titastory, Aru – Simon Kamsy, usianya 61 tahun, seorang pejuang lingkungan di Kepualauan Aru. Dia sudah beruban tetapi semangat memperjuangkan lingkungan jauh lebih membara dari kebanyakan pemuda pada umumnya.
Lelaki paruh baya itu mengatakan, secara tenurial masyarakat adat Aru menjadi kelompok yang terus berhadapan dengan ancaman perampasan ruang hidup. Namun, sejarah membuatnya mempertahankan tanah adat.
“Ancaman perampasan ruang hidup sudah terjadi sejak lama tetapi dengan adanya cerita tentang sejarah masa lalu mendorong masyarakat adat Aru untuk berjuang mempertahankan tanah adat mereka didasarkan pada keterikatan dengan sejarah asal-usul atas tanah dan hutan. Masyarakat adat di tempat ini sebelum negara ini ada,” katanya pada Sabtu (28/12).
Sungai, selat, ataupun batu dan pohon menjadi acuan bagi masyarakat adat, itu sebagai penanda batas hak ulayat berdasarkan rekam sejarah dan tuturan asal-usul mereka. Diantara marga-marga dan rumpun-rumpun sudah ada pembagian wilayah adat yang dalam bahasa Maluku disebut petuanan.
Meski tidak secara tertulis tetapi batas wilayah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama dan dikisahkan secara turun-temurun. Dengan dasar itu, masyarakat adat tetap mempertahankan apa yang menjadi hak mereka.
“Wilayah adat yang disebut sebagai petuanan bukan ditetapkan oleh satu pihak, tanpa pihak lain. Proses ini dilakukan oleh dua pihak yang bersepakat sehingga menjadi acuan kepada generasi yang selanjutnya”, ungkapnya.
Menurut Simon, adanya peta kawasan hutan yang statusnya Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Konversi (HPK) dengan sendirinya mengesampingkan keberadaan masyarakat adat. Wilayah hutan menjadi hutan negara, menghilangkan hak petuanan masyarakat adat.
“Seakan-akan ketika berdirinya negara, kepulauan Aru ini ruang kosong tanpa manusia didalamnya. Padahal sebaliknya, orang Aru ada sebelum negara ini ada” tegasnya.
Dengan adanya penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada 2013, sebagian besar hutan alam Aru seperti di pulau Trangan, pulau Maekor, pulau Kobror, pulau Wokam dan pulau Kola dan beberapa pulau lainnya berubah menjadi wilayah hutan produksi dan hutan produksi konversi.
Izin tersebut makin membuka keran investasi sejingga mengancam penghidupan masyarakat adat Aru yang secara ekonomi masih bergantung pada hasil hutan.
Saat ini sudah ada rencana investasi pemanfaatan hutan oleh PT. Wana Sejahtera Abadi (WSA) di pulau Wokam dan pulau Woham. Tak hanya itu, ada juga izin empat anak perusahan dibawah Jhonling Group di pulau Trangan. Diduga aktivitas perusahaan telah menimbulkan dampak negatif pada hubungan sosial masyarakat adat di desa.
WSA berencana akan melakukan pemungutan hasil hutan di lahan seluas 54.560 hektar berdasarkan izin pemanfaatan hutan-hutan alam (PBPH-HA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia pada 2021.
Dari izin yang diperoleh PT WSA, ada sekitar 11 desa di 4 kecamatan masuk dalam wilayah konsesi diantaranya, Pulau Wokam dan Pulau Woham, kecamatan Pulau-Pulau Aru, desa Tunguwatu, desa Tungu, desa Lau-Lau, desa Kobraur, desa Nafar. Kecamatan Aru Tengah, desa Selibata-bata dan desa Wakua sedangkan Kecamatan Aru Utara Timur Batuley, desa Kobamar dan desa Kompane, kecamatan Sir-Sir, desa Berdefan dan desa Goda-Goda. Desa-desa tersebut memiliki karakteristik sebagai pulau-pulau kecil.
Menurut Simon, sejak PT. WSA pertama kali masuk ke desa, pihak perusahaan tidak terbuka kepada masyarakat. Setelah mengetahui rencana yang sebenarnya masyarakat desa justru saling menyalahkan. Salah satu marga disebut-sebut menerima kehadiran perusahaan, padahal sedari awal mereka juga tak mengetahui tentang rencana usaha PT. WSA.
“Sebenarnya terlalu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kehidupan masyarakat adat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. Tetapi tidak pernah dijadikan sebagai tata cara mengelola hutan. Sebaliknya, masyarakat adat menjadi korban dari tata kelola yang tidak bertanggung jawab,” ungkap Simon.
Lain halnya di desa Popjetur, Melki Siarukin bercerita, sejak datangnya tim Jhonlin Grup, hubungan antara masyarakat sudah terlihat tidak begitu baik. Ada dua kubu di desa, antara kelompok yang menerima dan kelompok yang menolak saling menaruh dendam. Dia khawatir, jika berlarut-larut dibiarkan sewaktu-waktu pasti akan ada konflik di dalam desa.
“Di desa Popjetur, hubungan masyarakat di desa Popjetur sudah bertambah buruk. Antara Marga Siarukin yang menyatakan sikap menolak rencana investasi peternakan sapi dan marga Apalem yang sebagian menerima, makin diperuncing sejak terdengar kembali masuknya peternakan sapi pada 2023,” ujar Melki.
Masyarakat di desa Popjetur juga sudah tidak bisa berburu di hutan di desa lainnya sejak tim dari perusahaan milik Haji isam itu menginjakan kaki di sana.
“Karena ulah beberapa orang yang menerima rencana investasi peternakan sapi, berdampak bagi masyarakat lainnya yang sudah tidak bisa melakukan aktivitas berburu di tempat yang selama ini bebas dijadikan tempat mengambil hasil hutan,” tuturnya.
Sejak adanya putusan di Pengadilan Negeri Dobo yang menolak semua gugatan dari masyarakat desa Marafenfen pada 17 November 2021, perjuangan untuk mempertahankan tanah adat masih terus dilakukan.
Seorang tokoh agama yang besar dari hasil hutan Marafenfen, Ros Gaelagoy mengatakan, kasasi di tingkat Mahkamah Agung merupakan upaya lanjutan yang dilakukan saat ini. Tujuannya hanya untuk mempertahankan apa yang menjadi hak masyarakat adat dan leluhur mereka.
Ketika dilakukan pendaftaran di Mahkamah Agung (MA) disampaikan bahwa gugatan yang dimasukan telah kadaluwarsa. Terkait hal itu, kuasa hukum masyarakat desa Marafenfen memberi tanggapan kepada MA untuk menjawab tenggat waktu pengajuan gugatan yang dihitung tepat 14 hari setelah putusan pengadilan tinggi Maluku.
“Sampai saat ini, masyarakat desa Maafenfen masih tetap berharap agar hutan adatnya dapat dikembalikan sebagai hak masyarakat adat”, ujar Ros.
Dia menceritakan, sejak Februari 1991 TNI Angkatan Laut (TNI-AL) memasang patok pad lahan milik masyarakat adat tanpa bermusyawarah dengan mereka.
Baru setelah patok sudah dipasang, Letkol Salinding menyampaikan kepala desa Marafenfen bahwa pihak TNI AL membutuhkan tanah untuk membangun Pangkalan Udara TNI Angkatan Laut.
Kala itu, kepala desa diminta untuk menandatanani surat yang telah disiapkan oleh pihak TNI AL, tidak ada salinan yang diberikan kepada desa. Lahan seluas 400 hektar sedari awal telah dipatok oleh beberapa orang anggota TNI AL yang awalnya datang mengecek lokasi desa Marafenfen.
Pada Mei 1991, pihak TNI AL dibawah pimpinan Salinding, para pegawai dari Dinas Pertanahan Provinsi Maluku, serta pihak Kecamatan Pulau-Pulau Aru melakukan pengukuran lahan. Lahan yang awalnya 400 hektar bertambah menjadi 650 hektar dan berkembang menjadi 689 hektar.
Salinding meyakinkan pembangunan pangkalan udara bakal memberikan dampak baik bagi masyarakat. Kondisi ini justru berbalik 90 derajat.
Savana yang menjadi lahan berburu bagi masyarakat desa Marafenfen diubah menjadi tempat berburu para anggota TNI AL yang menggunakan senjata dan mobil setiap kali ada pergantian tugas. Hewan-hewan buruan yang awalnya dapat menghidupkan masyarakat dengan cepat berkurang dan saat ini sudah sulit didapatkan .
Masyarakat desa sempat melayangkan keberatan hingga mengadukan masalah ini ke Komnas HAM lantaran lumbung penghidupan mereka terancam hilang.
“Masyarakat sudah menyampaikan keberatan, sebab akan kehilangan lahan penghidupan sehingga upaya pengaduan dilakukan oleh masyarakat hingga ke Komnas HAM,” ungkapnya.
Perjuangan untuk mengembalikan hak atas tanah prosesnya sangat panjang. upaya menempuh jalur hukum adalah jalan terakhir dari perjuangan masyarakat desa Marafenfen sejak 1992. Walaupun gagal banding di pengadilan tinggi, perjuangan masih berlanjut pada tahap kasasi hingga saat ini.
Ketika masyarakat kehilangan tanah dan hutan berarti mereka akan kehilangan budaya. Sebab sejarah asal-usul, aturan sosial, hingga budaya masyarakat adat terbentuk bersama alam. Dalam segala aspek kehidupan masyarakat Aru berkaitan erat dengan ritual-ritual kepada sang pencipta, leluhur, dan roh yang hidup di alam.
Rosa berharap, pemimpin derah yang baru saja terpilih dapat mengimplementasikan Peraturan Daerah nomor 02 tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Aru Ursia-Urlima. Paling tidak pemetaan wilayah adat dalam peraturan yang telah diterbitkan ini menjadi payung hukum bagi masyarakat adat.
“Untuk tingkatan kabupaten, Perda nomor 02 kan sudah ada, cuman baru pada tataran peraturan saja tetapi implementasinya untuk menjawab kebutuhan masyarakat belum dilakukan,” pungkasnya. (TS-05)