The Journalist: “You talked a lot about self-determination … right ? … in your speech at the ICJ (International Court of Justice – Penulis). Indonesia had of course also in the past some groups within the country asking for self-determination, the papuan people in the east and the people in the Moluccas. There were even some people protesting. What do you tell them about self-determination?”.
Retno Marsudi: “Do you think that … that case is simmiliar?”.
The Journalist: “I am asking you!”.
Retno Marsudi: “I don’t think, i don’t think, i mean comparing the issue that you mantioned with palestine issue is completely, completely different things. That is what i can say”.
The Journalist: “And can you explain why?”.
Retno Marsudi: “Ah … well … i mean if you look at from all the angels, all the reason, its i mean without explaining in details”.
The Journalist: “The different history you mean?”.
Retno Marsudi: “It’s quite, it’s quite, it’s quite … ah … its quite clear that comparing … ah … i mean we don’t have to compare or we canot compare to be more axact. we canot compare those two cases”.
The Journalist: “But you can’t explain a little it for a while … too of you was want to know, because I think that may not … ”.
Retno Marsudi: “i just, i just gift one example, the historical background that is it”.
Demikianlah dialog percakapan antara Menteri Luar Negeri’ (MENLU) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Retno Marsudi, dengan seorang jurnalis’ (journalist) stasiun televisi berita internasional, Al Jazeera (English). Paragraf sebagaimana tersebut di atas, dikutip dari hasil wawancara pada Minggu, tanggal 25 Pebruari 2024, di Jakarta, Indonesia. Percakapan keduanya diambil dalam potongan video di menit ke 17:03 sampai /dengan menit ke 18:17 dari keseluruhan durasi reportase yang selama 27:55 menit(https://youtu.be/BnLGKGer0rA?si=wAgzDQwT2PcHAPqv).
Jika ditelaah dari dialog dalam paragraf sebagaimana tersebut di atas, maka pada prinsipnya, Retno Marsudi ingin menyatakan bahwa, ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the Right of Self-determination) yang dituntut oleh rakyat Maluku dan oleh Rakyat Papua (dan juga oleh rakyat Acheh – Penulis) adalah berbeda ‘latar belakang sejarah’ (the historical background) dengan tuntutan hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat Palestina.
Namun demikian, satu dialog sekalipun tuntutan hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat Palestina adalah berbeda – dan dalam derajat tertentu (menurut pendapat Retno Marsudi) bahkan mustahil untuk dapat dibandingkan – dengan hak untuk menentukan nasib sendiri yang dituntut oleh rakyat Maluku, Acheh dan Papua, tetapi Retno Marsudi sendiri tidak pernah menyatakan dalam wawancara berdurasi 27:55 menit seperti tersebut di atas, bahwa rakyat Maluku, Acheh dan Papua tidak memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri.
Artinya, hak untuk menentukan nasib sendiri masih ada dan/atau masih eksis dan masih tetap dimiliki oleh rakyat Maluku, Acheh dan Papua sama seperti hak untuk menentukan nasib sendiri yang dimiliki oleh rakyat Palestina. Dengan demikian, dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, pendapat Retno Marsudi tentang perbedaan yang menjurus pada kemustahilan dibandingkannya hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat Maluku, Acheh dan Papua dengan hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat Palestina – bahkan atas dasar alasan ‘latar belakang sejarah’ (the historical background) sekalipun juga – adalah: “Sama Sekali Tidak Penting, Tidak Prinsipil, Tidak Esensial dan Tidak Substantive”.
Dalam hubungan dengan jawaban-jawaban Retno Marsudi yang sama sekali tidak penting, tidak prinsipil, tidak esensial dan tidak substantive sebagaimana tersebut di atas, justeru memunculkan pertanyaan moral dan etik yang amat sangat penting, prinsipil, esensial dan substantive, yaitu: “Mengapa Retno Marsudi takut untuk menyatakan kebenaran ???”.
Emile Zola: “Jika ‘Anda’ (Retno Marsudi – Penulis) menutupi kebenaran dan menimbunnya dalam tanah, kebenaran akan tumbuh, dan mengumpulkan tenaga dahsyat untuk dirinya sendiri hingga suatu hari nanti akan meledakkan segala sesuatu yang menghalangi jalannya” (Ryan Holiday (2024) Ego is the Enemy. Jakarta: Elex Media Komputindo, Cet. Ketujuh, h. 213).
Kebenaran (Arab-Israel)
Sampai/dengan hasil penghitungan jumlah banyaknya manusia di muka bumi ini yang paling akhir, yaitu pada hari Kamis, tanggal 28 Maret 2024, jumlah manusia yang hidup di atas muka bumi ini telah mencapai angka kurang lebih 8,1 Milyar orang banyaknya. 8,1 Milyar manusia tersebut oleh ‘Ilmu pengetahuan tentang manusia’ (antropologi) kemudian “dibedakan” ke dalam Ras (Race), Etnis (Ethnic), Bangsa (Nation), dan Suku (Tribe). Nenek Moyang pertama dari 8,1 Milyar ‘manusia’ (Homo Sapiens) yang ada di dunia pada saat sekarang ini, telah muncul di Benua Afrika sejak 200.000 (dua ratus ribu) tahun silam sesuai dengan ‘Teori Keluar dari Afrika’ (Out of Africa Teory)’ yang dikembangkan oleh antropolog James Dewey Watson (1928-2022), dan yang masih dianut hingga pada saat sekarang ini.
Manusia yang muncul di Benua Afrika pada 200.000 tahun silam itu, kemudian keluar dari Afrika pada 60.000 (enam puluh ribu) tahun lampau, dan lalu menyebar ke seluruh dunia. Terdapat manusia-manusia yang kemudian tinggal dan menetap di wilayah ‘Timur Tengah’ (Mesopotamia (di antara sungai: “Tigris & Eufrat”)), dan lalu mengembangkan pertanian untuk pertamakalinya pada tahun 10.000 (sepuluh ribu) Sebelum Masehi (SM). Dimana wilayah ‘tersebut’ (Mesopotamia), dikemudian hari lalu menjadi terkenal dalam sejarah umat manusia dengan sebutan: “Bulan Sabit Kesuburan & Tempat Lahirnya Peradaban”.
Pada tahun 8.000 (delapan ribu) SM, sekelompok kecil manusia membangun suatu kota kecil pertama dan tertua di dunia yang dinamakan: “Jericho”. Kota kecil ini, sekarang berada dalam wilayah Negara Israel dan/atau berada dalam wilayah Negara Palestina di Timur Tengah. Pada tahun 6.000 (enam ribu) SM, sekelompok besar manusia lain membangun suatu kota besar pertama dan tertua di dunia yang dinamakan: “Catal Huyuk”. Kota besar ini, sekarang berada dalam wilayah ‘Negara Turki’ (Asia) di Timur Tengah.
Pada tahun 4.500 (empat ribu lima ratus) SM, sekelompok manusia yang “menggolongkan” dirinya sebagai bangsa Sumeria membangun kerajaan pertama dan tertua di dunia dengan nama: “Kerajaan Sumeria”. Kerajaan Sumeria ini, sekarang berada dalam wilayah Negara Irak di Timur Tengah. Selain Bangsa Sumeria yang membangun Kerajaan Sumeria di Timur Tengah, kelompok-kelompok manusia lain di Timur Tengah kemudian “menggolong-golongkan” diri mereka juga ke dalam Bangsa-bangsa lalu membangun berbagai Kerajaan.
Salah satu dari berbagai kerajaan di Timur Tengah itu adalah Kerajaan Israel yang dibangun oleh Bangsa Yahudi pada tahun 1050 (Seribu lima puluh) SM. Kerajaan Israel ini, kemudian terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: “Kerajaan Israel Utara (Samaria) (931 SM – 723 SM) dan ‘Kerajaan Israel Selatan’ (Yehuda) (1000 SM – 586 SM)”. Selama hidupnya, Kerajaan ‘Israel’ (Samaria & Yehuda) telah diperintah oleh 56 (lima puluh enam) orang Raja, dari Saul sebagai Raja yang pertama (1050 SM) sampai/dengan Herodes Philippus II sebagai Raja yang terakhir (39 Masehi (M)). Akan tetapi, Bangsa Yahudi itu sendiri masih terus melakukan perlawanan “besar” terhadap Bangsa-bangsa, Kerajaan-kerajaan dan/atau Negara-negara asing yang datang silih berganti untuk menduduki wilayah Kerajaan Israel sampai/dengan tahun 613 M.
Catatan: Pada saat pemerintahan Raja Kerajaan Israel yang ke-empat bernama Salomo / Solomon / Sulaiman (970 SM – 931 SM), perdagangan ‘rempah-rempah’ (exotic spices) dari Kepulauan Maluku telah mencapai wilayah Timur Tengah. Hubungan dagang antara Maluku dan Timur Tengah dilakukan melalui para pedagang perantara, dari: “Cina, Arab, dan India”. Perihal ini dapat dibuktikan dengan adanya sejarah tertulis di Timur Tengah yang ditemukan dalam kitab Raja-raja, Pasal 10, ayat (2) dan ayat (10): “Ia (Ratu Negeri Shyeba – Penulis) datang ke Yerusalem dengan pasukan pengiring yang sangat besar, dengan unta-unta yang membawa rempah-rempah …; Tidak pernah datang lagi begitu banyak rempah-rempah seperti yang diberikan oleh Ratu Negeri Shyeba kepada Raja Salomo itu” (dalam terjemahan yang lain disebutkan, bahwa: “Sesungguhnya Raja Salomo tidak pernah lagi menerima rempah-rempah sebanyak yang dihadiahkan Ratu Negeri Shyeba itu”). Negeri Shyeba itu, pada saat ini kemungkinan besar, adalah: “Eritrea atau Ethiopia atau Yaman”.
Wilayah Bangsa Yahudi itu sendiri telah mejadi salah satu dari banyak wilayah di Timur Tengah yang diperebutkan oleh berbagai Bangsa dan Kerajaan disepanjang sejarah dunia. Wilayah Bangsa Yahudi pernah direbut oleh: “Kerajaan Asyur (722 SM – 586 SM), Kerajaan Babilonia (586 SM – 539 SM), Kerajaan Persia (539 SM – 332 SM), Kerajaan Macedonia (332 SM – 305 SM), Dinasti Ptolomeus (305 SM – 198 SM), Seleukus (198 SM – 141 SM), Kerajaan Romawi (141 SM – 395 M), Kerajaan Bizantium (395 M – 638 M), Kekhalifahan Arab (638 M – 1099 M), Negara-negara Tentara Salib (1099 M – 1187 M), Ayyubiyah dari Mesir dan Suriah (1187 M – 1260 M), Mameluk dari Mesir (1260 M – 1516 M) dan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman (1516 M – 1917 M)”.
Pada hari Kamis, tanggal 31 Oktober 1918, dilakukan gencatan senjata yang mengakhiri perang antara ‘Triple Etente’ (Inggris, Perancis dan Rusia) dengan ‘Triple Alliance’ (Jerman, Austro-Hongaria, dan Italia) di wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman, dan wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman kemudian dibagi-bagi seluruhnya, kepada: “Inggris, Perancis, Yunani, dan Italy”. Dimana Inggris memperoleh wilayah: “Palestina, Suriah, dan Mesopotamia”.
Pada hari Sabtu, tanggal 10 Januari 1920, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) (League of Nations) di-dirikan di Geneva, Swiszerland. Beberapa bulan setelah di-dirikan, tepatnya pada hari Minggu, tanggal 25 April 1920, LBB menerbitkan suatu Resolusi yang bernama: “Resolusi San Remo”. Resolusi ini merupakan hasil dari Konferensi San Remo yang dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 19 April 1920 sampai/dengan hari Senin, tanggal 26 April 1920, di Kastil Devachan, San Remo, Italia, oleh para peserta konferensi, yaitu: “Inggris, Perancis, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat”. Resolusi ini juga mengukuhkan beberapa kesepakatan yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu: “Perjanjian Sykes-Picot (Selasa, 23 November 1915 – Selasa, 16 Mei 1916); Deklarasi Balfour (Jumat, 2 Nopember 1917); Konferensi London (Kamis, 12 Pebruari 1920 – Sabtu, 10 April 1920); dan Paragraf ke-empat, Pasal 22, Bagian I Piagam LBB)”.
Resolusi San Remo sebagaimana tersebut di atas, menghasilkan beberapa keputusan, yang salah satu dari keputusan itu, adalah: “LBB memberikan Mandat (Kelas A) kepada Inggris atas Mesopotamia dan Palestina”. Palestina dalam konteks ini hanya mengandung arti sebagai ‘nama’ (nomenklateur) dari suatu wilayah di Timur Tengah, dan tidak mengandung arti sebagai suatu ‘bangsa’ (Nation) yang ada di Timur Tengah. Palestina pada kenyataannya adalah suatu wilayah yang di dalamnya terdapat berbagai bangsa, tetapi hanya terdapat 2 (dua) bangsa yang secara politik memiliki kekuatan besar dalam persaingan kekuasaan, yaitu: “Bangsa Arab & Bangsa Yahudi”. Wilayah di Timur Tengah yang disebut dengan nama Palestina – sebagaimana nama wilayah yang dimandatkan oleh LBB kepada Inggris – dalam pengertian kontemporer secara umum didefenisikan sebagai suatu wilayah di Timur Tengah dengan batas sebelah Timur adalah Sungai Yordan; di sebelah utara, berbatasan dengan perbatasan antara Israel dan Libanon; di sebelah Barat, berbatasan dengan Laut Mediterania (termasuk pantai Gaza); dan di sebelah Selatan, berbatasan dengan gurun Negev, dengan perluasan bagian paling selatan adalah mencapai teluk Aqaba.
Catatan: Nama Palestina itu sendiri berasal dari kata ‘Filistia’ (Philistia) yang diciptakan oleh para penulis Bangsa Yunani untuk menyebut Negeri-negeri: “Orang Filistin”. Orang Filistin datang dari Pulau-pulau di laut Aegea, kemungkinan besar datang dari Pulau Kreta di Yunani. Orang Filistin kemudian tinggal menetap dan bercampur baur dengan penduduk asli yang dikenal dengan sebutan: “Orang Kanaan”. Pada abad ke-12 SM, orang Filistin telah menempati sebidang kecil tanah di pantai selatan di wilayah: “Tanah Kanaan”. Saat ini, wilayah itu adalah antara: “Tel Aviv – Yafo dan Gaza”. Akan tetapi, pada tahun 604 SM, penduduk asli Filistin menghilang dari catatan sejarah dunia segera setelah rakyat dalam wilayah Filistia habis dibinasakan oleh Raja Nebukadnezar II dari Kerajaan Neo-Babilonia. Sejak saat itu pula, nama Filistia maupun Filistin tidak pernah digunakan lagi dalam catatan sejarah dunia. Meskipun demikian, nama Palestina itu kemudian dihidupkan kembali penggunaannya oleh Kaisar Romawi: “Hadrian”. Hadrianus mengganti nama ‘Yudea’ (Israel) dengan nama “Palestina” pada tahun 135 M, 8 (delapan) abad dan/atau 800 (delapan ratus) tahun sejak nama “Palestina” sudah tidak pernah disebutkan lagi dalam sejarah dunia. Pada tahun 1976, E. Mary Smallwood, dalam tulisan dibawah judul, The Jews Under Roman Rule, menulis, bahwa: “Perubahan itu (Yudea / Israel) menjadi Palestina – Penulis) sebagai bagian dari upaya Romawi untuk meminimalisir identitas Yahudi dari wilayah tersebut”.
Baik Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi adalah bangsa-bangsa dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian politis / psikologis / subjektif sebagaimana uraian penjelasan dalam pembahasan seperti tersebut di atas. Perihal ini merupakan ‘syarat utama’ (the main requirement) dari beberapa syarat lainnya dalam hukum internasional yang memberikan kepada, baik Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi: “Hak untuk menentukan nasib sendiri (the Right of Self-determination)”. Hak untuk menentukan nasib sendiri dari Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi dalam wilayah Mandat Inggris atas Palestina kemudian diatur pula melalui berbagai perjanjian internasional.
Hak untuk menentukan nasib sendiri dari Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi di wilayah mandat Inggris atas Palestina dalam kerangka perjanjian internasional telah dimulai sejak adanya ‘surat menyurat dan/atau korespondensi’ (correspondence) antara Hussein Ibn Ali (Syarif di Makkah) dengan Letnan Kolonel (LETKOL) Sir Henry McMahon (Komisioner Tinggi Inggris untuk Mesir). Dalam 10 (sepuluh) surat sebagai hasil dari korespondensi yang telah berlangsung sejak bulan Juli tahun 1915 sampai/dengan bulan Maret tahun 1916 itu, Syarif Hussein ibn Ali dan Sir Henry McMahon membahas tentang: “persetujuan Inggris untuk mengakui kemerdekaan Arab setelah Perang Dunia Pertama dalam batas-batas dan perbatasan yang diusulkan oleh Syarif Makkah dengan pengecualian bagian-bagian Suriah yang terbentang dari barat distrik Damaskus, Homs, Hamat, dan Aleppo, sebagai balas jasa atas dilaksanakannya Pemberontakan Arab melawan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman sebagai suatu ‘kompensasi’ (quid pro quo)”.
Sementara itu, pada hari Sabtu, tanggal 10 April 1915, telah ditandatangani Perjanjian Konstantinopel sebagai hasil dari korespondensi diplomatik rahasia yang telah berlangsung sejak hari Kamis, tanggal 4 Maret 1915 sampai/dengan hari Sabtu, tanggal 10 April 1915, oleh dan di-antara para anggota Triple Etente, yaitu: “Inggris, Perancis, dan Rusia”. Dalam perjanjian ini, Inggris dan Rusia setuju untuk menyerahkan kepada Perancis, wilayah: “Palestina”. Sementara itu pula, pada hari Senin, tanggal 26 April 1915, telah ditandatangani juga Perjanjian London antara Triple Etente dengan Italia. Perjanjian ini, berisikan janji Triple Etente untuk menyerahkan kepada Italia beberapa wilayah jajahan baru termasuk didalamnya wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman, jika dan hanya jika Italia berpihak pada Triple Etente dan keluar dari Triple Alliance, yaitu: “Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia”. Janji ini, kemudian dinyatakan dalam Pasal 9 dari Perjanjian London yaitu, bahwa: “Jika Perancis, Inggris, dan Rusia menduduki wilayah manapun di Turki di Asia (Timur Tengah – Penulis) selama perang berlangsung, wilayah di atas akan diserahkan kepada Italia, yang berhak mendudukinya”.
Selanjutnya pada hari Selasa, tanggal 16 Mei 1916, Triple Etente, dan Italia, sesudah melalui suatu negosiasi panjang yang dilakukan dari hari Selasa, tanggal 23 Nopember 1915 hingga hari Senin, tanggal 3 Januari 1916, telah meratifikasi Perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian ini, memberikan kepada Inggris kendali atas beberapa wilayah di Timur Tengah, termasuk di dalamnya, wilayah: “Palestina”. Selanjutnya lagi, pada hari Rabu, tanggal 26 September 1917, Inggris, Perancis, dan Italia – tanpa kehadiran Rusia sebagai salah satu dari tiga anggota Triple Etente – telah menandatangani Perjanjian Saint Jean de Maurienne di daerah Saint Jean de Maurienne yang terletak di wilayah perbatasan antara Perancis dan Italia. Perjanjian ini dimaksudkan sebagai perjanjian tentatif guna menyelesaikan kepentingan Italia di Timur Tengah, khususnya yang berhubungan dengan ketentuan Pasal 9 dari Perjanjian London sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi, Inggris kemudian menjadikan ketiadaan tandatangan Rusia atas perjanjian Saint Jean de Maurienne sebagai alasan pembenar untuk membatalkan Perjanjian Saint Jean de Maurienne dalam Konferensi Perdamaian Paris pada tahun 1919, yang dilaksanakan di ‘Paris’ (ibukota Negara Perancis).
Konferensi Perdamaian Paris kemudian menghasilkan 5 (lima) perjanjian penting. Salah satu dari kelima perjanjian penting itu, adalah: “Perjanjian Sevres”. Perjanjian ini ditandatangai pada hari Selasa, tanggal 10 Agustus 1920, di ruang pameran pabrik porselen Manufacture Nationale de Sevres di daerah Sevres, Perancis, oleh dan di-antara Negara-negara: “Perancis, Inggris, Italia, Jepang, dan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman”. Perjanjian ini pada prinsipnya berisikan penyerahan dan pembagian wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman kepada Perancis, Inggris, Yunani, dan Italia, serta menciptakan zona pendudukan yang luas di dalam wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman.
Salah satu wujud nyata dari hasil pelaksanaan Perjanjian Sevres sebagaimana tersebut di atas, adalah: “Mandat Inggris untuk Palestina”. Perihal ini adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 95 Perjanjian Sevres itu sendiri yaitu, bahwa: “Para pihak yang berperan dalam kontrak tinggi sepakat untuk mempercayakan, dengan penerapan ketentuan ‘pasal 22’ (Piagam LBB – Penulis), administrasi Palestina, dalam batas-batas yang mungkin ditentukan oleh Sekutu Utama, kepada seorang Mandatori yang akan dipilih oleh sekutu tersebut. Mandatori akan bertanggungjawab untuk memberlakukan deklarasi yang awalnya dibuat pada hari Jumat, tanggal 2 November 1917 (Deklarasi Balfour – Penulis) oleh Pemerintah Inggris dan yang diadopsi oleh sekutu lainnya, yang mendukung pembentukan tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dengan pemahaman yang jelas bahwa tidak boleh ada tindakan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama masyarakat non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang-orang Yahudi di negara lain manapun”.
Selain itu, Konferensi Perdamaian Paris juga telah menghasilkan beberapa keputusan utama, yang salah satu dari beberapa keputusan utama itu, adalah: “Pembentukan LBB”. Dimana dalam hubungan dengan Pasal 95 Perjanjian Sevres sebagaimana tersebut di atas, Paragraf ke-empat, Pasal 22, Bagian I, dari Piagam LBB ini menyatakan, bahwa: “Komunitas tertentu yang sebelumnya menjadi bagian dari ‘Kekaisaran Turki’ (Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan/atau Kekaisaran Turki Ottoman – Penulis) telah mencapai taraf perkembangan dimana keberadaan mereka sebagai negara merdeka dapat diakui sementara dengan syarat diberikannya nasihat dan bantuan administratif oleh Mandat hingga mereka mampu berdiri sendiri. Keinginan komunitas ini harus menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan mandat”. Atas dasar Paragraf ke-empat, Pasal 22, Bagian I, dari Piagam LBB tersebut, maka LBB pada hari Minggu, tanggal 25 April 1920, kemudian mengadopsi suatu Resolusi yang bernama: “Resolusi San Remo”.
Baik Resolusi San Remo maupun Perjanjian Sevres sebagaimana tersebut di atas yang menghasilkan “Mandat Inggris atas Palestina”, telah mengukuhkan ‘Deklarasi Balfour’ (Jumat, 2 Nopember 1917) yang menyatakan, bahwa: “Pemerintah yang mulia memandang positif pendirian suatu tanah air nasional bagi orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan segala daya upaya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini, dengan pemahaman yang jelas bahwa tidak boleh ada tindakan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di Negara manapun”. Mandat Inggris atas Palestina sebagaimana tersebut di atas, adalah suatu ‘wilayah’ (Palestina) yang secara “mayoritas” dihuni oleh Bangsa Arab dan Bangsa Yahudi.
Dalam kenyataannya dan/atau secara faktual (de Facto) dan juga secara tradisional, wilayah Palestina ini adalah wilayah “sengketa” antara Bangsa Arab dan Bangsa Yahudi yang masing-masing memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan hukum internasional. Dalam upaya untuk menyelesaikan “sengketa” dimaksud, Inggris sebagai pemegang Mandat atas Palestina – yang diberikan oleh LBB – melalui Komisi Peel (Peel Commission) pada tahun 1937 dan melalui Komisi Woodhead (Woodhead Commission) pada tahun 1938, telah mengusulkan pembagian wilayah Palestina atas: “wilayah Arab & wilayah Yahudi”. Namun demikian, sekalipun usulan tersebut diterima oleh Bangsa Yahudi, tetapi usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Bangsa Arab. Sementara itu, pada hari Jumat, tanggal 19 April 1946, LBB membubarkan dirinya sendiri melalui suatu Resolusi dan digantikan oleh ‘Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (the United Nations (UN)) yang didirikan di San Fransisco, California, Amerika Serikat (AS), pada hari Rabu, tanggal 24 Oktober 1945.
Dalam kerangka melanjutkan upaya untuk menyelesaikan “sengketa wilayah” (territorial dispute) antara Bangsa Arab dan Bangsa Yahudi yang telah mulai dirintis oleh Inggris sebagaimana tersebut di atas, maka pada hari Sabtu, tanggal 29 November 1947, Majelis Umum (MU) PBB (United Nations General Assembly (UNGA)) mengadopsi Resolusi, nomor: 181 (II) tentang “Rencana pembagian wilayah mandat Inggris atas Palestina dalam bentuk pendirian Negara Arab dan Negara Yahudi yang berdaulat dan merdeka”. Akan tetapi, sehari setelah diterbitkannya resolusi ini, terjadi peristiwa peperangan antara Bangsa Arab dengan Bangsa Yahudi di ‘Palestina’ (wilayah Mandat Inggris). Setahun kemudian, tepatnya pada hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948, ketika Inggris menyerahkan ‘wilayah mandatnya itu’ (Palestina) kepada PBB terjadilah peristiwa: “Perang Arab-Israel pertama”. Perang ini, oleh Bangsa Israel disebut sebagai: “Perang Kemerdekaan dan/atau Perang Pembebasan”.
Catatan: Sekalipun sengketa antara Bangsa Arab dengan Bangsa Israel adalah “sengketa ‘wilayah / teritori’ (Territory)”, tetapi oleh beberapa kalangan kerapkali masih di-anggap sebagai: “sengketa agama” (religious dispute). Di Indonesia sendiri misalnya, bahkan ada kalangan Islam yang mengidentikkan dirinya dengan “Arab / Palestina”, dan ada kalangan Kristen yang mengidentikkan dirinya dengan “Yahudi / Israel”. Dimana identifikasi seperti ini, dalam kenyataannya dapat dan/atau telah digunakan oleh kelompok-kelompok kepentingan politik (political interest groups) – termasuk Negara sebagai organisasi politik terbesar – sebagai “alat” guna menciptakan konflik dalam masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Konflik Maluku (1999 – 2004) adalah salah satu contoh kasus, yang meninggalkan “saling curiga” (khususnya dalam urusan politik) sampai/dengan saat ini, meskipun konflik itu sendiri telah lama berlalu. Dalam hubungan dengan perihal ini, Duta Besar (DUBES) Palestina untuk Indonesia, Dr. Zuhair S. M. Al Shun, ketika memberikan kuliahnya di ‘Universitas Islam Indonesia’ (UII) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada hari Selasa, tanggal 17 Mei 2022, menyatakan, bahwa: “Pertikaian di kawasan itu (Palestina – Penulis) adalah persoalan politik. Penegasan ini penting, karena di Indonesia, konflik Palestina sering dianggap berlandaskan agama … Palestina terbentuk oleh komunitas Muslim, Kristen dan Yahudi … belakangan agama juga dijadikan kendaraan, tameng untuk mencari massa, mencari dukungan, sehingga kemudian mulailah ada oknum-oknum yang membuat kekacauan di Masjid, di Gereja, dan seterusnya, semata-mata hanya untuk menggambarkan bahwa ini adalah konflik agama” (https://www.voaindonesia.com).
Perihal sebagaimana tersebut di atas, dapat dikatakan demikian, sebab sehari sebelum Inggris mengembalikan mandat atas wilayah Palestina kepada PBB yaitu, pada hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948, Bangsa Yahudi telah memproklamasikan berdirinya Israel sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka, yaitu pada hari Jumat, tanggal 14 Mei 1948. Dengan demikian dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, ketika Bangsa Yahudi memproklamasikan Israel sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka pada hari Jumat, tanggal 14 Mei 1948, wilayah Negara Israel adalah wilayah yang dimandatkan oleh LBB kepada Inggris pada hari Minggu, tanggal 25 April 1920, yaitu: “Palestina (dengan pembagian wilayah berdasarkan Resolusi UNGA, hari Sabtu, tanggal 29 November 1947, nomor: 181 (II) tentang Rencana pembagian wilayah mandat Inggris atas Palestina dalam bentuk pendirian Negara Arab dan Negara Yahudi yang berdaulat dan merdeka)”. Inggris baru mengembalikan mandat atas wilayah Palestina tersebut kepada PBB pada hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah Bangsa Yahudi memproklamasikan Israel sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka, yaitu pada hari Jumat, tanggal 14 Mei 1948.
Perang Arab-Israel yang pertama sebagimana tersebut di atas, adalah peristiwa perang “antar negara” yang pertamakali terjadi dalam ‘wilayah bekas mandat Inggris’ (Palestina), yaitu: “Perang antara Negara-negara Arab melawan Negara Israel”. Perang tersebut dimulai ketika pada hari Sabtu, tanggal 15 Mei 1948, pasukan tentara dari Negara-negara, Mesir (merdeka pada hari Selasa, tanggal 28 Pebruari 1922), Transyordania (merdeka pada hari Senin, tanggal 17 Juni 1946), Suriah (merdeka pada hari Rabu, tanggal 17 April 1946), dan Irak (merdeka pada hari Senin, tanggal 3 Oktober 1932) melakukan serangan militer terhadap Negara Israel (merdeka pada hari Jumat, tanggal 14 Mei 1948). Perang yang berlangsung selama hampir kurang lebih 10 (sepuluh) bulan itu (Sabtu, tanggal 15 Mei 1948 – Kamis, tanggal 10 Maret 1949) berakhir dengan dikuasainya secara “mayoritas” ‘wilayah bekas mandat Inggris’ (Palestina) oleh Israel, sementara “sisanya” yaitu, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dikuasai oleh Transyordania, sedangkan Jalur Gaza dikuasai oleh Mesir.
Peristiwa peperangan antara Bangsa Arab melawan Bangsa Yahudi di ‘wilayah bekas mandat Inggris’ (Palestina) baru mulai terjadi ketika ‘Organisasi Pembebasan Palestina’ (Palestinian Liberation Organization (PLO)) didirikan di Kairo, Mesir pada hari Selasa, tanggal 28 Mei 1964, dengan tujuan untuk: “Kemerdekaan Palestina”. Pada mulanya, PLO bertujuan untuk mendirikan Negara Arab di seluruh ‘wilayah bekas Mandat Inggris’ (Palestina), dan menghapus Negara Israel dari dalam peta dunia (PLO menolak mentah-mentah pembagian Palestina berdasarkan Resolusi UNGA, hari Sabtu, tanggal 29 November 1947, nomor: 181 (II) tentang “Rencana pembagian wilayah mandat Inggris atas Palestina dalam bentuk pendirian Negara Arab dan Negara Yahudi yang berdaulat dan merdeka”). Akan tetapi, PLO kemudian mengakui kedaulatan Israel sebagai suatu Negara Merdeka dalam Perjanjian Oslo pertama yang ditandatangani di Washington D. C., Amerika Serikat, pada hari Senin, tanggal 13 September 1993. Pada saat ini, PLO hanya bertujuan untuk memperoleh status sebagai Negara Arab di wilayah Tepi Barat dan di wilayah Jalur Gaza yang berhasil diduduki oleh militer Israel sejak “Perang Arab-Israel ketiga (Perang Juni)” pada tahun 1967, yang menjadi amat sangat terkenal dalam sejarah dunia dengan sebutan: “Perang 6 (enam) hari”.
Namun demikian, sekalipun militer Israel telah berhasil menduduki wilayah ‘Tepi Barat’ (termasuk Jerusalem Timur dari Jordania) dan wilayah ‘Jalur Gaza’ (termasuk semenanjung sinai dari Mesir) – maupun dataran tinggi Golan dari Suriah – setelah berakhirnya perang ‘Arab’ (Mesir, Suriah, Jordania, Irak, dan Libanon) melawan Israel untuk ketiga kalinya (Senin, 5 Juni 1967 – Sabtu, 10 Juni 1967), tetapi beberapa bulan kemudian, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 22 Nopember 1967, Dewan Keamanan (DK) PBB dengan suara bulat telah mengadopsi Resolusi ‘DK-PBB’ (United Nations Security Council (UNSC)), nomor: 242 (S/RES/242) berdasarkan Bab VI Piagam PBB tentang Penyelesaian Pertikaian Secara Damai. Berdasarkan Resolusi 242 ini, Israel kemudian menarik diri dari: “Tepi Barat & Jalur Gaza”.
Tepi Barat dan Jalur Gaza itu sendiri kemudian diproklamasikan oleh PLO sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat dengan nama “Palestina” di Aljir, Aljazair, pada hari Selasa, tanggal 15 November 1988, atas dasar Resolusi UNGA, hari Sabtu, tanggal 29 November 1947, nomor: 181 (II) tentang “Rencana pembagian wilayah mandat Inggris atas Palestina dalam bentuk pendirian Negara Arab dan Negara Yahudi yang berdaulat dan merdeka”. Nama “Palestina” itu sendiri, kemudian diakui oleh MU-PBB sebagai pengganti nama PLO. Dengan munculnya Palestina sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka sebagaimana tersebut di atas, maka posisi kasus “Israel-PLO” kemudian berubah pula menjadi kasus “Israel-Palestina”. Meski demikian, sekalipun posisi kasus “Israel-PLO” telah berubah menjadi kasus “Israel-Palestina”, tetapi secara prinsipil, esensial, dan substantive, posisi kasus ini adalah tetap sama dan tidak akan pernah berubah, yaitu: “Arab-Israel”.
Catatan: Dalam hubungan dengan posisi kasus “Arab-Israel” sebagaimana tersebut di atas, Jika ditelaah dari sudut pandang antropologis / sosiologis / objektif, maka baik Bangsa Arab maupun Bangsa Isreal adalah berasal dari satu ‘Ras’ (Race) yang sama, yaitu: “Semitis / Hamites / Japhetites”. Bahkan, bapak leluhur Bangsa Yahudi / Israel yaitu, Abraham / Abram / Ibrahim, berasal dari: “Ur-Kasdim”. Ur-Kasdim itu sendiri adalah, kota Sumeria yang terletak di selatan Mesopotamia / Babilonia di dekat sungai Eufrat, suatu wilayah yang pada saat ini berada di sebelah selatan Negara: “Irak”.
Dengan dibentuknya Palestina sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat pada hari Selasa, tanggal 15 November 1988, sebagaimana tersebut di atas, maka Bangsa Arab telah memiliki “rumah” di ‘bekas wilayah Mandat Inggris di Timur Tengah’ (Palestina), sama seperti “rumah” bagi Bangsa Yahudi di ‘bekas wilayah Mandat Inggris di Timur Tengah’ (Palestina) yang telah ada sebelumnya melalui pembentukan Isreal sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat pada hari Jumat, tanggal 14 Mei 1948. Pembentukan Negara Israel bagi Bangsa Yahudi di wilayah ‘Palestina’ (bekas wilayah Mandat Inggris di Timur Tengah), dan pembentukan Negara Palestina bagi Bangsa Arab di wilayah ‘Palestina’ (bekas wilayah Mandat Inggris di Timur Tengah) merupakan salah satu perwujudan dari “Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri” bagi: “Bangsa Arab di Palestina & Bangsa Yahudi di Palestina”.
Hak untuk menentukan nasib sendiri dari Bangsa Yahudi di Palestina dan Bangsa Arab di Palestina meskipun dengan tanpa adanya suatu ‘perjajian khusus’ (Deklarasi Balfour (1917), usulan Komisi Peel (1937), usulan Komisi Woodhead (1938), dan Resolusi MU-PBB, nomor: 181 (1947)) adalah amat sangat kuat. Perihal ini adalah dapat dikatakan demikian karena, baik Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi adalah “entitas” yang dapat disebut sebagai bangsa dalam pengertian, antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian psikologis / politis / subjektif, dan baik Bangsa Arab maupun Bangsa Yahudi, adalah “entitas” yang merupakan bagian dari Bangsa-bangsa dengan tingkat kebudayaan dan/atau peradaban yang tinggi di Timur Tengah pada masa lalu seperti dapat ditemukan dalam catatan sejarah dunia. Pada saat ini, berbeda dengan Bangsa Yahudi yang hanya memiliki satu Negara bernama Israel, maka Bangsa Arab memiliki sejumlah kurang lebih 24 (dua puluh empat) Negara banyaknya, termasuk didalamnya Negara yang bernama: “Palestina”.
Bangsa Arab di Palestina mulai menyebut diri mereka sendiri sebagai “Bangsa Palestina” ketika mereka membentuk PLO pada tahun 1964. Jika ditelaah dari sudut pandang ‘ilmu pengetahuan tentang bangsa’ (etnology) – berbeda dari Bangsa Arab yang adalah bangsa dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif – maka Bangsa Palestina adalah bangsa dalam pengertian psikologis / politis / subjektif. Bangsa Arab yang telah membentuk begitu banyak Negara Arab sebagaimana tersebut di atas – bahkan kemudian mengikat Negara-negara Arab itu dalam suatu ikatan yang bernama ‘Liga Arab’ (Kamis, 22 Maret 1945) – telah menjadikan Bangsa Arab tidak hanya sebagai suatu bangsa dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif, tetapi juga sebagai suatu Bangsa dalam pengertian psikologis / politis / subjektif. Sementara itu, oleh karena Bangsa Palestina adalah suatu bangsa yang berasal dari Bangsa Arab, maka Bangsa Palestina akan tetap dan seterusnya menjadi suatu bangsa dalam pengertian psikologis / politis / subjektif, dan Bangsa Palestina itu sendiri tidak akan pernah menjadi suatu bangsa dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif.
Tidak seperti Negara Israel yang telah diterima sebagai anggota penuh ke-59 di PBB pada hari Minggu, tanggal 11 Mei 1941, maka Negara Palestina masih harus dan terus berjuang untuk dapat menjadi anggota penuh PBB, sekalipun status ‘Palestina’ (PLO) telah menjadi “pengamat di MU-PBB“ sejak tahun 1975, dan kemudian ditingkatkan statusnya itu oleh PBB sebagai “Negara pengamat non anggota di PBB” sejak tahun 2012, ketika PLO telah menjadi Negara Palestina. Sampai dengan hari Jum’at, tanggal 18 April 2024 ini, DK-PBB masih belum memberikan persetujuan kepada Negara Palestina untuk dapat menjadi anggota penuh PBB, sekalipun dalam Sidang Umum Darurat Luar Biasa PBB yang dilakukan pada hari Jumat, tanggal 10 Mei 2024, 143 (seratus empat puluh tiga) Negara dari 193 (seratus sembilan puluh tiga) Negara anggota PBB atau lebih dari 2/3 (dua per tiga) Negara anggota PBB telah memberikan suara setuju agar Negara Palestina diterima sebagai anggota penuh PBB, dan mendorong DK-PBB untuk menyetujui Negara Palestina sebagai anggota penuh PBB.
Upaya keras Negara Palestina untuk diterima menjadi anggota penuh PBB sebagaimana tersebut di atas, dapat dipandang sebagai salah satu usaha guna mendapatkan ‘pengakuan’ (recognition) dari 217 (dua ratus tujuh belas) Negara di dunia yang 193 (seratus sembilan puluh tiga) Negara adalah anggota PBB. Akan tetapi, terlepas dari semua usaha Negara Palestina tersebut, Jika ditelaah dari sudut pandang hukum Internasional yang menganut ‘Doktrin Deklaratoir dan/atau Doktrin Evidenter’ (Declaratory Doctrine/Evidentiary Doctrine) dan tidak menganut ‘Doktrin Konstitutif’ (Constitutive Doctrine) seperti yang diatur dalam Konvensi Montevideo tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Negara-negara (Montevideo Convention on the Rights and Obligations of States) hari Selasa, tanggal 26 Desember 1933, khususnya Pasal 3, bahwa: “Keberadaan dan/atau eksistensi politik suatu negara adalah bebas dari pengakuan negara-negara lain (The political existence of the State is independent of recognition by the other States)”, maka dapat disimpulkan bahwa, Palestina akan tetap ‘ada dan/atau eksis’ (exist) sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka, sekalipun tidak mendapat ‘pengakuan’ (recognition) oleh satupun Negara di dunia
Sampai/dengan saat tulisan ini dibuat dan diterbitkan, konflik antara Israel dan Palestina masih terus berlangsung dan belum selesai. Sebagaimana yang telah dibahas secara panjang lebar dalam uraian penjelasan seperti tersebut di atas, bahwa pada prinsipnya konflik Israel dan Palestina bersumber dan/atau berakar pada: “sengketa wilayah”. Sengketa wilayah antara Israel dan Palestina itu sendiri, sebenarnya telah disepakati penyelesaiannya – baik oleh Israel maupun oleh Palestina – melalui Resolusi, nomor: 181 (II) yang diadopsi oleh MU-PBB pada hari Sabtu, tanggal 29 November 1947 tentang “Rencana pembagian wilayah mandat Inggris atas Palestina dalam bentuk pendirian Negara Arab dan Negara Yahudi yang berdaulat dan merdeka”. Kesepakatan selanjutnya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian Oslo Pertama yang ditandatangani di Washington D. C., Amerika Serikat, pada hari Senin, tanggal 13 September 1993, dan kemudian adalah kesepakatan sebagaimana yang tercantum dalam ‘Perjanjian Oslo Kedua’ (Perjanjian Taba) yang ditandatangani di Taba, Mesir, pada hari Kamis, tanggal 28 September 1995.
Baik Perjanjian Oslo Pertama maupun Perjanjian Oslo Kedua adalah beberapa dari banyak hasil proses perdamaian yang bertujuan untuk mencapai: “Perjanjian Damai ‘Permanen’ (abadi) Antara Israel dan Palestina”. Baik Perjanjian Oslo Pertama maupun Perjanjian Oslo Kedua dihasilkan berdasarkan Resolusi DK-PBB, nomor: 242 (S/RES/242) pada hari Rabu, tanggal 22 Nopember 1967, sebagai respons dari DK-PBB atas terjadinya peristiwa ‘Perang Arab-Israel Ketiga’ (Perang Juni / Perang 6 hari) yang berlangsung sejak hari Senin, tanggal 5 Juni 1967 hingga hari Sabtu, tanggal 10 Juni 1967; dan berdasarkan Resolusi DK-PBB, nomor: 338 (S/RES/338) pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 1973, sebagai respons dari DK-PBB atas terjadinya peristiwa ‘Perang Arab-Israel Keempat’ (Perang Yom Kipur) yang berlangsung sejak hari Sabtu, tanggal 6 Oktober 1973 hingga hari Kamis, tanggal 25 Oktober 1973.
Dalam hubungan dengan keseluruhan proses perdamaian antara Israel dan Palestina sebagaimana yang telah dibahas secara panjang lebar dalam uraian penjelasan seperti tersebut di atas, Penulis sendiri berpendapat bahwa, Perjanjian Damai Permanen (abadi) antara Israel dan Palestina “tidak mustahil dan/atau mungkin” saja dapat tercapai, tetapi tidak dalam jangka waktu yang relatif singkat. Penulis tiba pada kesimpulan ini dengan alasan bahwa, sengketa wilayah di bekas Mandat Inggris atas Palestina di Timur Tengah tidak semata-mata hanya merupakan sengketa wilayah antara: “Israel & Palestina”. Tetapi lebih jauh lagi daripada itu, adalah sengketa (wilayah) antara: “Arab (24 Negara) & Israel”.
Kebenaran (RMS-NKRI)
Dalam hubungan dengan keluarnya manusia dari Benua Afrika sejak 60.000 (enam puluh ribu) tahun lampau dan lalu menyebar ke seluruh dunia sebagaimana uraian pembahasan seperti penjelasan tersebut di atas, maka sekelompok manusia yang oleh para antropolog digolongkan kedalam Ras ‘Melanesia’ (Kepulauan Hitam (Black island)) tiba di wilayah ‘India-Timur’ (east India / oost Indie) secara bergelombang pada kurang lebih 50.000 (lima puluh ribu) hingga 30.000 (tiga puluh ribu) tahun silam. Selanjutnya, sekelompok manusia lain yang oleh para antropolog digolongkan sebagai Ras Negroit – yang dikenal sebagai Bangsa Vedda – tiba pula di wilayah India-Timur dalam gelombang migrasi kedua keluar dari Afrika pada kurang lebih 6.000 (enam ribu) tahun lalu (Vlekke, Bernard Hubertus Maria (2010) Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta: Gramedia, h. 9).
Sementara itu, Gelombang migrasi pertama Ras Mongoloid datang dari arah barat yaitu, dari daratan Benua Asia terutama dari dataran ‘Yunnan’ (Cina bagian selatan) – yang oleh Sarasin bersaudara disebut sebagai ‘Melayu Tua’ (Proto-Malay) – dan tiba di wilayah India-Timur pada tahun 3.000 (tiga ribu) SM, sedangkan gelombang migrasi kedua Ras Mongoloid datang dari arah utara yaitu, dari pulau ‘Taiwan / Formosa’ (Cina bagian timur) – yang oleh Sarasin bersaudara disebut sebagai ‘Melayu Muda’ (Deutro-Malay) – dan tiba di wilayah India Timur pada tahun 300 (tiga ratus) SM, dan terakhir pada masa awal perdagangan dan pelayaran dalam gelombang migrasi oleh Ras-ras dan/atau Bangsa-bangsa lain dari seluruh dunia ke India-Timur seperti, Bangsa: “India, China, Arab, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan lain sebagainya” (Vlekke, 2010: 10).
Catatan: keberadaan / eksistensi (existence) Ras Melanesia di India-Timur selalu dibantah bahkan ditolak oleh pemerintah NKRI (sejak pemerintahan Sukarno hingga pemerintahan Megawati Sukarnoputeri). Baru pada tahun 2013, pemerintah NKRI untuk pertama kalinya secara resmi mengakui ‘keberadaan / eksistensi’ (existence) Ras Melanesia di India-Timur, ketika Dr. Dino Patti Djalal, M. A., (Wakil MENLU NKRI (14 Juli 2014 – 20 Oktober 20214) ke-5 (lima) dalam Kabinet pemerintahan Presiden NKRI ke-enam, Susilo Bambang Yudhoyono) menyatakan kepada utusan organisasi Negara-negara Pasifik Selatan yang berkunjung ke NKRI guna memantau kehidupan warganegara NKRI keturunan Ras Melanesia yang tinggal dalam wilayah NKRI, bahwa: “Terdapat kurang lebih 11.000.000 (sebelas juta) orang Ras Melanesia yang hidup dalam NKRI”. Bahkan pada hari Selasa, tanggal 6 Oktober 2015, bertempat di Kota Ambon, Maluku, Joko Widodo (JOKOWI), dalam jabatannya selaku Presiden ketujuh NKRI telah pula menyaksikan penandatanganan “Deklarasi Persaudaraan Melanesia-Indonesia” yang dilakukan oleh perwakilan dari 5 (lima) propinsi dalam NKRI, yang merupakan bagian dari Ras Melanesia, yaitu: “Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara (Moloko Kie Raha), dan Nusa Tenggara Timur (NTT)”. Moment ini, dengan sendirinya telah mengakhiri “68 (enam puluh delapan) tahun (1945-2013)” penyangkalan dan/atau pengingkaran pemerintah NKRI terhadap “keberadaan / eksistensi (existence)” Ras Melanesia dalam NKRI. Dengan demikian, dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, sejak tahun 2013, telah terdapat 2 (dua) bangsa dalam NKRI, yaitu: “Mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai Bangsa Indonesia, dan orang-orang Ras / Bangsa Melanesia”.
Ketiga Ras sebagaimana tersebut di atas (Melanesia, Negroit, dan Mongoloid), kemudian mengelompokkan diri ke dalam 300 (tiga ratus) Bangsa di India-Timur (Bernard L. Tanya, Theodorus Yoseph Parera, dan Samuel F. Lena (2015) Pancasila Bingkai Hukum Indonesia. Yogyakarta, Genta Publishing, h. 66). Beberapa diantara ke-300 Bangsa yang hidup dalam wilayah India-Timur itu, menurut William Marsden adalah bangsa Melayu, Rejang, Batak, Aceh, Lampung, Minangkabau, Nias, dan Mentawai di Sumatera atau menurut Antropolog Augustus Henry Keane, F. J. P. Sachse, dan Odo Deodatus Tauern adalah bangsa Alifuru / Alfur / Alfuros / Alfures / Alfuren / Horaforas di Kepulauan Maluku yang berarti sebagai: “Manusia Awal” (Sejarah Daerah Maluku yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan melalui Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah periode tahun 1976/1977 (https://books.google.co.id)).
Ke-300 Bangsa dalam wilayah India-Timur sebagaimana tersebut di atas, kemudian membentuk 300 (tiga ratus) Kerajaan yang masing-masing Kerajaan adalah sama dan sederajad antara satu dengan yang lainnya sebagai Kerajaan-kerajaan merdeka dan berdaulat yang tersebar di seantero wilayah India-Timur. Dalam Sidang Kedua ‘Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan’ (BPUPK) dan/atau ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan’ (PPK) pada Rapat Besar hari Selasa, tanggal 10 Juli 1945, bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung ‘Departemen Luar Negeri’ (DEPLU) NKRI) Prof. Mr. Dr. Muhammad Yamin, sendiri telah menyatakan, bahwa: “Pada waktu ini banyaknya kerajaan daerah di tanah Indonesia adalah kira-kira 300 buah” (Sekretariat Negara Republik Indonesia (1998) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Team Penyunting: Dr. Saafroedin Bahar dan Dra. Nannie Hudawati. Penasehat ahli: Prof. Dr. Taufik Abdullah; Dr. Abdurrachman Surjomihardjo; Poedjo Moeljono, SH.; Drs. Djoko Utomo, MA.; Kolonel Drs. Saleh Djamhari; Dr. Anhar Gonggong; Dr. Sri Soekesi Adiwimarta. Jakarta: Widya Komputer Indonesia, h. 133).
Demikian pula dengan Koesno Sosrodihardjo alias Sukarno alias Bung Karno yang juga mengakui ‘keberadaan dan/atau eksistensi’ (existence) dari Kerajaan-kerajaan di wilayah India-Timur sebagaimana dapat ditemukan dalam tulisan Sukarno sendiri pada majalah Suluh Indonesia Muda di Batavia pada tahun 1932, dibawah judul, Swadeshi dan Massa-Aksi di Indonesia (Swadeshi dan Imperialisme). Bahkan Yamin dan Sukarno sendiripun sama-sama membenarkan bahwa, banyak dari ke-300 Kerajaan itu terdapat di: “Kepulauan Maluku” (Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I, Cetakan pertama, Yayasan Bung Karno & Penerbit PT. Media Pressindo, Jogjakarta, 2014, h. 155). Kerajaan-kerajaan dalam wilayah Kepulauan Maluku ini, disebut oleh para saudagar dan/atau para pedagang Arab dengan istilah: “Negeri Raja-raja (Jazirat al Mulk / Jazirah tuil Jabal Mulku)”.
Dr. Daoed Joesoef (1926-2018) (Mantan ‘Menteri Pendidikan dan Kebudayaan’ (MENDIKBUD) NKRI (Rabu, 29 Maret 1978 – Sabtu, 19 Maret 1983) dalam Kabinet Pembangunan III pada era pemerintahan Presiden kedua NKRI, Jenderal Besar ‘Tentara Nasional Indonesia’ (TNI) Angkatan Darat (AD), Suharto) menyatakan bahwa ke-300 Kerajaan tersebut “bukanlah kelompok-kelompok liar” karena mereka: “Rata-rata punya bahasa sendiri, berseni budaya relatif mapan, serta mengenal pemerintahan yang ditopang oleh seperangkat aturan hidup bersama yang dipatuhi, yang oleh Profesor Cornelis van Vollenhoven disebut sebagai ‘hukum adat’ (adat-recht)” (Joesoef, Daud (2011) Dasar Pembentukan Bangsa. Dalam Monarki Yogya” Inkonstitusional?. Jakarta: Kompas, h. 178). Terhadap perihal ini, Elsbeth Locher-Scholten menulis pada halaman 34 dalam bukunya dibawah judul, Sumatran Sultanate and Colonial Sate: Jambi and the rice of Dutch Imperialism, 1830-1907, yang di terjemahkan oleh Beverly Jackson Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University, Amerika Serikat, pada tahun 2004, bahwa: “Yang ada bukanlah satu bendera, melainkan banyak bendera” (Elson, Robert Edward (2009) The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi, h. 1).
Dari antara ke-300 Bangsa dan/atau Kerajaan dalam wilayah India-Timur sebagaimana tersebut di atas, tidak ada dan/atau tidak terdapat satupun Bangsa / Kerajaan yang bernama: “Indonesia”. Perihal ini ditulis dengan amat sangat baik sekali oleh Elson (2009: 1): “Sebelum abad kedua puluh, Indonesia belum ada, dan karena itu orang Indonesia pun belum ada. Di Kepulauan yang membentang antara Benua Asia dan Australia ini, dulu terdapat banyak ‘Negara’ (Kerajaan – Penulis) besar dan kecil … “. Nama “Indonesia” itu sendiri baru diciptakan pada tahun 1850 oleh seorang Navigator berkebangsaan Inggris, bernama: “George Samuel Windsor Earl”.
- S. W. Earl menciptakan istilah “Indonesia” dengan cara menggabungkan 2 (dua) kata dari Bahasa Latin / Yunani, yaitu kata “Indu” yang artinya adalah “India”, dan kata “Nesians” yang artinya adalah “Kepulauan”, sehingga menjadi suatu kata majemuk, yaitu: “Indunesians”. Indunesians ini sendiri, secara harafiah berarti sebagai: “Kepulauan India”. G. S. W. Earl sendiri tidak pernah bermaksud menciptakan kata “Indunesians” untuk menunjukkan tentang adanya suatu Bangsa / Kerajaan di India-Timur yang bernama “Indonesia”, tetapi kata “Indunesians” itu semata-mata diciptakan oleh G. S. W. Earl hanya dengan tujuan untuk memberi ‘nama’ (nomenklateur) kepada: “Rangkaian pulau-pulau yang terhampar di atas permukaan samudera India bagian timur” (Latif, Yudi (2011) Negara Paripurna. Jakarta: Kompas Gramedia, h. 312).
Dalam hubungan dengan perihal sebagaimana tersebut di atas, Prof. Salim Haji Said, Ph.D., salah seorang pendiri majalah Tempo, Guru Besar pada ‘Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pertahanan’ (FISIPOL-UNHAN), dan mantan Duta Besar NKRI untuk Republik Ceko, dalam suatu wawancara dengan Akbar Faisal pada hari Senin, tanggal 24 Januari 2022 di channel youtube ‘Akbar Faisal Uncensored’ (AFU) menyatakan, bahwa: “Indonesia adalah bangsa buatan … Indonesia belum selesai terbentuk” (https://youtu.be/eVa_zo-o0SQ). Yudi Latif, seorang Deputi Rektor Universitas Paramadhina, dan Direktur Eksekutif ‘Lembaga Reformasi’ (Reform Institute), turut membenarkan pernyataan Salim Haji Said tersebut, bahwa: “Indonesia masih tetap suatu proyek yang belum tuntas”. Terhadap perihal ini, Dr. Daoed Joesoef dalam halaman 171 dari bukunya dibawah judul, Studi Strategi Logika Ketahanan Dan Pembangunan Nasional, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2014 oleh penerbit Kompas menyatakan, bahwa: “Bangsa Indonesia bukan satu ‘fakta’ (Kenyataan – Penulis)”. Bahkan pada halaman sebelumnya dari buku tersebut, Daoed Joesoef (2014: 165) dengan secara tegas menyatakan, bahwa: “Indonesia, baik dalam artian ‘Bangsa’ (Nation) maupun ‘Negara’ (State), apalagi ‘Negara-Bangsa’ (Nation-State), bukanlah suatu fakta”.
Jika Indonesia bukanlah suatu “kenyataan dan/atau fakta (Fact)” sebagaimana yang di-ungkapkan oleh Daoed Joesoef seperti tersebut di atas, maka Indonesia dapat dipastikan hanyalah suatu “mimpi” (hallucination) belaka sebagaimana apa yang dinyatakan oleh Dr. Tristam Pascal Moelliono, seorang dosen Ilmu Politik Internasional pada ‘Universitas Parahyangan’ (UNPAR) di Bandung, Jawa Barat; atau Indonesia dapat dipastikan hanyalah suatu “khayalan / imajinasi (Imagination)” belaka seperti apa yang dinyatakan oleh Benedict Richard O’Gorman Anderson alias Ben Anderson (1936-2015) (Proffesor emeritus bidang studi Antropologi dan Sosiologi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, dalam buku berjudul: “Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism”).
Catatan: Dalam hubungan dengan isi dari teks proklamasi kemerdekaan ‘Negara Republik Indonesia’ (NRI) sebagaimana yang dinyatakan pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, oleh Sukarno/Hatta, bahwa: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggaran dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. … Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05 … atas/nama … bangsa Indonesia … Soekarno/Hatta“, pertanyaan penting, kritis, esensial, dan substantivenya, adalah: “Jika tidak ada bangsa yang bernama Indonesia secara antropologis / sosiologis / objektif maupun secara psikologis / politis / subjektif, dan Indonesia masih hanya sebatas mimpi yang belum terwujud bahkan suatu proyek yang belum tuntas, suatu entitas yang belum selesai dan/atau belum final, suatu entitas Yang Masih ‘Menjadi’ (becoming), maka bangsa Indonesia manakan yang dimaksud oleh Sukarno dalam isi dari teks proklamasi kemerdekaan NRI yang dibuat oleh Sukarno itu?, dan Bangsa Indonesia manakah yang di-atas/nama-kan oleh Sukarno / Hatta pada saat proklamasi kemerdekaan NRI itu dinyatakan pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945?.
Jika ditelah dari sudut pandang hukum Internasional mengenai prinsip ‘Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri’ (the Right of Self-determination), maka yang memiliki “hak untuk menentukan nasib sendiri” dalam wilayah India-Timur adalah ke-300 Bangsa / Kerajaan sebagaimana tersebut di atas. Perihal ini dapat dikatakan demikian, sebab ke-300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur adalah Bangsa / Kerajaan dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian psikologis / politis / subjektif. Sedangkan Indonesia tidak memiliki ‘Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri’ (the Right of Self-determination), karena Indonesia bukanlah suatu bangsa – baik dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian psikologis / politis / subjektif.
Sekali lagi, pertanyaan penting, kritis, esensial, dan substantive atas perihal sebagaimana tersebut di atas, adalah: “Bagaimana mungkin ‘yang tidak ada’ (Indonesia) dapat memiliki suatu ‘hak’ (hak untuk menentukan nasib sendiri (the Right of Self-determination))?”. Posisi status ke-bangsa-an dari ke-300 bangsa dalam wilayah India-Timur adalah persis sama dengan posisi status ke-bangsa-an dari Bangsa Arab dan Bangsa Israel di wilayah Timur Tengah sebagaimana uraian pembahasan seperti penjelasan tersebut di atas, yaitu Bangsa-bangsa dalam pengertian antropologis / sosiologis / objektif maupun dalam pengertian psikologis / politis / subjektif. Sama seperti Bangsa Arab dan Bangsa Israel pula, ke-300 Bangsa dalam wilayah India-Timur ini juga adalah “entitas-entitas” yang memiliki tingkat kebudayaan dan/atau memiliki tingkat peradaban yang relatif tinggi pada masa lalu sebagaimana dapat ditemukan dalam catatan sejarah umat manusia di dunia.
Catatan: Bangsa Alifuru di Kepulauan Maluku yang mendirikan cukup banyak kerajaan dalam Kepulauan Maluku – oleh sebab inilah, maka Bangsa Arab menyebut Kepulauan Maluku sebagai, Negeri Raja-raja dan/atau wilayah dengan banyak Kerajaan (Jazirat al Mulk / Jazirah tuil Jabal Mulku) – telah melakukan hubungan dagang dengan Bangsa-bangsa lain, seperti: “India, Cina, dan Arab”. Bangsa India, Cina, dan Arab, adalah Bangsa-bangsa yang berperan besar sebagai para “pedagang perantara”, yang membeli ‘rempah-rempah’ (exotic spices) dari Kepulauan Maluku dan menjualnya ke Benua: “Asia, Afrika, dan Eropa”. Perihal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya beberapa buah ‘cengkih’ (cloves) dalam peti jenazah Fir’aun / Far’ao di Kerajaan Mesir pada tahun 2.600 SM. Pada tahun 913 SM, Raja Solomon / Salomo / Sulaiman dari Kerajaan Israel telah juga menerima rempah-rempah dalam jumlah yang “amat sangat banyak” dari Ratu Kerajaan Shyeba. Selama ribuan tahun, rempah-rempah yang adalah hasil kekayaan alam di Kepulauan Maluku telah diperdagangkan keluar dari Kepulauan Maluku oleh Kerajaan-kerajaan dalam Kepulauan Maluku. Peradaban umat manusia turut bertumbuh dan berkembang disepanjang: “jalur rempah”. Jalur rempah telah menjadi pembuka jalan bagi Enrique Maluku (Bangsa Alifuru) untuk menjadi orang pertama yang megelilingi dunia melalui laut pada hari Selasa, tanggal 8 Nopember 1521. Bahkan Jalur rempah jugalah yang telah mempertemukan “Dunia (peradaban) Barat” dan “Dunia (peradaban) Timur” menjadi satu kesatuan ketika Fransisco Serrao (Portugis) tiba di wilayah Maluku untuk pertamakalinya, dan Antonio de Abreu (Portugis) untuk pertamakali menginjakkan kakinya di tanah Maluku pada tahun 1512.
Sekalipun tidak memiliki “hak untuk menentukan nasib sendiri (the Right of Self-determination)” sebagaimana uraian pembahasan seperti penjelasan tersebut di atas, tetapi Sukarno tetap saja membentuk NRI pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945. Perbuatan Sukarno ini, secara nyata, terang dan jelas telah mengabaikan “Hak untuk menentukan nasib sendiri” dari rakyat 300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur. Disamping itu, Sukarno kemudian juga “mengerdilkan dan/atau mereduksi” arti dari status ke-bangsa-an 300 Bangsa / Kerajaan yang ada dalam wilayah India-Timur, dari ber-status sebagai ‘Bangsa’ (Nation) menjadi ber-status sebagai: “Suku (Tribe)”. Selain itu pula, pembentukan NRI oleh Sukarno pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, dilakukan secara ‘sepihak dan/atau unilateral’ (unilateral), yaitu tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dari ‘negara induk’ (moederland / motherland) yang dalam perihal ini, adalah: “Negara Kerajaan Belanda”.
Terhadap tindakan “sepihak” yang diperbuat oleh Sukarno, Dr. D. Sidik Suraputra, S.H., menyatakan, bahwa: “Kenyataan berdirinya Negara Republik Indonesia dimulai dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam hukum internasional, proklamasi kemerdekaan ini dapat diartikan sebagai klaim sepihak dari bangsa Indonesia kepada dunia Internasional pada waktu itu, akan adanya suatu negara baru, Negara Republik Indonesia” (Suraputra, D. Sidik (2006) Hukum Internasional dan berbagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan Karangan). Jakarta: Diadit Media, h. 208). Sejalan dengan Suraputra, Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., menyatakan, bahwa: “Pernyataan Kemerdekaan adalah Pernyataan Sepihak dari suatu bangsa bahwa dirinya melepaskan diri dari kekuasaan negara lain dan mengambil penentuan nasibnya sendiri. Dengan proklamasi itu, bangsa itu membentuk organisasi kekuasaan yang berdaulat” (Istanto, F. Sugeng (2010) Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, h. 32). Pernyataan ini, adalah seperti yang dikemukakan juga oleh, Prof. Dr. Jeane Neeltje, S.H., M.H., dan Dr. Dwi Andayani BS, S.H., M.H., sebagaimana tersebut dalam halaman 162 dari buku berjudul, Pengantar Ilmu Negara, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2023, oleh Rajawali Pers.
Akan tetapi, berbeda dengan Suraputera dan Istanto, Haji Noer Hassan Wirajuda, S.H., M.A., LD., LL.M., Sj.D., GCrS., (Mantan MENLU NKRI ke-15 (Jumat, 10 Agustus 2001 – Selasa, 20 Oktober 2009) dalam Kabinet pemerintahan Presiden kelima NKRI, Megawati Sukarnoputeri) dalam suatu seminar dibawah tema, Reaksentuasi Kekuatan Diplomasi Sebuah Refleksi Sejarah Perundingan Linggarjati, yang dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 11 Nopember 2006, di Jakarta, menyatakan, bahwa: “Kemerdekaan dimungkinkan dalam pengertian hak untuk menentukan nasib sendiri apabila deman metropolitan powers, negara penjajah dapat menyetujui, by agreement, sesuatu yang merupakan akibat dari kesepakatan, bukan merupakan hak tetapi produk dari perundingan, kalau pihak yang lain tidak setuju, maka kemerdekaan itu tidak akan ada. … Saya sering mempertanyakan setiap tanggal 17 Agustus dibacakan naskah proklamasi. Kita memakai kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan dengan ini kemerdekaannya, pertanyaan saya tadi, apakah bisa? Seperti yang saudara telah ketahui, tidak bisa sebenarnya, menurut tatanan dunia internasional pada saat itu” (Hutagalung, Batara Richard (2018) Indonesia Tidak Pernah Dijajah. Yogyakarta: Matapadi Pressindo, h. 243-245).
Jika ditelaah dari sudut pandang Hukum Internasional, maka keharusan untuk memperoleh “persetujuan terlebih dahulu” dari ‘negara induk’ (moederland / motherland) sebagaimana tersebut di atas, adalah merupakan mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan dari prinsip “Kedaulatan Negara” seperti ternyata dalam keputusan Majelis LBB pada hari Sabtu, tanggal 16 April 1921, dalam ‘perkara Kepulauan Aaland’ (the Case concerning Aaland Island) antara Swedia melawan Finlandia pada tahun 1917, bahwa: “Hukum Internasional positif tidak mengenal hak dari sekelompok orang untuk ‘memisahkan diri’ (secession). Dan hak untuk mengadakan plebisit yang berkenaan dengan itu (pemisahan diri (secession)) merupakan hak suatu negara berdaulat” (Thontowi,Pranoto Iskandar & Jawahir (2006) Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, h. 146).
Dengan demikian dapat disebutkan dalam kata lain, jika Indonesia tidak memiliki “hak untuk menentukan nasib sendiri” sebagaimana tersebut di atas, maka Sukarno bukanlah pihak / subjek / entitas yang mempunyai ‘posisi hukum dan/atau kedudukan hukum’ (legal standing) untuk dapat meminta persetujuan terlebih dahulu dari Kerajaan Belanda sebagai ‘Negara Induk’ (moederland / motherland) dalam hubungan dengan perihal ‘memisahkan diri’ (secession), apalagi untuk ‘memisahkan diri’ (secession) secara sepihak (unilateral) dari Kerajaan Belanda sebagai ‘Negara Induk’ (moederland / motherland). Dengan demikian dapat disebutkan dalam kata lain pula bahwa, pihak / subjek / entitas yang mempunyai “legal standing” untuk dapat meminta persetujuan terlebih dahulu dari Kerajaan Belanda sebagai “moederland” dalam hubungan dengan perihal “secession”, adalah pihak / subjek / entitas yang memiliki “hak untuk menentukan nasib sendiri” dalam wilayah India-Timur, yaitu: “300 Bangsa / Kerajaan”. Prinsip hak untuk menentukan nasib sendiri adalah ‘alas hak’ (title) yang sah dari suatu ‘pihak / subjek / entitas’ (300 Bangsa / Kerajaan) agar bisa memiliki “legal standing” untuk dapat meminta persetujuan terlebih dahulu dari ‘moederland’ (Negara Kerajaan Belanda) dalam hubungan dengan perihal: “secession”.
Jika ditelaah dari sudut pandang prinsip Uti Possidetis, Ita Possideatis (Seperti yang anda miliki, anda akan memiliki selanjutnya), maka idealnya adalah ‘seharusnya’ (das Sollen) Kerajaan Belanda – yang oleh hukum internasional “dianggap” sebagai Negara Induk – mengembalikan “kemerdekaan dan kedaulatan” kepada ke-300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur, dan bukannya Kerajaan Belanda memberikan “kemerdekaan dan kedaulatan” itu kepada Indonesia. Sebab “kemerdekaan dan kedaulatan” tersebut diambil oleh Kerajaan Belanda dari ke-300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur, dan “kemerdekaan dan kedaulatan” itu tidak pernah diambil oleh Kerajaan Belanda dari Indonesia. Dalam hubungan dengan Indonesia itu sendiri, Pertanyaan penting, prinsipil, esensial, dan substantivenya, adalah: “Bagaimana mungkin Belanda dapat mengambil Kemerdekaan dan Kedaulatan dari ‘yang tidak ada’ (Indonesia)?”. Sebab ‘yang tidak ada’ (Indonesia) adalah mustahil untuk dapat memiliki Kemerdekaan dan Kedaulatan!.
Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa, Kemerdekaan dan kedaulatan itu adalah “milik pusaka” dari ke-300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur yang dirampas oleh Negara Kerajaan Belanda dari tahun 1800 sampai/dengan tahun 1942. Oleh karena itu, Negara Kerajaan Belanda dengan sendirinya telah memikul kewajiban berdasarkan hukum (internasional) untuk harus menyerahkan kembali “milik pusaka” dari ke-300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur yang telah dirampoknya itu, yakni “kemerdekaan dan kedaulatan” tersebut kepada ke-300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur. Pertanyaan penting, prinsipil, esensial, dan substantivenya, adalah: “Apakah merupakan suatu perbuatan yang benar, bermoral, beretika, dan sesuai hukum (internasional), jika Belanda merampok kemerdekaan dan kedaulatan dari 300 Bangsa / Kerajaan dalam wilayah India-Timur dan memberikannya kepada ‘yang tidak ada’ (Indonesia)?”.
Catatan: Pada tahun 1800, Pemerintah Negara Kerajaan Belanda mengambil alih “aset-aset” suatu Perusahaan Belanda di India-Timur yang didirikan pada hari Rabu, tanggal 20 Maret 1602, dan dibubarkan pada hari Selasa, tanggal 31 Desember 1799, bernama: “Persatuan Perusahaan Hindia Timur’ (Vereenigde Oostindische Compacnie (VOC))”. Salah satu aset dimaksud, adalah: “Tanah”. Pemerintah Belanda “mengklaim” bahwa tanah yang dimaksud sebagai aset VOC itu terbentang: “Dari Sabang di Barat, sampai Merauke di Timur, dan dari Miangas di Utara sampai Rote di Selatan”. Pemerintah Belanda kemudian menarik garis-garis batas atas klaim tersebut yang disebut, sebagai: “Garis-garis Artifisial”. Garis-garis Artifisial inilah yang telah menjadikan wilayah India-Timur, sebagai: “Wilayah Artifisial”. Wilayah Artifisial ini sebenarnya adalah wilayah India-Timur yang dibuat oleh Pemerintah Belanda di atas: “peta (kaart/map)”. Sebab pada kenyataannya, dalam wilayah India-Timur masih terdapat Bangsa-bangsa / Kerajaan-kerajaan yang merdeka dan berdaulat (Resink, Gertrudes Johannes (2012) Bukan 350 Tahun Dijajah. Jakarta: Komunitas Bambu, h. 317). Martha L. Cottam, menulis dalam halaman 327 dari buku berjudul, Pengantar Psikologi Politik, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2012 oleh Rajawali Pers, bahwa: “Ada Negara-negara artifisial, dalam arti bahwa negara-negara ini secara harafiah digambarkan pada suatu peta oleh suatu ‘kekuasaan eksternal’ (penjajah / kolonial – Penulis) pada banyak kasus, kelompok etnik yang dominan di negara-negara jajahan ini mengambil peran sebagai elite lokal, dengan melayani kepentingan kekuasaan kolonial tersebut”. Di India-Timur, kelompok etnik yang dominan itu adalah, kelompok etnik: “Jawa”.
Ketika Sukarno membentuk NRI pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno mengklaim “Wilayah Artifisial” ciptaan Pemerintah Belanda sebagaimana tersebut di atas, sebagai: “Wilayah Negara Republik Indonesia”. Akan tetapi, ketika Sukarno mengklaim “wilayah artifisial” tersebut sebagai wilayah NRI, maka seketika itu pula Bangsa-bangsa / Kerajaan-kerajaan yang masih merdeka dan berdaulat dalam wilayah India-Timur dengan secara serta merta menjadi kehilangan kemerdekaan dan kedaulatannya itu. Dengan demikian, ada benarnya juga, jika Dr. Peter Brian Ramsay Carey menyebut NEGARA REPUBLIK INDONESIA, sebagai:“NEGARA NEOKOLONIALISME” (Adam, Asvi Warman (2005) Sukarno Dalam Perjalanan Sejarah Bangsa. Dalam Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Yayasan Bung Karno, Jilid Pertama, Cet. I, h. xviii).
Dalam hubungan dengan pendapat P. B. R. Carey sebagaimana tersebut di atas, Howard Dick, mengemukakan, bahwa: “Formasi Bangsa Indonesia melibatkan bukan reinkorporasi Jawa ke dalam Kepulauan ‘Nusantara’ (India-Timur – Penulis) melainkan justeru ‘aneksasi’ (pencaplokan (annexation) / penaklukkan (conquest / subjugation) – Penulis) pulau-pulau lain ke dalam Jawa” (Budiman, Hikmat (2019) Ke Timur Haluan Menuju. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h. 43). Dalam hubungan dengan perihal ini, Teuku Mohammad Hassan di Tiro M.S., M.A., LL.D., Ph.d. (1925-2010) (Kepala Negara ‘Nangroe Acheh Darussalam’ (NAD)) menyatakan, bahwa: “Indonesia adalah sekedar kelanjutan Hindia-Belanda seutuhnya secara politik, ekonomi, dan yuridis” (Missbach, Antje (2012) Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh. Yogyakarta: Ombak, Sinopsis). Dalam hubungan ini pula, DR. Willem Karel Tehupeiory (1883-1946) (Pendiri ‘Moluks Politiek Verbond’ (MPV)) memberikan peringatan, bahwa: “Bagi saya, kekuasaan Belanda adalah lebih baik dari kekuasaan feodal Jawa” (de Fretes, Johannes Dirk (2007) Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex dan Kubuku, h. 44).
Selain apa yang telah dijelaskan secara panjang lebar sebagaimana tersebut dalam uraian pembahasan di atas, pembentukan NRI oleh Sukarno pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, juga telah melanggar perjanjian internasional yaitu, Perjanjian Potsdam, hari Rabu, tanggal 1 Agustus 1945, yang diterima dan diberlakukan oleh Jepang pada hari Jumat, tanggal 10 Agustus 1945, dimana dalam salah satu klausula dari Perjanjian Postdam tersebut disebutkan, bahwa: “Wilayah yang diduduki musuh (occupied area) harus dikembalikan kepada penguasa semula”. Dalam konteks ini, Jepang telah menerima kewajiban berdasarkan hukum internasional (Perjanjian Postdam) untuk mengembalikan wilayah India-Timur kepada “penguasa semula” sebelum Jepang ‘menduduki wilayah’ (occupied area) India-Timur pada tahun 1942, yaitu: “Negara Kerajaan Belanda” (Hutagalung, 2018: 59).
Disamping itu, pembentukan NRI oleh Sukarno pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, juga telah melanggar ketentuan Hukum Internasional tentang Status Quo yaitu, suatu prinsip dalam Hukum Internasional yang berarti, sebagai: “Keadaan sebagaimana adanya sebelum terjadi perang; suatu keadaan yang tidak boleh ada perubahan oleh siapapun juga, dan dalam bentuk apapun juga, dan dengan cara bagaimanapun juga”. Prinsip ini diberlakukan oleh Sekutu terhadap Jepang pada hari Kamis, tanggal 16 Agustus 1945, jam 12:00 siang ‘Waktu Indonesia Bagian Barat’ (WIBB), sehari setelah Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu atas perintah ‘sepihak’ (unilateral) dari Kaisar Jepang, Hirohito, pada hari Rabu, tanggal 15 Agustus 1945. Dengan demikian, dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, pembentukan NRI oleh Sukarno pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, jam 10:00 pagi WIBB, telah melanggar ketentuan Hukum Internasional tentang prinsip: “Status Quo”. Dengan diberlakukannya Perjanjian Postdam maupun Prinsip Status Quo sebagaimana tersebut di atas, maka tidak pernah terjadi dalam wilayah India-Timur apa yang dinamakan, sebagai: “Kekosongan Kekuasaan (Vaccum of Power)” (Sjahdeini, Sutan Remy (2021) Sejarah Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, h. 80).
Baik Perjanjian Postdam dan Prinsip Status Quo sebagaimana tersebut di atas, adalah dasar hukum (internasional) yang amat sangat kuat bagi Pemerintah Belanda untuk kembali lagi ke wilayah India-Timur, sebagai: “Penguasa”. Meski demikian, tidak sama dengan sebelumnya, kembalinya kekuasaan Belanda atas wilayah India-Timur itu adalah tidak lagi sebagai “Penjajah”, tetapi sebagai “apa” yang ditetapkan dalam Piagam PBB khususnya Pasal 73 dan Pasal 74 dari Bab XI tentang ‘Deklarasi mengenai Wilayah-wilayah yang tidak Berpemerintahan Sendiri’ (Declaration Regarding Non-Self-Governing Territories), yaitu: “Penerima Amanat Suci”. Akan tetapi, sekalipun Belanda kembali ke India-Timur sebagai “pengemban amanat suci”berdasarkan Piagam PBB, tetapi Sukarno tetap memandang kembalinya Belanda itu dengan kacamata “prasangka (prejudice)” sebagai kembalinya ke India-Timur: “Penjajahan dan/atau kolonialisme (Colonialism)”. Namun demikian, sebelum Belanda kembali ke India-Timur, Jepang telah membentuk ‘Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan’ (BPUPK) (Dokuritzu Zyunbi Coosakai) yang dibentuk di Jakarta, pada hari Minggu, tanggal 29 April 1945, tepat di hari ulang tahun Kaisar Jepang: “Hirohito”.
Catatan: Gagasan membentuk PBB untuk pertamakalinya mulai dibicarakan dalam suatu Konferensi Dewan Antar-Sekutu Pertama di Istana Saint James di London, Inggris, pada hari Kamis, tanggal 12 Juni 1941, oleh dan di-antara 13 (tiga belas) negara yang diakhiri dengan penandatanganan: “Deklarasi London”. Salah satu dari ke-13 Negara itu, adalah: “Belanda”. Pada hari Kamis, tanggal 14 Agustus 1941, Visi/misi awal yang menjadi prinsip dasar dari pembentukan PBB, diletakkan untuk pertamakalinya dalam: “Piagam Atlantik”. Penyesuaian teritorial harus sesuai dengan keinginan masyarakat yang bersangkutan, dan semua orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, adalah 2 (dua) dari 8 (delapan) klausula utama Piagam Atlantik. Salah satu dari 10 (sepuluh) negara pertama dalam Konferensi Dewan Antar-Sekutu Kedua di London, Inggris, pada hari Rabu, tanggal 24 September 1941, yang dengan suara bulat telah mengadopsi kepatuhan terhadap prinsip-prinsip umum Piagam Atlantik, adalah: “Belanda”. Pada hari Kamis, tanggal 1 Januari 1942, 26 (dua puluh enam) negara – termasuk Belanda – menyatakan kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip umum Piagam Atlantik. Pada hari Rabu, tanggal 25 April 1945, 50 (lima puluh) Negara – termasuk Belanda – bertemu di San Fransisco, California, Amerika Serikat, dalam: “Konferensi San Fransisco”. Konferensi ini, kemudian menghasilkan Piagam PBB pada hari Senin, tanggal 25 Juni 1945. Pada saat didirikannya PBB dan/atau pada saat berlakunya Piagam PBB di hari Rabu, tanggal 24 Oktober 1945, salah satu dari 51 (lima puluh satu) Negara anggota PBB itu, adalah: “Belanda”. Jadi, sikap Sukarno yang ‘mencurigai’ (prejudise) kembalinya Belanda sebagai kembalinya penjajahan, adalah: “tidak berdasar”.
BPUPK sebagaimana tersebut di atas, bukanlah suatu “lembaga” yang secara representatif mewakili suara rakyat dalam wilayah India-Timur, sebab BPUPK dibentuk oleh Pemerintah Negara Kekaisaran Jepang dan bertanggungjawab secara penuh hanya kepada Pemerintah Negara Kekaisaran Jepang melalui Penguasa Militer Negara Kekaisaran Jepang di India-Timur. Oleh karena BPUPK secara penuh hanya bertanggungjawab kepada Pemerintah Negara Kekaisaran Jepang melalui Penguasa Militer Negara Kekaisaran Jepang di India-Timur, maka BPUPK tidak bertanggung jawab kepada rakyat dalam wilayah India-Timur. Dengan demikian, adalah merupakan suatu perihal yang amat sangat wajar, bilamana pada saat itu orang banyak menyebut NEGARA REPUBLIK INDONESIA, sebagai: “NEGARA BONEKA JEPANG” (Prasetyo, Teguh dan Arie Purnomosidi (2014) Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila. Jakarta: Nusamedia, h. 8-9; Kasenda, Peter (2015) Soekarno Di Bawah Bendera Jepang (1942-1945). Jakarta: Kompas, h. 47).
Bahkan ke-69 (enam puluh sembilan) orang anggota BPUPK tidak dipilih oleh rakyat dalam wilayah India-Timur, tetapi justeru dipilih secara langsung oleh Sukarno sendiri dan kemudian harus mendapat persetujuan dari Penguasa Militer Negara Kekaisaran Jepang. Perihal ini adalah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Sukarno dalam halaman 239 dari buku yang ditulis oleh Cindy Adams dibawah judul, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh Yayasan Bung Karno, bahwa: “Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan – aku yang memilihnya dan kemudian disetujui oleh Jepang – menghadiri sidang dengan masing-masing sebelumnya membuat rencana, aturan dan usul-usul berisi tetek-bengek yang menyiksa”. Tokoh-tokoh terkemuka pilihan Sukarno yang telah mendapat persetujuan Penguasa Militer Negara Kekaisaran Jepang itu kemudian diangkat oleh Panglima Tentara ke XVI di Jawa, dan Panglima Tentara ke XXV di Sumatera, sebagai anggota-anggota BPUPK. Dengan demikian, bukan merupakan suatu perihal yang mengherankan juga jikalau pada saat itu banyak orang menyebut REPUBLIK INDONESIA, sebagai: “REPUBLIK SUKARNO” (de Fretes, Johannes Dirk (2007) Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex dan Kubuku, h. 84).
Catatan: BPUPK hanya dibentuk oleh Penguasa Militer Negara Kekaisaran Jepang di: “Pulau Sumatera & Pulau Jawa”. BPUPK tidak pernah dibentuk oleh Penguasa Militer Negara Kekaisaran Jepang di: “Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Barat (NTB) & Nusa Tenggara Timur (NTT)), Kepulauan Maluku, dan Papua” (Sekretariat Negara Republik Indonesia (1998) Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Jakarta: Widya Komputer Indonesia, h. Xxvii). Dengan demikian, secara yuridis-formal dan/atau secara legal-formal, tidak ada anggota BPUPK yang secara representatif mewakili rakyat Maluku, karena BPUPK tidak pernah dibentuk di Maluku. Sekalipun Mr. Johannes Latuharhary adalah orang yang berasal dari Maluku, namun keanggotaan Mr. J. Latuharhary dalam BPUPK adalah tidak mewakili rakyat Maluku secara representatif sama sekali, karena J. Latuharhary dipilih oleh Sukarno sendiri dan tidak dipilih oleh rakyat Maluku. Perihal ini adalah sebagaimana ternyata dalam halaman xxvii dari buku berjudul, Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1998 oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia, bahwa: “Oleh karena BPUPK hanya dibentuk di pulau Jawa dan Sumatera, yaitu wilayah Angkatan Darat Jepang, sedangkan daerah-daerah Hindia-Belanda Bagian Timur berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang, maka secara formal tidak ada anggota BPUPK yang mewakili daerah-daerah tersebut. Walaupun Mr. A. A. Maramis dan Mr. J. Latuharhary berasal dari daerah Hindia-Belanda Bagian Timur, namun keanggotaan mereka dalam BPUPK adalah sebagai orang Indonesia Terkemuka di Jawa, dan bukan mewakili daerah asalnya”.
Kembalinya kekuasaan Belanda atas India-Timur mendapat perlawanan keras dan hebat dari Sukarno melalui kekuatan “senjata” yang disebutkan sendiri oleh Sukarno dalam pidato-pidatonya, sebagai: “Revolusi”. Masalahnya adalah bahwa, revolusi bukanlah “cara” untuk memperoleh ‘wilayah / teritori’ (territory) menurut ketentuan hukum internasional. Dalam konteks ini, salah satu cara untuk memperoleh ‘wilayah / teritori’ (territory) menurut ketentuan hukum internasional, adalah melalui jalan: “plebisit (plebiscite)”. Plebisit itu sendiri adalah, salah satu mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan dari prinsip: “Hak untuk menentukan nasib sendiri (the Right of Self-determination)”. Pemerintah Belanda kemudian mensyaratkan “plebisit” sebagai mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan prinsip “Hak untuk menentukan nasib sendiri” dari rakyat dalam wilayah India-Timur. Plebisit sebagai mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan prinsip Hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat di wilayah India-Timur kemudian menjadi suatu “kesepakatan” yang amat sangat penting / prinsipil / esensial / substantive dalam berbagai perjanjian yang dihasilkan oleh dan di-antara: “Sukarno & Pemerintah Belanda”.
Catatan: Perjanjian Postdam dan Prinsip Status Quo sebagai dasar hukum (internasional) kembalinya Kekuasaan Belanda atas ‘India-Timur’ (Indonesia), telah menjadikan perkara antara Sukarno dan Pemerintah Belanda bukan sebagai persoalan eksternal antara 2 (dua) negara, tetapi sebagai masalah internal dalam negeri Belanda. Perihal ini dapat dikatakan demikian, karena dalam putusan Pengadilan Belanda pada hari Rabu, tanggal 14 September 2011, tentang peristiwa Rawagede, butir 2 (dua) mengenai fakta, dinyatakan bahwa, hingga tahun 1949, ‘India-Timur’ (Indonesia) adalah wilayah Belanda. Vonis ini, merupakan yurisprudensi untuk kasus-kasus serupa yang terjadi di ‘India-Timur’ (Indonesia) antara tahun 1945 hingga tahun 1950. Konsekwensi dari keputusan ini adalah sebagaimana yang diungkapkan sendiri oleh Hutagalung (2018: 181): “Apabila Indonesia tetap membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka Bangsa Indonesia membiarkan pandangan, bahwa para pejuang kemerdekaan Indonesia yang berada di berbagai Taman makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstrimis yang dipersenjatai oleh Jepang”. Konsekwensi lainnya adalah, sudah semestinya dilakukan revisi terhadap materi sejarah yang ditulis oleh para sejarawan Indonesia, yang dinarasikan sebagai: “Agresi Militer Belanda Pertama (21 Juli 1947 – 5 Agustus 1947) dan Agresi Militer Belanda Kedua (19 Desember 1948 – 05 Januari 1949)”, harus diganti dengan narasi baru, yaitu: “Aksi Polisionel Belanda Pertama (21 Juli 1947 – 5 Agustus 1947) dan Aksi Polisionel Belanda Kedua (19 Desember 1948 – 05 Januari 1949) dalam rangka membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstremis yang dipersenjatai Jepang”.
Beberapa dari berbagai perjanjian yang dihasilkan oleh dan di-antara Sukarno dengan Pemerintah Belanda itu, adalah: “Perjanjian Linggardjati (Selasa, 25 Maret 1947), dan Perjanjian Renvile (Sabtu, 17 Januari 1948)”. Semua perjanjian tersebut memberi amanat – baik kepada Sukarno maupun kepada Pemerintah Belanda – untuk melaksanakan “plebisit” sebagai mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan prinsip “Hak untuk menentukan nasib sendiri” dari rakyat dalam wilayah India-Timur. akan tetapi, plebisit sebagaimana yang di-amanat-kan oleh perjanjian-perjanjian dimaksud tidak pernah dilaksanakan, baik oleh Sukarno maupun oleh Pemerintah Belanda, sebab alih-alih mereka melaksanakan plebisit, mereka justeru lebih “senang (enjoy) / bahagia (happy)” untuk bertengkar sendiri mengenai siapa yang paling berkewajiban melaksanakan plebisit tersebut, dan saling lempar kesalahan soal siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab atas munculnya masalah dalam pelaksanaan plebisit itu, serta saling menunjuk batang hidung atas tidak dilaksanakannya plebisit untuk rakyat dalam wilayah India-Timur.
Dalam hubungan dengan Perihal tersebut di atas, Keputusan Hakim Mahkamah Agung di Nederland Niew Guinea pada hari Jumat, tanggal 7 Maret 1952, menyatakan, bahwa: “Pihak-pihak (Indonesia, Belanda, dan Komisi pengawas PBB untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia (UNCI)) yang telah menandatangani perjanjian-perjanjian tersebut (Linggardjati, Renville, dan perjanjian-perjanjian sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar) tidak hanya berhubungan dengan penandatanganan perjanjian-perjanjian itu saja, tetapi terlebih-lebih turut memikul tanggungjawab atas terlaksananya kewajiban-kewajiban sebagaimana yang tertera dalam perjanjian-perjanjian dimaksud. Para pihak yang menandatangani perjanjian-perjanjian itu, harus secara sah berupaya untuk menegakkan apa yang telah mereka perjanjiakan bersama” (Parker J. D., Karen (1996) Republik Maluku: The Case for Self-determination. Geneva: HLP/IED, h. 16). Sebagai bahan pembanding untuk melengkapi ‘teka-teki’ (puzzle) ini, adalah kesaksian dari Johannes Dirk de fretes (2007: 135) yaitu, bahwa: “Politisi kita di Republik (Indonesia – Penulis) waktu itu memandang kata-kata Federalis, Otonomi, Zelfbeschikingsrecht (hak untuk menentukan nasib sendiri – Penulis) dan KNIL seperti kerbau memandang kain berang”.
Sekalipun plebisit sebagai mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan prinsip Hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah India-Timur belum dilaksanakan, tetapi baik Sukarno maupun Pemerintah Belanda melalui berbagai perjanjian sebagai hasil dari “Konferensi Meja Bundar (KMB) (roundetafelconferentie (RTC) / round table conference (RTC))” yang ditandatangani di Den Haag (the Haque), Belanda, pada hari Selasa, tanggal 27 Desember 1949, telah bersepakat untuk membentuk Negara ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS) yang didalamnya terdapat 16 (enam belas) negara bagian termasuk negara bagian ‘Republik Indonesia’ (RI) (RI dibentuk pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945); dan melanjutkan rencana untuk melaksanakan “plebisit” sebagai mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan prinsip Hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah India-Timur berdasarkan perjanjian-perjanjian sebagai hasil dari KMB/RTC khususnya perjanjian ketiga tentang ‘Langkah-langkah Peralihan dan/atau Langkah-langkah Transisi’ (Transitional Measures).
Walau demikian, sekalipun Konstitusi Negara RIS yaitu, ‘Undang-undang Dasar’ (Grondwet) Negara RIS, dan Undang-undang Darurat Negara RIS, nomor: 11, hari Rabu, tanggal 8 Maret 1950 tentang “Tata Cara Susunan Kenegaraan dari Wilayah RIS”, telah memberikan amanat baik kepada Pemerintah RIS maupun kepada Pemerintah Belanda untuk melaksanakan plebisit sebagai mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan prinsip Hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah India-Timur, tetapi plebisit sebagai mekanisme implementasi dan/atau cara pelaksanaan prinsip Hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah India-Timur tidak kunjung dilaksanakan. Terhadap perihal ini, Karen Parker J. D. (1996: 11) menyatakan, bahwa: “Undang-undang Darurat Negara RIS, nomor: 11, hari Rabu, tanggal 8 Maret 1950 tentang Tata Cara Susunan Kenegaraan dari Wilayah RIS, menampung berbagai bentuk reformasi politik, termasuk plebisit, akan tetapi untuk dapat menerapkan plebisit itu sendiri ada banyak pengecualiannya, bahkan sebenarnya plebisit itu tidak pernah di-ada-kan”.
Bahkan Sukarno – sekali lagi – dengan secara ‘sepihak’ (unilateral) telah membubarkan 16 (enam belas) negara bagian dalam Negara RIS tanpa membubarkan Negara RIS itu sendiri. Sementara itu, Negara RIS dengan 16 (enam belas) negara bagiannya itu telah terdaftar di Sekretariat PBB dibawah nomor: 894, pada hari Senin, tanggal 14 Agustus 1950, 3 (tiga) hari sebelum ‘orang-orang Yogyakarta’ (Mr. Supomo, Mr. Sartono, dan Ir. Sukarno) dengan secara ‘sepihak’ (unilateral) membentuk ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) pada hari Kamis, tanggal 17 agustus 1950 (Daradjadi (2014) MR. Sartono, Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia. Jakarta: Kompas, h. 177). Terhadap pembentukan NKRI tanpa melalui proses “plebisit” ini, H. J. Kruls, LL.D., menyatakan, bahwa: “Negara bagian RI dalam Negara RIS telah membentuk NKRI yang sepenuhnya ‘tidak sesuai hukum’ (ilegal) dan melanggar prinsip hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah India-Timur, termasuk juga telah melanggar hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah Maluku Selatan” (Kruls, H. J. (1960) The Strategic Importance in the World Picture of Present and Future. Belanda: A. W. Sythoff – Leyden).
Salah satu dari 16 (enam belas) negara bagian dalam Negara RIS yang dibubarkan secara ‘sepihak’ (unilateral) oleh Sukarno itu adalah, ‘Negara Indonesia Timur’ (NIT) yang dibentuk berdasarkan hasil “Muktamar Denpasar” di Denpasar, Bali, pada hari Jumat, tanggal 27 Desember 1946. NIT terdiri dari 13 (tiga belas) daerah otonom sebagaimana yang tercantum dalam Staatsblad 1938, nomor: 68, junto Staatsblatnomor: 264 (kecuali daerah Papua Barat), yang salah satu dari ke-13 daerah otonom itu adalah: “Maluku Selatan”. Ketika NIT dibubarkan “secara sepihak” oleh Sukarno, maka rakyat dalam 12 (dua belas) daerah otonom memilih untuk menggabungkan diri dengan negara bagian ‘Republik Indonesia’ (RI) di Yogyakarta, sementara rakyat dalam daerah otonom “Maluku Selatan” lebih memilih untuk memproklamasikan suatu negara yang merdeka dan berdaulat pada hari Selasa, tanggal 25 April 1950, dengan nama: “Republik Maluku Selatan (RMS)” (Kahin, George McTurnan (2013) Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, h. 642).
Catatan: Atas tindakan pembubaran ke-16 negara bagian dalam Negara RIS secara ‘sepihak’ (unilateral) oleh Sukarno sebagaimana tersebut di atas, Komisaris Tinggi Belanda membuat suatu permohonan kepada UNCIyang mempertanyakan bagaimana Indonesia dapat mematuhi ketentuan Pasal 2 dari perjanjian ketiga tentang ‘Langkah-langkah Peralihan dan/atau Langkah-langkah Transisi’ (Transitional Measures) sebagai hasil dari KMB/RTC yang mengatur mengenai: “Hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah India-Timur”. Dalam hubungan dengan invasi dan agresi serta okupasi maupun aneksasi yang dilakukan oleh NKRI terhadap RMS, UNCI pernah mengirim laporan tentang upaya mereka untuk menyelesaikan masalah wilayah Maluku Selatan ini kepada PBB dengan suatu permohonan agar kuasa UNCI untuk Indonesia ini ditegaskan kembali dengan meminta agar pemerintah Indonesia menggunakan mekanisme PBB guna mencapai suatu penyelesaian konflik dengan cara damai yang sudah disediakan itu dengan hadirnya UNCI di Indonesia. Permohonan UNCI tersebut telah diperdebatkan di DK-PBB pada hari Senin, tanggal 30 Oktober 1950. Akan tetapi perdebatan ini ditunda, dan hingga kini belum dibuka kembali. Bahkan Ketika kegiatan UNCI akhirnya dihentikan pada tahun 1955, masalah Maluku Selatan masih belum terselesaikan sampai/dengan saat sekarang ini (Karen Parker, 1996: 91 & 94).
Dasar hukum dan politik dari diproklamasikannya RMS sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, dengan amat sangat baik sekali ditulis dalam naskah proklamasi kemerdekaan RMS sebagai suatu negara yang berdaulat sebagaimana kutipan berikut ini: “Memenuhi kemauan yang sungguh, tuntutan dan desakan rakyat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN, de facto de jure, yang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S., beralasan N.I.T. sudah tidak sanggup mempertahankan kedudukan sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan-peraturan Muktamar Denpasar yang masih syah berlaku, juga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan tertanggal 11 Maret 1947, sedang R.I.S. sudah bertindak bertentangan dengan keputusan-keputusan K.M.B. dan Undang-Undang Dasarnya sendiri”.
Pembentukan RMS sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka, pertama-tama adalah atas dasar “kehendak rakyat” sebagaimana tersebut dalam teks proklamasi: “Memenuhi kemauan yang sungguh, tuntutan dan desakan rakyat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN, de facto de jure, yang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S., … ”. Dalam hukum internasional, “kehendak rakyat” telah termanifestasikan dalam prinsip “hak untuk menentukan nasib sendiri” yang mekanisme implementasinya dan/atau cara pelaksanaannya dilakukan melalui apa yang dinamakan sebagai: “Plebisit”. Dalam hubungan dengan pembentukan Negara RMS ini, Karen Parker, J. D. (1996: 7) menyatakan, bahwa: “Adalah sangat jelas bahwa dalam perjanjian-perjanjian pada KMB/RTC, Rakyat Maluku diberi hak Prerogative untuk menolak penggabungan kedalam RIS, baik dengan cara pemungutan suara negative dalam suatu plebisit pra-gabung atau dengan menolak untuk menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara”.
Catatan: Kehendak rakyat dalam wilayah Maluku (Selatan) yang memilih untuk membentuk suatu Negara berdaulat dan merdeka dengan nama RMS seharusnya dapat diterima dan dihargai serta dihormati oleh seluruh umat manusia, mengingat peristiwa yang terjadi terhadap rakyat Maluku antara tahun 1945 hingga tahun 1950, yaitu: “Pembantaian Orang Ambon”. Peristiwa yang dalam sejarah dunia dikenal sebagai “masa bersiap” ini, dan yang menelan korban nyawa manusia – tidak hanya orang dewasa tetapi juga orang tua bahkan anak-anak – sejumlah hampir kurang lebih 7.000 (tujuh ribu) hingga 20.000 (dua puluh ribu) orang banyaknya itu, terjadi di se-antero wilayah India-Timur terutama di: “Pulau Jawa”. Peristiwa Masa Bersiap ini, dipicu oleh adanya “Maklumat Perang Barisan Pelopor Kepada Indo, Ambon, dan Manado” yang ditandatangani oleh “Pemimpin Barisan Pelopor”, yang pada saat itu ketuanya, adalah: “Sukarno”. Sementara di Surabaya, Jawa Timur, Sutomo alias Bung Tomo, dalam deklarasinya memerintahkan kepada “semua orang Indonesia” untuk “membunuh musuh Bangsa Indonesia” yakni, “orang Belanda, Indo, dan Ambon” yang disebutnya, sebagai: “Anjing Kolonial”. “Bahkan kelompok tentara gerilya Republik (Indonesia – Penulis), ‘Tentara Rakyat Indonesia’ (TRI), secara terbuka mendeklarasikan perang terhadap Belanda, Indo-Belanda, dan Ambon. Di kantong kekuasaan pasukan Republik (Indonesia – Penulis), orang-orang Ambon diserang. Ini terjadi tidak hanya di pulau Jawa tetapi juga terjadi di daerah lain, misalnya Sulawesi dan Sumatera” (Bartels, Dieter (2017) Dibawah Naungan Gunung Nunusaku, Muslim-Kristen Hidup Berdampingan Di Maluku Tengah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), jilid II: Sejarah, h. 665).
Karen Parker, J. D. (1996: 11) selanjutnya menyatakan, bahwa: “Perjanjian-perjanjian yang dihasilkan dalam KMB/RTC dan perjanjian-perjanjian bilateral sebelumnya (antara lain: Perjanjian Linggardjati, hari Selasa, tanggal 25 Maret 1947, dan Perjanjian Renville, hari Sabtu, tanggal 17 Januari 1948 – Penulis) secara jelas memberi hak kepada rakyat Maluku untuk menentukan nasibnya sendiri. Meskipun tidak ada suatu pengakuan yang dapat dijadikan pegangan dalam perihal hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Maluku, rakyat Maluku memenuhi segala persyaratan dan/atau pengujian Hukum Internasional dalam perihal Hak untuk menentukan nasib sendiri. … Tuntutan rakyat Maluku akan hak untuk menentukan nasib sendiri – sekalipun dengan tidak adanya suatu perjanjian yang khusus – adalah sangat kuat”.
Pernyataan Karen Parker seperti tersebut di atas, adalah sejalan dengan keputusan Pengadilan Banding Amsterdam, “Perseroan Terbatas (PT) (Naamloose Vennotschap (NV))” Koninklijke Paketvaart Maatschappij melawan Repoebliek Maloekoe Selatan, hari Kamis, tanggal 8 Pebruari 1951, Yurisprudensi Belanda 1950, nomor: 804, halaman 1424 (Gerechtshof Amsterdam, N. V. Koninklijke Paketvaart Maatschappij vs Repoebliek Maloekoe Selatan, 8 Pebruari 1951, Nederlandse Yurisprudentie 1950, no. 804, p. 1424) sebagaimana yang dikutip oleh N. J. C. M. Kappeyne van de Cappello, LL.D., dalam tulisannya di bawah judul, Relation to the United Nations, yang diterbitkan di Belanda pada tahun 1960 oleh A. W. Sythoff – Leyden, bahwa: “Proklamasi kemerdekaan RMS sebagai suatu Negara yang berdaulat harus dipertimbangkan sebagai suatu metode implementasi hak untuk menentukan nasib sendiri oleh dan/atau atas/nama Rakyat Maluku Selatan, karena perihal tersebut telah disetujui oleh Rakyat Maluku Selatan”.
Catatan: Karen Parker, J. D., adalah seorang Direktur pada ‘Proyek Hukum Kemanusiaan’ (Humanitarian Law Project (HLP)) dan/atau Pembangunan Pendidikan Internasional (International Educational Development(IED)), dan merupakan seorang Pengacara Hukum pada ‘Asosiasi Pengacara-pengacara Kemanusiaan’ (Association of Humanitarian Lawyers (AHL)) yang mengkhususkan diri dalam masalah HAM (Human Right’s) dan ‘Hukum Kemanusiaan’ (Humanitarian Law) dimana Karen Parker merupakan Wakil Utama organisasi HLP/IED di PBB, di Jenewa, Austria, dan di New York, Amerika Serikat (AS) (the United States of America (USA)). HLP/IED yang berkantor pusat di 8124 West Third Street, Los Angeles, California 90048, USA, merupakan suatu ‘Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)’ (Non-Governmental Organization (NGO)) yang tidak berorientasi pada sekte manapun (non-sectarian) dan yang telah diberi kepercayaan untuk pengadaan jasa konsultasi kepada badan-badan PBB oleh mantan ‘Sekretaris Jenderal’ (Sekjen) PBB, Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjold (1905-1961).
Sehubungan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat di wilayah Maluku Selatan dalam membentuk Negara RMS sebagaimana tersebut di atas, Dr. Gesina Hermina Johanna van der Molen, menyatakan, bahwa: “Mempertimbangkan masalah RMS dari sudut pandang hukum tidak ada kesangsian terhadap keberadaannya sebagai suatu negara dalam pengertian hukum internasional modern. Sekali lagi ingin ditekankan bahwa Negara RMS sudah menggunakan hak untuk menentukan nasib sendiri secara sah menurut hukum. … Dari kenyataan-kenyataan dan/atau fakta-fakta tersebut di atas dan ketentuan-ketentuan yang sah berlaku memperlihatkan bukti bahwa RMS sebagai suatu negara memiliki hak yang sempurna untuk memberlakukan hak untuk menentukan nasib sendiri ‘mereka’ (Rakyat Maluku Selatan dalam Negara Republik Maluku Selatan – Penulis)” (van der Molen, Gesina Hermina Johanna (1960) The Legal Position According to International Law. Belanda: A. W. Sythoff – Leyden).
Pernyataan Gesina H. J. van der Molen sebagaimana tersebut di atas, merujuk pada keputusan Pengadilan ‘s-Gravenhage, Republik Maluku Selatan melawan Badan Hukum Nieuw-Guinea, hari Rabu, tanggal 10 Pebruari 1954, Dutch Case Law 1954, nomor: 549, halaman 1040 (Rechbank ‘s-Gravenhage, Republiek Maluku Selatan vs Rechtspersoon Nieuw-Guinea, 10 Februari 1954, Nederlandse Jurisprudentie 1954, no. 549, p. 1040), bahwa: “Melalui bukti-bukti yang diajukan dan juga sesuai dengan perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani, maka terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa RMS adalah suatu negara yang sah, berdaulat, dan merdeka”. Keputusan Pengadilan tersebut mengacu pada pendapat para ahli hukum internasional yang tergabung dalam “Asosiasi Hukum Internasional Cabang Belanda (AHICB) (the Netherlands Association for International Law (NAIL) / de Nederlandse Vereninging voor International Recht(NVIR)) yang dalam sidangnya di Rotterdam, Belanda, pada hari Sabtu, tanggal 24 Juni 1950, menyatakan, bahwa: “Negara RMS telah memiliki hak untuk memproklamasikan kemerdekaannya itu terhadap pendapat siapapun juga”.
Gesina H. J. van der Molen, selanjutnya menyatakan dalam tulisannya dibawah judul, The Legal Position According to International Law, yang diterbitkan di Belanda pada tahun 1960 oleh A. W. Sythoff – Leyden, bahwa: “Sangat sedikit negara dapat merdeka secara sah menurut hukum, sama halnya dengan Negara RMS ini. Hak hidup rakyat Maluku Selatan dijamin oleh hukum internasional umum yang berlaku secara universal sama baiknya dengan perjanjian formal”. Mengenai keabsahan RMS sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka berdasarkan hukum (internasiona) sebagaimana yang dinyatakan oleh Gesina H. J. Van der Molen tersebut, Hendrik Jan Roethof, menyatakan dalam tulisannya di bawah judul, An Existing State, yang diterbitkan di Belanda pada tahun 1960 oleh A. W. Sythoff – Leyden, bahwa: “Negara RMS memiliki status hukum yang sangat besar melebihi negara-negara lain yang kedaulatannya telah diakui dan telah diterima sebagai anggota PBB”.
Jika merujuk baik pada pernyataan Gesina H. J. van der Molen maupun pada pernyataan H. J. Roethof, sebagaimana tersebut di atas, tentang proses pembentukan RMS sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka berdasarkan ketentuan hukum internasional, maka dapat disimpulkan, bahwa: “RMS tidak membutuhkan ‘pengakuan’ (recognition) dari siapapun juga dan dalam bentuk apapun juga bahkan dengan cara yang bagaimanapun juga”. Kecuali, jika proses pembentukan RMS sebagai suatu Negara pada hari Selasa, tanggal 25 April 1950, sama seperti proses pembentukan Indonesia sebagai suatu Negara pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, yaitu: “dilakukan secara sepihak (unilateral) karena tidak memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (Indonesia tidak ada sebagai bangsa) dan tidak mendapat persetujuan dari Negara Induk (Kerajaan Belanda); dilakukan melalui jalan revolusi yang tidak sesuai dengan konstitusi (inconstitutional) dan tidak melalui jalan plebisit sebagaimana yang diatur oleh Piagam PBB; dan dilakukan dengan melanggar perjanjian internasional (Perjanjian Postdam) dan dengan melanggar prinsip hukum internasional tentang status Quo”, maka ‘pengakuan’ (recognition) dari Negara-negara lain menjadi penting sebagai alas hak dan/atau titel (title) yang sah atas ‘wilayah / teritori’ (territory).
Dalam hubungan dengan perihal sebagaimana tersebut di atas, Prof. Huala Adolf, SH., LL.M., Ph.D., dalam halaman 64 dari buku dibawah judul, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, yang diterbitkan di Bandung pada tahun 2011 oleh penerbit Keni Media, menyatakan, bahwa: “Bagi negara (pemerintah) baru yang lahir secara ‘sepihak’ (unilateral), tidak sesuai konstitusi (inconstitutional), di luar ketentuan Piagam PBB (violates the rules of the UN Charter) atau ‘revolusi’ (revolution), lembaga ‘pengakuan’ (recognition) karenannya menjadi penting untuk mendapatkan ‘alas hak dan/atau titel’ (title) yang sah atas ‘wilayah dan/atau teritori’ (territory)”.
Sejalan dengan pernyataan Huala Adolf sebagaimana tersebut di atas, Prof. Rebecca M. M. Wallace, MA., LL.B., Ph.D., dalam halaman 103 dari buku dibawah judul, International Law, yang diterbitkan di London, Inggris, pada tahun 1986 oleh penerbit Sweet & Maxwell, menyatakan, bahwa: “Pengakuan (recognition) terhadap ‘alas hak dan/atau titel’ (title) yang sah atas ‘wilayah dan/atau teritori’ (territory) oleh suatu ‘satuan’ (negara) kepada keberadaan ‘negara baru’ (new state) yang terbentuk dengan cara yang ‘tidak sesuai konstitusi’ (inconstitutional), misalnya dengan ‘revolusi’ (revolution) atau melalui ‘pernyataan kemerdekaan secara sepihak’ (unilateral proclamation of independence), akan bergantung pada ‘pengakuan’ (recognition) oleh ‘anggota-anggota’ (negara-negara) masyarakat internasional lainnya, dan ‘alas hak dan/atau titel’ (title) yang sah atas ‘wilayah dan/atau teritori’ (territory) pada akhirnya hanya dapat dikukuhkan bila suatu pengakuan atas kenyataan-kenyataan dan/atau fakta-fakta yang ada dapat diterima”.
Jika merujuk baik pada pernyataan Huala Adolf maupun pada pernyataan Rebecca Wallace sebagaimana tersebut di atas, maka merupakan suatu perihal yang dapat diterima dengan akal sehat apabila hingga saat ini, Pemerintah NKRI masih terus menerus mememohon-mohon dengan tidak jemu-jemunya kepada Pemerintah Negara Kerajaan Belanda untuk mengakui kemerdekaan NRI yang diproklamasikan pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945. “Pengakuan Belanda itu perlu, karena menurut hukum internasional kedaulatan atas Indonesia masih berada di tangan Kerajaan Belanda” (Hatta, Mohammad (2015) Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). Jakarta: Kompas, h. 412). Pernyataan Muhammad Hatta tersebut kemudian menjadi kenyataan pada hari Selasa, tanggal 27 Desember 1949, tetapi Kerajaan Belanda ternyata tidak mengakui NRI, sebab yang diakui oleh Kerajaan Belanda itu, adalah: “Negara RIS”. Namun demikian, Sekalipun Negara RIS yang telah terdaftar pada Sekretariat PBB dibawah nomor: 894, pada hari Senin, tanggal 14 Agustus 1950, tidak dibubarkan oleh Sukarno, tetapi Sukarno tetap membentuk NKRI pada hari Kamis, tanggal 17 Agustus 1950. Dimana proses pembentukan NKRI seperti inilah yang oleh H. J. Kruls, LL.D., dinyatakan sebagai: “Sepenuhnya ‘tidak sesuai hukum’ (ilegal)”.
Penulis mengakhiri dan sekaligus menutup tulisan ini dengan membuat suatu kesimpulan pendek sebagai berikut: “Jika ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) adalah illegal, dan Negara ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS) yang amat sangat legal itupun tidak di-akui pula oleh orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai “Bangsa Indonesia”, maka sekalipun ‘Negara Republik Indonesia” (NRI) itu juga illegal, tetapi jika tidak ada pilihan lain, maka pilihan yang sesatu-satunya adalah, menanti putusnya urat malu Bangsa Belanda sebagai tanda ambruknya moralitas dan etika politik Bangsa Belanda itu dengan mengakui ‘secara nyata’ (de-facto) dan/atau dengan mengakui ‘secara hukum’ (de-jure) proklamasi ‘Republik Indonesia’ (RI) sebagai suatu Negara yang berdaulat dan merdeka pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945”.
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon
Discussion about this post