titastory, Ambon — Dunia musik di Maluku memasuki babak baru. Untuk pertama kalinya, seminar musik dan royalti digelar di Provinsi Maluku, menghadirkan para akademisi, seniman, dan lembaga pengelola hak cipta dalam satu ruang dialog. Bertempat di Auditorium Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Selasa, 22 Juli 2025, forum ini diyakini menjadi tonggak perubahan bagi perlindungan hak cipta musisi lokal.
Menggandeng Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan LMK PROINTIM, seminar ini mengusung semangat Renaissance – kelahiran kembali bagi dunia seni di Maluku.
“Ini adalah momentum penting. Bukan sekadar tampil atau terkenal, tetapi bagaimana seniman bisa hidup dari karyanya,” kata Dr. Jeremias H. van Harling, Dekan Fakultas Seni dan Keagamaan Kristen IAKN Ambon.

Menurutnya, keberlangsungan hidup seniman tidak bisa hanya bergantung pada tepuk tangan. Karya yang dilindungi dan dibayar secara layak melalui sistem royalti adalah bentuk keberadaban dalam menghargai penciptaan.
Royalti Sebagai Hak, Bukan Sekadar Apresiasi
Ketua LMK PROINTIM, Hendry Noya, menjelaskan bahwa perlindungan terhadap karya cipta telah dijamin dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ia menekankan pentingnya hak ekonomi dan hak moral seniman, dua aspek yang kerap diabaikan.
“Royalti bukan sekadar bonus. Ia adalah hak ekonomi dari karya intelektual. Sayangnya, banyak musisi masih belum sadar pentingnya mendaftarkan karya mereka secara hukum,” kata Hendry.
Ia menambahkan bahwa pendekatan bahasa hukum kepada musisi harus diubah—lebih ramah, kontekstual, dan aplikatif. “Kita butuh jembatan antara dunia hukum dan dunia kreativitas,” tegasnya.
Siapa Wajib Bayar Royalti?
Mengacu pada Keputusan Menkumham RI Nomor HKT.2.0T.0301-02 Tahun 2026, semua pengguna komersial musik—seperti hotel, pusat perbelanjaan, lembaga penyiaran, bioskop, hingga tempat hiburan dan event organizer—wajib membayar royalti atas lagu dan musik yang digunakan.
“Royalti adalah bentuk apresiasi nyata terhadap pencipta lagu dan pemilik hak cipta di Indonesia,” ujar Hendry.
Untuk kegiatan live event seperti konser, seminar, atau bazar komersial, kewajiban royalti juga berlaku dan harus dibayarkan melalui LMKN dan LMK terkait.
Ambon Kota Musik Dunia Harus Melindungi Senimannya
Dr. van Harling menekankan bahwa mempertahankan status Ambon sebagai Kota Musik Dunia tidak cukup hanya dengan gelar simbolik. Perlu kebijakan nyata dan dukungan sistemik agar musisi hidup layak dari hasil karyanya.
“Kami siap membangun kemitraan antara kampus, LMKN, dan pemerintah daerah untuk memperkuat ekosistem musik di Maluku,” ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua Panitia Thomas D. Huwae menyebut seminar ini sebagai langkah strategis membangun pemahaman, jaringan, dan perlindungan hukum di kalangan musisi.
“Ini bukan hanya soal pemahaman hukum. Ini adalah police — kebijakan dan pengamanan — agar karya musisi Maluku tak hanya dinikmati, tapi dihargai secara ekonomi,” tutup Huwae.
Penulis: Edison Waas