titastory, Seram Selatan – Enam belas hari telah berlalu sejak Firdaus Ahmad Fauzi, pria kelahiran Cibeureum, Jawa Barat, menghilang di rimba Gunung Binaiya. Ia pergi mendaki sebagai peziarah alam, namun tak kembali dari balik batu dan pepohonan. Hutan menelannya dalam diam, dan yang tertinggal hanya jejak samar: langkah kaki yang sempat terlihat tegak, dan sebungkus rokok yang tertinggal di lembah Kali Yahe.
Hari-hari berlalu dengan doa dan kecemasan. Nama “Firdaus” tak lagi asing di telinga warga Piliana, para relawan, dan keluarga. Ia hidup dalam gumam doa, disebut dalam zikir masjid dan bisikan di baileo. Namun jejaknya, masih lenyap di antara sunyi lembah dan lebatnya hutan yang seakan menunduk dalam duka.

Di tengah keputusasaan, secercah harapan muncul dari pesisir Teluk Elpaputih. Di Teras Kota Haruru, Wakil Bupati Maluku Tengah, Mario Lawalata, bertemu Imam—kakak Firdaus—bersama relawan. Dialog itu bukan hanya formalitas. Di mata mereka, Lawalata hadir bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai manusia yang mengerti kehilangan.
“Kasih waktu ke kita, besok kita mulai bangun komunikasi,” ucap Lawalata tenang namun pasti. “Pemda akan bantu apa yang menjadi kebutuhan pencarian.”
Kehadirannya melegakan. Dalam lanskap birokrasi yang kerap lambat merespons, Mario Lawalata muncul di lapangan, bahkan turun langsung ke Negeri Piliana saat malam hampir menutup hari. Ia memberi sinyal bahwa negara belum sepenuhnya abai.
Peta Baru, Niat yang Lama
Kabar baik lainnya datang dari Kepala Balai Taman Nasional Manusela, Deny Rahadi. Ia menyetujui usulan Latupati Kecamatan Tehoru agar pencarian dilanjutkan lewat kerja sama masyarakat dan relawan. Meskipun Deny menyampaikan bahwa personel BTN belum bisa terlibat karena dalam masa pemulihan pasca pencarian tahap pertama, mereka tetap memantau dan mendukung dari jauh.
“Masih menunggu pemulihan, sambil kami memonitor pencarian relawan,” katanya.
Koordinator lapangan, Nasir Rumra, menyebutkan bahwa pencarian tahap kedua dibagi menjadi empat tim. Kelompok pertama memulai dari Nasapeha, kawasan yang kini disebut sebagai “Lembah Firdaus”, dengan menggelar ritual adat. Kelompok kedua berjaga di Pos IV Isilali. Kelompok ketiga menyisir Pos I Yamitala, dan tim terakhir bergerak naik menyusuri Kali Yahe—tempat terakhir jejak Daus ditemukan.
Raja Piliana, Agustinus Ilelapotoa, menegaskan meski Basarnas dan BTN belum terlibat langsung, pencarian tetap berjalan dengan dukungan penuh dari Pemerintah Daerah.

Ikhtiar Tak Kenal Lelah
Para relawan telah bersiap dengan perlengkapan lengkap: tandu, P3K, peralatan vertical rescue, hingga peta operasi SAR. Mereka datang dari berbagai penjuru, termasuk dari Kota Ambon dan Masohi. Desa Piliana menjadi pusat komando, tempat segala harap dan logistik ditumpahkan.
Yusuf Lumangkun, pemandu rombongan pendakian Firdaus, menyatakan kesiapannya untuk kembali menyusuri rimba. “Kami sudah siap. Yang dibutuhkan hanyalah sinyal dari pihak berwenang,” ucapnya.Namun lebih dari sekadar prosedur, pencarian ini telah menjelma menjadi panggilan nurani. Firdaus bukan sekadar pendaki hilang. Ia adalah simbol dari ikatan antar manusia: relawan, warga lokal, pemerintah, dan keluarga—semua bersatu dalam ikhtiar kemanusiaan.
Doa yang Terus Mengalir
Di malam-malam dingin Piliana, ketika kabut turun dan angin menyusup ke dinding-dinding rumah, nama Firdaus terus disebut. Di baileo, di masjid, di gereja. Dalam berbagai bahasa dan keyakinan, doa-doa dikirimkan ke arah Binaiya. Mereka percaya, suara hati mampu menembus sunyi hutan yang pekat.
Di bawah pohon-pohon tua, pada lembah yang mistis, mantra-mantra itu menggema. Hutan mendengarkan. Alam menyimpan rahasia. Tapi harapan, seperti sungai Yahe, tetap mengalir—pelan namun pasti.
Kini, pencarian dilanjutkan. Dan semua yang mengikuti kabar ini hanya bisa berharap: agar waktu, alam, dan manusia berpihak.
Bahwa suatu hari, Firdaus akan pulang.
Penulis: Sofyan Hattapayo Editor: Christ Belseran
