titasstory, Kathmandu Nepal– Dua perwakilan masyarakat adat dari Kepulauan Aru, Maluku, yaitu Mika Ganobal dan Rosalina Gaelagoy, menerima penghargaan Right and Resources Initiative (RRI) Award 2025 di Kathmandu, Nepal, pada Senin, 28 Juni 2025. Mereka dinobatkan sebagai salah satu penerima penghargaan atas kontribusi menjaga hutan dan warisan pengetahuan tradisional, mewakili kawasan Asia.
“Panah-panah hanya dibawa jika ada hutan. Tanpa hutan, panah-panah tidak ada gunanya di tangan lelaki Aru,” ucap Mika Ganobal dalam pidato penerimaannya yang menggugah. Ia menegaskan bahwa alat berburu tradisional masyarakat Aru tidak memiliki makna jika hutan sebagai ruang hidup mereka terus dirusak.
Dalam kesempatan tersebut, Mika juga menegaskan bahwa penolakan masyarakat Aru terhadap kehadiran sejumlah korporasi bukan semata penolakan atas pembangunan, melainkan bentuk perlawanan terhadap pengabaian hak-hak atas tanah adat mereka.
“Kami bukan menolak pembangunan. Kami hanya ingin dihormati di atas tanah leluhur kami,” ujarnya tegas.
Simbol Perlawanan dan Penjaga Alam
Penghargaan RRI diberikan kepada komunitas masyarakat adat yang telah menunjukkan keberanian luar biasa dalam menjaga alam dan mempertahankan pengetahuan lokal. Selain komunitas Aru dari Indonesia, penghargaan juga diterima oleh komunitas adat dari Brasil dan Kenya.

Dalam unggahan akun resmi RRI di media sosial @rightresources, komunitas Jargaria, Kepulauan Aru, disebut memimpin gerakan #SaveAru sebagai simbol perlawanan terhadap ekspansi korporasi yang mengancam ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia.
“Sebagai penanda tonggak sejarah, RRI meluncurkan penghargaan aksi kolektif bagi masyarakat adat yang berani melindungi alam dan menjaga pengetahuan tradisional,” tulis akun tersebut.
Akun @pemantauhutan menambahkan bahwa selama lebih dari 30 tahun, masyarakat adat Aru berdiri paling depan menjaga hutan dan laut dari ancaman korporasi yang ingin menguasai wilayah adat mereka.
“Bukan karena disuruh, tapi karena itulah tempat hidup mereka,” tulis akun itu.
Ancaman Terhadap Tanah Adat Belum Berakhir
Rosalina Gaelagoy, yang turut hadir menerima penghargaan bersama Mika, mengingatkan bahwa Kepulauan Aru masih terus terancam, utamanya karena belum adanya pengakuan formal atas wilayah adat mereka.
“Kalau alam rusak, kami yang paling dulu merasakan dampaknya,” kata Rosalina.
Ia menyatakan bahwa masyarakat adat Aru terus bertahan di tengah ketidakpastian status hukum atas hutan adat mereka, meski mereka telah menjaga dan hidup harmonis bersama alam sejak turun-temurun.
Penulis: Johan Djamanmona