Bahwa janganlah mengejar sebuah kemenangan, tapi melihat bahwa kebersihan itu bagian dari kesehatan. Jika sehat atau bersih, maka insyah Allah, Allah atau Tuhan menjaga kita sebagai desa yang baik.
titasory.id, halmahera timur – Penggalan ungkapan di atas dilontarkan Jufri Gajal, Kepala Desa Subaim, diiringi sayup-sayup nyanyian lagu ciptaan Husein bin Salim bin Ahmad Al-Mutahar biasa dikenal Husein Mutahar; 17 Agustus tahun 45. Itu lah hari kemerdekaan kita, memenuhi alam pikiran semesta manusia.
Euforia kemerdekaan tersebar ke pelosok negeri. Tak hanya di kota, desa-desa terpencil, warga juga turut merayakan hari kemerdekaan tersebut. Kita patut senang karena bisa keluar dari sistem penjajahan kolonialisme Eropa dan Fasisme Jepang. Sebagai penghormatan atas dedikasi atau jerih payah pejuang terdahulu, melawan penjajah dengan keringat dan darah.
Sampai saat ini, rakyat Indonesia memperingati “17 Agustus” sebagai tanda pengingat bahwa merebut kemerdekaan di tangan penjajah bukan hal yang muskil terjadi. Ia berhasil diraih bila masyarakat memiliki keyakinan, mental baja, dan ide-ide progresif.
Indonesia sudah berusia 79 tahun. Sehari sebelumnya, perayaan 17 Agustus 2024, penuh dengan berbagai kegiatan. Misalnya upacara pengibaran dan penurunan bendera merah putih, perlombaan gerak jalan, lomba joget poco-poco, dan lain-lain.
Namun berbeda dengan Desa Subaim, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Jufri Gajal sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Desa, memaknai perayaan kemerdekaan tersebut sebagai aksi sadar ekologi (lingkungan) dan pelestarian adat. Ia bersama-sama dengan pemuda serta pemudi di desa menyusun skema kerja bakti sosial tersebut dalam bentuk lomba.
“Untuk memberikan kesadaran perihal kebersihan lingkungan dan pelestarian adat, maka, kami mengadakan sebuah lomba, yang selanjutnya dengan harapan lingkungan itu bersih dan melastarikan budaya orang Subaim,” kata Jufri.
Selain itu, tujuan dari aksi ini adalah kembali meningkatkan kesadaran kerja sosial antar sesama warga Subaim. Karena baginya, warga tidak boleh berpikir individualistik melainkan saling membantu antar sesama tanpa melihat siapa dia, dari mana ia berasal, dan apa agamanya. Semua adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
Jufri berupaya kembali meningkatkan kesadaran sosial warga. Menurut dia, kesadaran dan kerja sosial itu mulai terkikis, kurang lebih hampir 20 tahun ini kegiatan itu urung dilakukan.
“Karena Desa Subaim mungkin kurang lebih 20 tahun bolong melakukan kerja bakti sosial. Selama ini rasanya kerja sosial itu so trada ada di torang, kalau pun ada pembersihan sifatnya hanya per individu. Masing-masing warga kase bersih dorang pe lingkungan sandiri-sandiri. Kalau seperti itu, tra ada kerja sosial di situ,” ungkapnya.
Antusias dari masyarakat terlihat saat pemuda dan pemudi di desa itu melibatkan diri sebagai panitia dan membuat berbagai macam lomba. Seperti, lomba baca puisi, cakalele dan lala. Mereka juga bekolaborasi dengan mahasiswa KUBERMAS dari Universitas Khairun Ternate.
Perlombaan ini tidak ada anggaran khusus dari desa. Hanya saja, pemerintah desa melibatkan berbagai pihak untuk terlibat guna mengapresiasi semua warga di masing-masing RT.
Semua RT akan mendapatkan penghargaan berupa uang tunai walaupun tidak mendapatkan juara. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas upaya dan kerja keras warga desa.
“Bukan besar nominal uang yang harus dilihat tapi bentuk kerja sosial antar warga yang menjadi catatan penting dari kegiatan ini,” kata Jufri Gajal.
Selain itu, seluruh staf desa juga berkontribusi membersihkan lingkungan.
Jufri Gajal baru saja bertugas delepan bulan di desa Subaim. Ia adalah salah satu kepala desa yang ditugaskan sementara waktu.
Ia ditugaskan memimpin Subaim, yang memiliki 2 Rukun Warga (RW) dan 8 Rukun Tetangga (RT). Dimana desa Subaim sendiri berada di kecamatan Wasile. Dengan total jumlah penduduk 1.470 jiwa.
Masyarakat terlihat sangat antusias, bukan hanya laki-laki yang melakukan kerja bakti. Namun juga perempuan, dari yang muda hingga tua. Bukan karena ingin mendapatkan juara atau hadiah, mereka merasa puas dengan hasil yang mereka dapatkan, yaitu arti penting kerja sama dan lingkungan desa yang bersih.
“Torang tra butuh juara dan hadiah. Torang yang penting adalah rasa gotong royong harus selalu ada dan lingkungan itu tetap bersih. Itu torang so rasa puas. Deng torang pe hasil kerja,” kata Mama Asyah, salah satu warga Subaim.
Para perempuan baik yang muda dan tua serta mama-mama turut mengangkat kayu untuk pembuatan pagar, memotong rumput, menyapu jalan, membersihkan selokan, mengecat pagar, menanam bunga, membuat bunga, hinga membuang dan membakar sampah.
Itu dilakukan sejak tanggal 6 Agustus 2024. Hal menarik lainnya adalah warga juga mengumpulkan uang untuk membeli kebutuhan bakti sosial. Sebuah kesadaran kolektif yang mungkin sulit kita temui dalam tatanan masyarakat industri perkotaan.
Ketua Panitia, Resti Sriningsi Baluari, mengatakan, perlombaan yang bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan itu menyatukan pemuda dan pemudi Desa Subaim. Lomba yang dilakukan antara lain, tarian daerah Lalayon dan Cakalele, puisi, pidato, solois, dan kebersihan lingkungan. “Misalnya mata lomba kebersihan lingkungan, itu tujuannya agar torang jaga lingkungan supaya tetap bersih. Kemudian puisi dan pidato itu kan untuk meningkatkan bakat dan minat torang pea de-ade. Sementara tarian lebih tentang adat harus seperti apa dan bagaimana dorang mempertahankan budayat torang kedepan,” tutur Resti.
Mei, Sekertaris Panitia, juga menjelaskan bahwa tradisi gotong royong perlu dilakukan untuk melastarikan adat. “ade-ade dorang ini masih kecil. Mereka butuh belajar mengenai apa dan bagaimana dorang jaga lingkungan yang sehat dan adat istiadat. Karena kedepan nanti yang akan melanjutkan hidup adalah dorang ini,” kata Mei.
Bagi Mei, lingkungan harus terus dijaga agar tetap bersih. Tidak harus ada perlombaan atau pada saat memeperingati hari bersejarah baru melakukan pembersihan lingkungan. Tapi Hal itu harus dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa lingkungan sangat berhubungan erat dengan perempuan.
“Jangan tunggu ada lomba antar RT atau perayaan 17 Agustus baru baru bersih-bersih. Itu harus torang lakukan setiap saat. Bahkan di dalam rumah pribadi sekalipun. Lingkungan itu sangat penting bagi manusia terutama perempuan,” tuturnya.
Seingatnya, bakti sosial seperti ini jarang dilakukan. Memang pernah ada di tahun 2006 dan 2023, itu pun dilakukan pada saat mahasiswa yang sedang Kuliah kerja Nyata (KKN) di desa itu. Para mahasiswa yang membuat program, sementara warga hanya berpartisipasi. Itu yang menjadi pembeda, bahwa bakti sosial yang sekarang dilakukan murni dari gagasan pemuda dan pemudi desa Subaim.
“Kebeutulan ada mahasiswa yang melakukan KUBERMAS, maka, kami mengajak mereka untuk berkolaborasi,” katanya.
Mama Hadijah, salah satu warga Subaim RT 4 mengungkapkan, anak-anak yang mengikuti perlombaan pembacaan pidato dan puisi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan mental anak sejak dini sehingga mudah bersosialisasi.
“Misalnya lomba pidato, itu didik dorang pe mental. Biar torang pe ana-ana lebih barani. Biasanya dorang itu pangmalu to. Jadi harus didik sedari awal. Biar dikemudian hari dorang lebih mudah bacarita,” kata dia menjelaskan sembari seyum.
Sampai tulisan ini dipublikasi, warga Subaim masih melakukan bakti sosial. Sepertinya mereka sedang merindukan tradisi lama yang hilang itu. Bila rakyat berkehendak untuk bertindak, tidak ada tempat bagi kata “mustahil”.
Penulis : A.M. Nahdan
*Ditemani secangkir kopi. Suara Jangkrik dan Katak mengiasi malam. Seolah memberi pesan kepada saya, bahwa keduanya sedang mengikuti lomba paduan suara untuk mendapatkan juara atau hadiah. Entah begitu?! Tak tahu. Atau Mungkin dengan begitu mereka berdua (Jangkrik-Katak), berada pada sisi kehidupan kemerdekaan yang sesungguhnya.*
Discussion about this post