Jakarta,- Setahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka berjalan, risalah terbaru Gerakan #BersihkanIndonesia mencatat sebuah pola besar: negara digerakkan melalui komando ala militer, sementara ruang demokrasi dipersempit hingga nyaris nol. Otoritarianisme, menurut laporan itu, bukan lagi ancaman, melainkan kenyataan yang mengerucut dalam kebijakan politik dan ekonomi pemerintah.
Dalam risalah setebal puluhan halaman itu, para peneliti menggarisbawahi gejala totalitarian sejak awal masa pemerintahan. Negara mengambil alih kendali penuh atas alokasi sumber daya strategis, memusatkan keputusan ekonomi di tangan birokrat berseragam, dan mempersempit ruang oposisi maupun kritik publik. Retorika nasionalisme dipakai sebagai tameng dominasi politik, ekonomi, dan wacana publik—semuanya dikembalikan pada figur tunggal presiden.
Langkah simbolik yang paling disorot adalah pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional, yang dibaca sebagai upaya menormalisasi kembali warisan otoritarian Orde Baru. Praktik pelanggaran HAM dan represi politik dipoles sebagai ingatan kolektif yang patut dirayakan, seakan membuka jalan bagi kebangkitan pola kekuasaan lama.
Laporan itu dirilis bersamaan dengan keputusan DPR mengesahkan Revisi KUHAP, aturan yang dinilai menjadi pelengkap KUHP baru dalam membungkam kritik dan mengatur ulang batas-batas kebebasan sipil.
“Demokrasi bukan hanya dilemahkan, tapi sedang diberangus melalui perangkat hukum yang seolah legal,” demikian kesimpulan laporan tersebut.
Data yang dihimpun koalisi menunjukkan pola represi yang konsisten:
- 85 peristiwa kekerasan oleh TNI dengan 182 korban,
- 23 warga dikriminalisasi pasca aksi Hari Buruh,
- 444 orang ditangkap dan 997 dijadikan tersangka pasca demonstrasi Agustus 2025.
Koalisi menilai, angka-angka ini menegaskan bahwa represi hari ini adalah ancaman nyata, bukan asumsi.

Ekonomi Komando, Politik Patronase
Di bidang ekonomi, risalah tersebut menempatkan pemerintahan Prabowo–Gibran dalam posisi regresif. Kebijakan fiskal dinilai tidak diarahkan untuk kesejahteraan publik, melainkan menopang proyek-proyek populis yang menguntungkan lingkaran elite dan relawan politik.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disebut menjadi ladang rente pelbagai jaringan politik dan konglomerasi pangan. Konsolidasi aset BUMN melalui Danantara dituding memperkuat kontrol ekonomi oleh kelompok tertentu tanpa transparansi publik.
Di sektor pangan, transformasi tiga BUMN teknik menjadi Agrinas dipandang sebagai contoh terang rekayasa politik-ekonomi. Ratusan ribu hektare lahan negara dikonsolidasikan untuk korporasi pangan yang dikendalikan pensiunan jenderal dan relawan. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dituding menjadi rantai pertama pengambilalihan lahan masyarakat adat dan petani, yang kemudian masuk ke skema perkebunan dan biofuel.
“Ekonomi rakyat dikorbankan untuk kepentingan elite,” tulis laporan tersebut.
Hiliran dari kebijakan ekstraktif juga terlihat dari hilirisasi mineral, megautang infrastruktur, sampai janji “19 juta lapangan kerja” yang dianggap tidak realistis. Sementara itu, tingkat PHK terus meningkat dan ruang hidup komunitas terdampak menyempit.
Militerisasi Birokrasi dan Kamuflase Sipil
Laporan ini menyebut pemerintahan Prabowo–Gibran sebagai rezim sipil yang hanya berbaju sipil, tetapi beroperasi dengan mekanisme kontrol militeristik. Penempatan personel aktif TNI di kementerian dan lembaga, lahirnya komite-komite baru yang dipimpin para jenderal, hingga rekayasa kebijakan keamanan—semuanya dibaca sebagai perluasan peran militer di ruang sipil.
Kriminalisasi terhadap demonstran, petani, masyarakat adat, jurnalis, dan aktivis lingkungan dianggap sebagai pola sistematis. Pasal 162 UU Minerba disebut menjadi alat paling agresif dalam membungkam perlawanan warga terhadap proyek tambang dan infrastruktur.
Reshuffle kabinet yang berulang dan masuknya loyalis politik ke pos-pos strategis memperkuat kesimpulan laporan: negara tengah digerakkan oleh logika komando, bukan mekanisme demokrasi.
Peringatan dan Seruan Perlawanan
Meski bernada gelap, risalah ini tidak dimaksudkan untuk menebar ketakutan. Dokumen itu ditutup dengan ajakan untuk memahami pola represi sebagai landasan memperkuat gerakan rakyat.
“Fakta dibuka bukan untuk menakuti, melainkan untuk memulai perlawanan,” demikian seruan akhir laporan ini.
“Rezim dapat membatasi ruang hidup, tetapi tidak bisa mematikan solidaritas rakyat.”
Untuk diketahui laporan ini diterbitkan secara kolaboratif oleh #BersihkanIndonesia pada Oktober 2025, danbekerjasama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), Trend Asia, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Sajogyo Institute, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
