TOKOH kemerdekaan Maluku Selatan Dr Chris Soumokil dieksekusi pada 12 April 1966 di Pulau Obi, Kepulauan Seribu di lepas Pantai Jakarta Utara. Soumokil divonis hukuman mati dalam sidang tertutup di Jakarta pada 24 April 1964. Dari berbagai informasi, saat dieksekusi, Soumokil menolak menutup mata. Sikap yang sangat heroik dan tidak gentar menatap moncong senjata.
Peristiwa ini menjadi dasar pejuang Maluku Selatan menjadikan 12 April setiap tahun sebagai Hari Pahlawan. Untuk itu, pada 12 April 2024 ini juga tidak dilewatkan untuk jasa dan perjuangan pahlawan Maluku Selatan. Jiwa dan raga telah dipertaruhkan untuk kemerdekaan Bangsa Maluku.
Dr. Chris Soumokil dan para pemimpin nasionalis Maluku Selatan telah mengambil keputusan politik untuk memproklamirkan Republik Maluku Selatan dan berjuang mempertahankannya melalui perjuangan diplomasi dan perang gerilya selama 13 tahun di Maluku.
Perjuangan itu mengandung nilai luhur untuk mengangkat Bangsa Maluku yang harus berdiri sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pandangan para pelopor kemerdekaan Maluku Selatan sangat visioner untuk generasi setelahnya. Mereka sangat menyadari, kalau derajat dan kesejahteraan Maluku akan lebih mudah tercapai sebagai Bangsa yang mandiri. Kekayaan alam Maluku lebih dari cukup untuk memicu kesejahteraan Maluku. Sebab, tidak ada bangsa lain yang akan membantu Maluku untuk Sejahtera, justru Maluku hanya menjadi korban eksploitasi dari masa ke masa.
Kalau dikontraskan dengan situasi Maluku saat ini, tentu sikap Chris Soumokil dan para pemimpin lainnya mendekati kebenaran. Kekayaan Maluku tidak dimanfaatkan untuk kesejateraan Maluku, tetapi dieksploitasi untuk kepentingan bangsa lain.
Dr. Mr. Chr. Soumokil adalah seorang patriot, pemimpin nasionalis Maluku, bersama-sama dengan para pemimpin nasionalis Maluku yang lain, SH Norimarna, Ibrahim Ohorella, dr. Th. Pattiradjawane, Sersan Aipassa, Mayor Tahapary, Mayor JD. Samson, Mayor Kastanya, Letnan Polisi John Tarantein, Sersan J. Selubun, Sersan Polisi Nico Erwarin, Sersan D. Rahawarin, Sersan Katipana, Sersan Polisi David Klerok, Sersan Polisi Katipana, Sersan Yamko, Sersan Moses Mail dan masih banyak pejuang dan pemimpin yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Pemimpin nasionalis Maluku juga tampil sebagai pemimpin di pengasingan. Sejarah mencatat sejumlah tokoh seperti, Ahmad Tan, J. Tamaela, H. Ibrahim Marasabessy, Balvina Sahureka, dokter Tutuhatunewa, dokter Hasan Tan, Ir. JA. Manusama, Mr. Usman Santi dan sebagainya.
Para pemimpin terdahulu sudah menjawab tantangan zamannya untuk memastikan masa depan Bangsa Maluku. Hari pahlawan ini harus menjadi momen refleksi dan perenungan agar perjuangan untuk menggapai kedaulatan Bangsa Maluku harus terus diperjuangkan dengan cara dan strategi yang baru dengan terus mempelajari perubahan geopolitik di abad ke 21 ini yang membuat Maluku sangat penting di kawasan Indopasifik dan pasifik selatan.
Demikian pula perubahan struktur demografi di Maluku harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan strategi ke depan.
Namun, yang tidak kalah penting bagaimana cita-cita nasionalis Maluku harus diwadahi oleh pemerintahan nasional untuk tetap mengkonsolidasikan perjuangan.
Dikutip dari berita titastory.id berjudul Mengenang Christian Soumokil, Presiden Republik Maluku Selatan (RMS) 12 April 1966 – TitaStory, pada 12 april 2020, Chris Soumokil lahir dengan nama Christiaan Robbert Steven Soumokil lahir di Surabaya, Jawa Timur, 13 Oktober 1905. Dia menjabat presiden Republik Maluku Selatan dari 1950 sampai 1966.
Soumokil menempuh pendidikan di Surabaya hingga sekolah menengah atas. Dia kemudian pergi ke Belanda untuk belajar hukum di Universitas Leiden sampai 1934. Pada tahun 1935 ia kembali ke Indonesia dan menjadi pejabat hukum di pulau Jawa.
Pada 1942, penjajahan Jepang dimulai dan Soumokil ditangkap oleh tentara Jepang dan diasingkan ke Burma dan Thailand. Setelah perang usai, ia kembali ke Indonesia dan menjadi Jaksa Agung dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT). Ia kemudian mendirikan RMS, menjadi Menteri Luar Negeri RMS pada 25 April 1950, dan menjadi presiden pada 3 Mei 1950.
Pendirian Republik Maluku Selatan ini kemudian ditentang oleh pemerintah pusat. RMS dianggap memberontak. Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon.
Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang. Mereka kemudian menyerbu Maluku dan menumpas habis RMS.
Pada 2 Desember 1963 Soumokil ditangkap. Setelah ditangkap oleh tentara Indonesia ia dibuang ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Pada bulan April 1964 ia diadili dan dibela oleh pengacara Mr. Pierre-William Blogg, teman lamanya dari Leiden. Dalam persidangan Soumokil bersikeras berbicara dalam bahasa Belanda, walaupun bahasa ibunya adalah bahasa Melayu. Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhkan hukuman mati bagi Soumokil.
Soumokil kemudian dieksekusi oleh peleton tembak pada 12 April 1966 di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Sejak itu RMS berdiri di pengasingan di Belanda, Soumokil digantikan oleh Johan Manusama yang menjadi presiden RMS pada 1966-1992, kemudian digantikan Frans Tutuhatunewa hingga 2010 dan dia digantikan oleh John Wattilete.
Ketika Para Sersan Menegakkan Republik Maluku Selatan
Seperti bandit-bandit zaman Amerika Cowboy Wild West, bekas pasukan khusus KNIL Belanda, yang pernah dilatih dan dikomandani Kapten Raymond Westerling, baik baret merah maupun baret hijau, masuk ke Ambon di awal 1950.
Di dalam kota Ambon sendiri terdapat KNIL-KNIL Ambon yang tak kalah sulit untuk diatur. Pasukan-pasukan ini adalah sekelompok orang-orang yang mengalami disorientasi setelah Pengembalian Kedaulatan berdasarkan keputusan KMB. Masa depan mereka buram.
Pasukan baret hijau juga tidak jarang melakukan penganiayaan pada pemuda pro-republik. Dalam kerusuhan 22 Januari 1950, setidaknya 2 orang meninggal, 2 orang luka berat, dan 15 lainnya luka ringan sebagai korban mereka.
Begitu yang dicatat Agoes Anwar dalam Soumokil Dan Hantjurnja RMS (1964). Meski begitu, di Ambon sebenarnya ada anggota-anggota KNIL yang ingin bergabung dengan TNI. Masalahnya, mereka tidak mengerti prosedur untuk bergabung dengan TNI.
Seorang Mayor TNI yang berasal dari Maluku bernama Westplat berusaha memberi solusi. Dia menulis surat soal prosedur bagaimana cara bergabung dengan TNI. Surat itu juga sampai kepada Dantje Samson pimpinan Baret Hijau, juga Thomas Nussy pimpinan baret merah di sana. Juga kepada Sopacua, bintara KNIL di Ambon.
Tanggal 13 Februari 1950, wanita nasionalis bernama Silawati Daud asal Sangir bertemu Nussy, pimpinan baret merah. Kepada Nussy, Salawati bercerita banyak bagaimana stuasi politik dan militer di Jakarta pasca-Pengembalian Kedaulatan. Salawati juga bercerita gembiranya orang-orang di Jakarta ketika mendengar kabar ada beberapa bekas KNIL yang akan masuk TNI di Ambon.
Perempuan ini juga didatangi Sopacua, yang bercerita bagaimana bimbangnya anggota KNIL untuk bergabung. Nussy dan pasukannya pada 5 April 1950 tanpa pikir panjang menurunkan bendera Belanda di markasnya, tangsi Victoria. Setelah itu, meletuslah pemberontakan. Seorang kepala daerah diajak Nussy memberontak.
Belakangan, seorang Indo-Belanda reaksioner bernama Kainama menemui Nussy. Pemberontakan pun batal. Menurut Izaal Lebelauw dalam bukunya Wat gebeurde er op Ambon tot 25 April 1951? ada empat bekas sersan KNIL yang begitu berpengaruh di Ambon kala itu: Samson, Pattiwael, Kastanja, dan Pieters.
Tiga bekas ajudan yakni Sopacua, Tahapary, dan Siwabessy yang lebih senior pangkatnya tak begitu berpengaruh di sana. Mereka begitu penting bagi Christian Robert Steven Soumokil yang tiba di Ambon pada 13 April 1950.
Kepemimpinan pasukan KNIL yang mau bubar itu sudah kacau di Ambon. Soumokil berperan penting dalam pembentukan negara baru di Ambon itu. Dia tak bisa sendirian, tokoh-tokoh lokal dia berdayakan untuk mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS).
Menurut Johannes Hermanus Manuhutu, yang menjadi Presiden RMS pertama, dia disuruh Soumokil dan Manusama membuka kantornya untuk rapat pada 23 April 1950. Kedua orang itu membawa KNIL-KNIL bersenjata.
Mantan Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur (NIT) Soumokil dan Ir Manusama menyuruh Manuhutu supaya memproklamirkan RMS.
Esok malam, Soumokil dan para pengikutnya yang beribu-ribu orang jumlahnya terus mendesak lagi. Meski Soumokil juga orang Ambon, dia masih belum punya pengaruh di Ambon.
Pada 25 April 1950, Manuhutu pun membacakan proklamasi Republik Maluku Selatan. “Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir Kemerdekaan Republik Maluku Selatan, de facto de jure, jang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S.,” ucap proklamator.
Namun, Manuhutu hanya jadi Presiden hingga 3 Mei 1950. Dia kembali pangkuan ibu pertiwi dan melanjutkan karir sebagai pejabat Departemen Dalam Negeri hingga pensiun. Posisi Presiden lalu digantikan Soumokil.
Demi eksistensi RMS, seorang mantan wartawan dan mantan pekerja percetakan Siwalima Makassar bernama Domingus Zakarias Pessuwariza diangkat menjadi Menteri Penerangan. Siaran radio dan selebaran-selebaran yang terkait dengan proklamasi RMS disebarkan dan disiarkan.
Sebagai sebuah negara, mereka punya bendera dan lagu kebangsaan. “Maluku Tanah Airku” adalah lagu kebangsaannya. Lambang negara adalah seekor burung pombo yang hendak terbang dengan kaki mencengkeram kain bertuliskan: Mena Muria. Bendera RMS berwarna Biru-Putih-Hijau-Merah, dengan warna merah dominan.
Sudah pasti, para mantan sersan itu mendadak jadi kolonel. Hanya mereka yang paling sangar dan punya pengalaman sebagai militer.
Dantje Samson menjadi panglima tertinggi Angkatan Perang RMS. Menurut propaganda RMS, seperti dicatat Agoes Anwar, terdapat 800 orang pasukan baret dari baret merah maupun baret hijau.
Menurut berita surat kabar Merdeka (28/04/1950) dan tulisan Jusuf Puar dalam Peristiwa Republik Maluku Selatan (1956), orang-orang KNIL di sekitar Ambon itu dilibatkan atas perintah komandan mereka yang anti-republik.
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “La Petite Histoire” Indonesia (2004) menulis, mereka terus bersikap merasa paling tahu. Pemerintah sipil RMS sering tak diindahkan oleh panglima eks KNIL, padahal orang-orang militer ini tulang punggung RMS.
Pasukan mantan baret merah KNIL tak mau mendengar kata panglima tertinggi, mereka hanya mau dengar kata Corputy atau Nussy. Menurut Rosihan Anwar, komando yang kacau itu menjadi penyebab kekuatan mereka mudah digulung di Ambon oleh pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) pimpinan Kolonel Alex Kawilarang.
Menurut laporan Manusama, ketika APRIS menyerang kota Ambon, pasukan baret yang ditakuti itu lari terbirit-birit seperti pengecut. Pasukan KNIL walaupun melawan tapi karena tidak punya disiplin lagi, sehingga bisa dipatahkan TNI. Perlawanan RMS tidak berarti sama sekali bagi TNI.
Angkatan Perang RMS lari terbirit-birit. Moril pasukan RMS akan jatuh jika dibiarkan. Lalu, kepala staf Angkatan Perang RMS, Pattiwael, ditembak mati oleh tentara RMS sendiri. Mereka menuduh Pattiwael memberikan perintah yang salah kepada tentara dan hukumannya adalah ditembak mati, disaksikan oleh Manusama Hal yang sama terjadi juga pada Daud Lestaluhu.
Seperti Nussy, dia juga dari baret merah. Lestaluhu adalah salah seorang panglima di Namlea. Setelah Namlea jatuh ke tangan pasukan pemerintah pada 13 Juli 1950, Lestaluhu tertangkap.
Menurut John Pieris, dalam Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban: Analisis Kritis Aspek Politik (2004), Lestaluhu yang kadang disebut Daniel adalah tokoh RMS yang beragama Islam, seperti halnya Menteri Persediaan Bahan Makanan RMS, Ibrahim Ohorella.
Setelah panglima macam Samson digulung TNI serta Ambon sudah jatuh ke tangan pemerintah, para mantan ajudan KNIL yang lebih senior macam Sopomena, Sopacua, dan Tahapary jadi petinggi Angkatan Perang RMS.
Mereka bertahan dan bergerilya bersama Presiden RMS Soumokil yang bergerilya di Pulau Seram. Sopomena belakangan ditangkap TNI pada 6 Desember 1963. Semula, mantan Sersan yang di awal RMS kalah pamor dari Nussy, Isaac Julius Tamaela, juga ikut bergerilya di sekitar Maluku.
Namun, Tamaela pada 1963 kabur ke Negeri Belanda. Begitu juga Sopacua. Keduanya belakangan terkenal di Belanda. Tamaela bahkan dianggap sebagai jenderal RMS di Belanda. Kisah hidupnya dimuat koran Nederlandsch Dagblad (03/05/1977) dengan judul “Hoe Nederland Zijn Trouwste Soldaten Behandelde” (Bagaimana tentara Belanda yang setia diperlakukan). Sekejam apapun si Thomas Nussy, belakangan dia jadi tawanan juga. Bahkan ketika DJ Samson bersama mantan menteri RMS lainnya disidang, Nussy menjadi saksi. Belakangan, Nussy malah jadi perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang terlibat dalam Operasi Trikora. Dia pensiun dengan pangkat mayor dan di usia senjanya dia menjadi aktivis gereja di Ambon.
Christian Soumokil dan RMS
Setelah tragedi 1965, Ventje Sumual, bekas pemimpin Permesta, melihat gelagat dirinya akan dibebaskan dari rumah tahanan militer. Angin perubahan yang dipicu penculikan dan pembunuhan para jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965 itu membuat orang-orang yang ditahan di masa kepemimpinan Sukarno berpeluang menghirup kebebasan kembali.
Namun Ventje tak hanya memikirkan diri sendiri. Menjelang pembebasannya, ia bertanya soal nasib seorang kawan yang menghadapi hukuman maha berat. Kawannya itu biasa disapa Pacek (Bapak), karena usianya memang jauh lebih tua dari Ventje.”Pacek, sudah dapat grasi?” Ventje bertanya langsung kepada yang dipanggil Pacek itu.
Seingat Ventje, seperti terpapar dalam Memoar: Ventje Sumual (2011), si Pacek hanya menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat murung. Setahu Ventje, si Pacek kemudian dieksekusi seperti halnya Ibnu Hadjar dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Dari Andi Azis ke RMS
Si pacek yang dimaksud Ventje adalah Christian Robert Steven Soumokil, orang nomor satu dalam Republik Maluku Selatan (RMS).
Sebelum terlibat di RMS, Soumokil juga melibatkan diri dalam peristiwa perlawanan Andi Azis, salah seorang perwira Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Saat itu ia masih menjadi pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) dengan jabatan sebagai Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung. Gerakan untuk membubarkan NIT, dan kembali pada Republik Indonesia, ditentang oleh Andi Azis.
Sebelum Peristiwa Andi Azis meletus pada 5 April 1950, Soumokil mengundang Andi Azis ke rumahnya di Makassar pada malam hari 4 April 1950. Malam itu beberapa KNIL asal Ambon sudah siap tempur menghalau pasukan dari Jawa. Keesokan harinya, pasukan yang dipimpin Andi Azis bergerak menyerang kantor staf kwartier dan asrama CPM di Jalan Walter Mongisidi. Pertempuran pun tidak terhindarkan
Ketika Makassar rusuh, Soumokil masih di dalam kota. Namun pada 12 April 1950, dengan pesawat militer Belanda, Soumokil terbang ke Ambon dengan lebih dulu singgah di Manado. Sebelum terbang, ia masih sempat bertemu Andi Azis. Dalam pertemuan itu, seperti ditulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: La Petite Histoire Indonesia (2004), ia berkata kepada Andi Azis: “Jika ose (Anda) mati, beta akan berjuang sampai titik darah penghabisan.”
Dua hari setelahnya, Andi Azis, yang sudah hancur reputasinya di mata pemerintah pusat dan petinggi APRIS karena peristiwa 5 April 1950 itu, terbang ke Jakarta. Dia hendak melaporkan diri dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan pasukannya. Begitu mendarat di Bandara Kemayoran, Andi Azis langsung dibekuk dan kemudian ditahan.
Sementara Soumokil sendiri tiba di Ambon pada 13 April 1950. Suasana di Ambon saat itu sudah cukup panas. Bekas KNIL, terutama dari pasukan khusus baret hijau dan baret merah KNIL, saat itu menjadi penguasa kota. Bersama pasukan itulah Soumokil mengajak para tokoh di Ambon untuk memproklamasikan RMS pada 25 April 1950.
Menurut Syaranamual, seperti dicatat di buku Soumokil dan Hantjurnja RMS (1964),“Proklamasi RMS itu benar-benar hasil tekanan dan paksaan bayonet belaka.”
Soumokil yang baru tiba di Ambon, meski dia otak penting dari RMS dan Ambon, tak serta-merta langsung menjadi presiden. Semula dia menjadi Menteri Luar Negeri. Setelah 3 Mei, barulah dia menjadi Presiden RMS selama bertahun-tahun, baik saat masih berada di Kota Ambon maupun saat bergerilya. Sampai akhirnya ia tertangkap pada 2 Desember 1963.
Foto Utama: Presiden RMS Chris Soumokil bersama para pejuang RMS di Hutan Seram tahun 1950
Penulis Adalah Warga Negara Belanda Ketutunan Negeri Tulehu, Maluku
Sumber lain:
- Artikel ini pertama kali ditayangkan pada media tirto.id 24 April 2017 dengan judul ” ketika para sersan menegakan Republik Maluku Selatan” dan “Christian Soumokil dan RMS: Sejarah Pelik Separatisme Maluku” dan merupakan bagian dari laporan mendalam tirto.id tentang Republik Maluku Selatan.
- Artikel id berjudul Mengenang Christian Soumokil, Presiden Republik Maluku Selatan (RMS) 12 April 1966 – TitaStory, pada 12 april 2020.
Discussion about this post