Jakarta, – Selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru, Soeharto membangun sistem kekuasaan yang menindas dan membungkam setiap kritik terhadap negara. Di bawah slogan “stabilitas nasional,” pemerintahan ini mematikan kebebasan berpikir, menindas oposisi, dan menjadikan pers sekadar alat legitimasi kekuasaan.
Bagi jurnalis, seniman, aktivis, dan mahasiswa, masa itu adalah era ketakutan. Setiap kata bisa berujung pada penjara. Setiap berita kritis bisa berakhir dengan pembredelan. Dan setiap perbedaan pandangan dianggap ancaman terhadap negara.

Kebebasan Pers di Bawah Bayang-Bayang Represi
Di ranah media, pembungkaman dilakukan sistematis melalui Departemen Penerangan yang mengontrol seluruh izin penerbitan. Instrumen seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) menjadi alat politik untuk mengatur siapa yang boleh berbicara, dan siapa yang harus diam.
Sejarah mencatat puluhan media dibungkam negara:
- 1974: Setelah Peristiwa Malari, 12 media ditutup termasuk Harian KAMI, Abadi, dan Mahasiswa Indonesia.
- 1978: Tempo, Kompas, Pelita hingga Sinar Harapan dilarang terbit sementara karena dianggap “menghasut.”
- 1994: Menteri Penerangan Harmoko mencabut izin tiga media besar — Tempo, Detik, dan Editor — dengan alasan “mengganggu stabilitas nasional.”
Tak hanya media besar, jurnalis kritis pun menjadi target langsung.
Mochtar Lubis dipenjara, Ahmad Taufik dan Eko Maryadi dijerat hukum karena mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sedangkan Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) dibunuh brutal setelah memberitakan kasus korupsi pejabat di Yogyakarta.
Swasensor menjadi budaya. Ketakutan menjadi instrumen kekuasaan.
Sensor dalam Dunia Seni dan Pengetahuan
Tak berhenti di media, represi juga menjalar ke dunia seni dan ilmu pengetahuan. Ribuan karya sastra, film, dan buku dilarang beredar karena dianggap “berbahaya.”
Menurut Human Rights Watch, lebih dari 2.000 buku dibredel di masa Soeharto — dari karya Pramoedya Ananta Toer, Soe Hok Gie, hingga Tan Malaka.
Pementasan teater juga menjadi sasaran. W.S. Rendra dan Bengkel Teater-nya pernah dilarang tampil, sementara Teater Koma kerap disensor karena satir terhadap pejabat.
Musisi seperti Iwan Fals ditahan dan lagu-lagunya dilarang tayang di TV karena kritik sosial.
Selama Orde Baru, seni dan pengetahuan kehilangan kebebasan; kreativitas dicurigai, kritik diadili.
Warisan Pelanggaran dan Ketidaklayakan Gelar
Di luar represi, Soeharto juga mewariskan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sistemik.
Laporan Stolen Asset Recovery (StAR) Bank Dunia 2007 menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia dengan kerugian negara mencapai USD 15–35 miliar.
Dua TAP MPR — XI/MPR/1998 dan IV/MPR/1999 — bahkan secara eksplisit menyebut Soeharto harus dimintai pertanggungjawaban atas praktik KKN dan pelanggaran HAM berat.
Atas fakta sejarah itu, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang mensyaratkan penerima harus memiliki integritas moral dan keteladanan.
Soeharto justru meninggalkan jejak antitesis dari nilai-nilai tersebut — mematikan demokrasi, membungkam pers, dan memperkaya kroni.
Menolak Soeharto Jadi Pahlawan: Demi Ingatan dan Demokrasi
Pemerintahan Prabowo–Gibran yang menghidupkan kembali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar penghinaan terhadap korban, tetapi juga ancaman serius bagi demokrasi Indonesia.
Pembungkaman kini tak lagi memakai pentungan dan SIUPP, melainkan UU ITE, serangan digital, kriminalisasi warganet, dan pembatasan ruang kritik.
Sejarah berulang dalam bentuk yang baru
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyatakan:
- Menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Itu adalah bentuk manipulasi sejarah dan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi 1998.
- Mendesak Dewan Gelar dan Presiden untuk menghentikan proses pengusulan dan memastikan negara berpihak pada nilai demokrasi, bukan pelaku represi.
- Menuntut pemulihan hak korban pelanggaran HAM dan represi pers pada masa Orde Baru serta memastikan akuntabilitas hukum bagi pelakunya.
- Mengajak publik untuk menolak lupa. Ingatan adalah bentuk perlawanan. Mengingat adalah cara menjaga masa depan demokrasi agar tidak kembali dirampas oleh sejarah yang sama.
Ingat, Reformasi Lahir dari Luka
Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus ingatan kolektif tentang perjuangan rakyat melawan ketakutan.
Reformasi lahir dari darah, air mata, dan nyawa mereka yang menolak tunduk pada kekuasaan tanpa batas.
“Ketika sejarah dimanipulasi, maka masa depan pun ikut dijual.”
Mari menolak lupa.
Mari menolak Soeharto jadi pahlawan.
#MenolakLupa #TolakSoehartoPahlawan #KebebasanPers #ReformasiTidakBolehMundur
