapun ibarat kambing berada dalam kandang serigala. Bermain dalam poros Amerika, juga tidak ada bedanya hanya sekadar penari. Begitu juga dalam pilihan bergabung dengan BRIC ini hanya perpindahan tabuhan irama tifa, tetapi tetap berada pada posisi penari.
Kekuatan politik luar negeri dari negara pelopor BRIC (sebelum Afrika Selatan bergabung) tidak perlu diragukan, karena memang pemerintah pusatnya memikul tanggung jawab sebagai penabuh tifa bagi negara lain. Brazil, Rusia dan India adalah federal, dimana tugas utama pemerintah pusat untuk mengurus persoalan luar negeri, sehingga tidak mengejutkan ketika negara-negara ini selalu memainkan peran dalam tataran global.
Sementara China, meski bukan federal, tetapi dengan pemerintahan sentralistis akan memudahkan fokus ke luar negeri karena pengelolaan dalam negeri terkonsolidasi melalui kekuatan terpusat.
Begitu juga, posisi Indonesia di ASEAN sangat dihormati, karena pemerintahan sentralistis orde baru lebih mudah untuk mengkonsolidasikan kestabilan di dalam negeri, sehingga memiliki energi untuk fokus pada persoalan kawasan. Namun, bisa saja, ada yang menyodorkan fakta bahwa Bung Karno pernah menjadi macan ketika menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Benar demikian adanya. Tetapi, juga tidak boleh melupakan fakta, beberapa tahun sebelum KAA, Indonesia adalah negara federal, dimana daerah mengurus rumah tangganya masing-masing, sehingga hanya mengenal istilah kepala daerah. Di kemudian hari, istilah kepala daerah dilekatkan dengan bupati/gubernur sebagai alat sentralistis pemerintah pusat.
Selain itu, di balik berkibarnya Bung Karno dalam pentas Asia Afrika Bandung, Indonesia harus menanggung konsekuensi ketika daerah tidak terurus dengan baik, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan gejolak di daerah, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku, termasuk persoalan Papua yang tidak menemui titik temu dalam Konferensi Meja Bundar 1949.
Jadi, tuntutan zaman bukan lagi pada dikotomi sentralistis dan desentralisasi, tapi perlu menimbang sistem federasi untuk memeberikan peluang bagi pusat memainkan peran di tataran global untuk memastikan tidak kepentingan Indonesia yang dirugikan atau dieksploitasi dalam hubungan internasional. Apalagi, federal bagi Indonesia bukan hal yang tabu. Sebab, butir Pancasila mengamantkan Persatuan Indonesia, yang justru lebih federasi ketimbang kesatuan.
Untuk itu, ketika mematok NKRI dengan harga mati, bukan saja menutup peluang Indonesia bergerak maju dengan praktik yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi menempatkan Indonesia dalam posisi dilematis, dimana pada tingkat internasional memainkan peran sebagai penari, sementara penanganan urusan dalam negeri tidak beres-beres dan bergerak lambat.
Situasi ini hanya bisa didekati dengan pembagian kewenangan dalam mengelola pemerintah melalui sistem federal, sehingga pemerintah pusat mengurus urusan yang strategis bagi negera, termasuk luar negeri. Sementara urusan dalam negeri bisa dipercayakan kepada daerah untuk mengurus daerah sesuai dengan potensi yang ada.
Begitu juga, ketika Presiden Prabowo mengumumkan kabinet pada Oktober 2024, ada banyak respon positif dan negatif dalam menyikapi jumlah kabinet yang dianggap terlalu “gemuk”. Sebab, kabinet gemuk akan melahirkan masalah baru dalam koordinasi, harmonisasi, soliditas serta memiliki konsekuensi langsung terhadap anggaran negara bagi lembaga dan kementerian.
Tampaknya, Prabowo menyadari adanya respon negatif, sehingga jauh-jauh hari sebelum pengumuman kabinet, Prabowo merasionalisasi kalau jumlah kabinet yang banyak merupakan konsekuensi logis dari eksistensi Indonesia sebagai negara besar dari sisi jumlah penduduk dan luas wilayah. Bahkan, luas wilayah Indonesia hampir setara dengan luas Eropa Barat.
Di sisi lain, sikap kritis juga muncul di publik, yang membandingkan dengan Amerika, misalnya, yang juga memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar, tetapi bisa efektif dalam menjalankan pemerintahan dengan dukungan kabinet yang relatif ramping kalau dibandingkan dengan keberadaanya sebagai negara besar.
Hanya saja, perbandingan dari para pakar dan intelektual di ruang publik, kelihatannya melupakan tata kelola negara, dimana Amerika menganut sistem federal, sehingga hanya menangani urusan yang memang strategis bagi negara. Dengan urusan yang spesifik itu menjadi logis ketika tidak membutuhkan kabinet yang gemuk.
Sebaliknya, Indonesia membutuhkan kabinet yang gemuk, karena pemerintah pusat memiliki urusan yang luas sampai ke daerah-daerah. Akibatnya, 100 menteri sekalipun akan tetap kurang, karena memang bukan kesalahan pemerintah semata, tetapi sistem bernegara yang berlaku memiliki konsekuensi seperti itu. Jadi, sedikit keliru ketika membandingkan jumlah menteri di negeri federal dengan jumlah menteri di Indonesia. Kabinet ramping hanya dimungkinkan dalam sistem federal, karena kewenangan sudah didistribusikan kepada daerah bagian.
Pemerintah daerah bisa mengurus daerahnya sendiri, tetapi tidak bisa mengurus persoalan luar negeri. Sementara pusat yang sebenarnya memainkan peran luar negeri, justru larut dalam cawe-cawe urusan yang semestinya bisa ditangani sendiri di daerah. Sekarang pilihannya ada pada semua pemangku kepentingan politik. Kalau pilihannya mau menjadi penabuh tifa pada tataran global, maka tiada pilihan lain kecuali menimbang sistem federal. Sebaliknya, kalau mau menjadi penari bagi kepentingan global, maka mainlah sebagai penari, kalau enggan disebut sebagai antek negara-negara besar, tidak peduli itu Amerika, Rusia, India, China dan sebagainya. Indonesia harus menjadi penabuh tifa dan menari bagi dirinya sendiri ataupun membiarkan negara lain menari atas irama tifa yang ditabuh Indonesia. Penabuh tifa luar negeri hanya mungkin dengan sistem federal, yang memposisikan pemerintah pusat sebagai pemain utamanya.
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation. Juga Pendiri dan Ketua Umum Partai Pembaruan Bangsa.