titastory.id,- Mengapa Maluku miskin adalah sebuah pertanyaan yang sangat mendasar dan hakiki. Apakah yang kurang dari Maluku sehingga Maluku hidup dalam kemiskinan? Tanpa berputar-putar, marilah kita mengkaji dari aspek ekonomi politik hal apa saja yang telah menyebabkan Maluku yang sangat kaya dengan sumber daya alam menderita di dalam kemiskinan. Analisis yang dikemukakan adalah analisis singkat terhadap sistem ekonomi, struktur politik, mekanisme pengambilan keputusan juga aspek demografis seperti populasi penduduk dan basis industri. Jadi, analisis ini tidak ditujukan terhadap figur kepemimpinan siapa pun baik di daerah maupun di pusat.
Di dalam sebuah sistem yang tersentralisasi maka pembangunan ekonomi dilakukan berdasarkan prinsip skala prioritas.
Untuk Indonesia, skala prioritas pembangunan ditentukan berdasarkan luas wilayah (daratan) dan jumlah populasi penduduk di tiap wilayah propinsi. Begitu pula dengan keterwakilan di dalam sistem politik pemerintahan maka jumlah wakil rakyat dari suatu wilayah propinsi juga ditentukan berdasarkan populasi penduduknya.
Secara keseluruhan luas wilayah provinsi Maluku adalah seluas 581.376 km2, dengan luas wilayah lautan sebesar 527.191km2 (90%) dan daratan seluas 54.185 km2 (10%).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik/BPS, populasi penduduk di propinsi Maluku saat ini adalah 1,533,506 jiwa. Dari jumlah tersebut, yang tinggal di perkotaan adalah sebesar 569,395 jiwa (37,13%), yang tinggal di pedesaan sebesar 964,111 jiwa (62,87%). Dengan demikian, berdasarkan data terbaru dari BPS tersebut, dibandingkan dengan jumlah penduduk pulau Jawa yang mencapai 150,32 juta jiwa (57.12% dari total penduduk di Indonesia), pulau Sumatera 58,46 juta jiwa (21.15%), pulau Kalimantan 16,23 juta jiwa (6%), pulau Sulawesi 19,56 juta jiwa (7,34%), maka jumlah penduduk di provinsi Maluku hanyalah kurang dari 1% total jumlah penduduk Indonesia.
Berdasarkan luas daratan yang hanya 10% dari luas keseluruhan dan jumlah penduduk yang hanya kurang dari 1% total jumlah penduduk nasional, maka jelas sekali bahwa dalam skala prioritas pembangunan, baik dalam perencanaan maupun dalam anggaran, Maluku akan selalu menempati prioritas terkemudian kalau bukan yang paling belakang. Hal ini tidak akan berubah. Mengapa demikian? Karena adalah lebih penting dan mendesak secara politis bagi pemerintah untuk mengurus dan meningkatkan kesejahteraan lebih dari separuh penduduk yang ada di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (kurang lebih 92% total penduduk nasional) dibandingkan Maluku.
Apabila tingkat kesejahteraan dari penduduk yang ada di pulau-pulau besar tersebut, khususnya pulau Jawa, tidak diprioritaskan maka berbagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah yang mengarah pada demonstrasi dan kerusuhan sosial serta berpotensi dapat menggulingkan rezim pemerintahan yang ada dapat dimungkinkan terjadi.
Sekali lagi, posisi Maluku dalam skala prioritas pembangunan nasional adalah sangat jelas, bukan prioritas. Dan hal ini selamanya tidak akan berubah. Demikian pula dengan keterwakilan Maluku di lembaga pemerintahan, Maluku akan selalu menjadi minoritas dalam sistem politik dan pemerintahan nasional oleh karena mekanisme pengambilan keputusan yang tersentralisasi dalam aspek-aspek tertentu dan juga karena sistem demokrasi yang menghendaki suara mayoritas. Akan sangat sulit bagi Maluku dan wakil-wakil Maluku yang duduk dalam kursi pemerintahan untuk dapat mendulang suara mayoritas guna menggolkan berbagai kebijakan yang berpihak kepada Maluku.
Jika demikian, apakah solusinya bagi orang Maluku? Bagaimanakah caranya agar di dalam sebuah sistem yang tidak memihak dan tidak memprioritaskan orang Maluku maka orang Maluku dapat bangkit dari keterpurukan dan bahkan meraih tingkat kesejahteraan yang diinginkannya? Pertama-tama, orang Maluku harus sadar dan menerima dengan lapang dada posisi orang Maluku di dalam sistem yang ada dan berhenti berharap dan mengandalkan diri pada sistem tersebut. Justru sebaliknya, orang Maluku harus bangkit dan mengalahkan sistem (beat the system & raise above the system).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Maluku adalah ekonomi ke-3 terkecil di Indonesia dimana Maluku hanya menyumbang 0.29% dari PDB Indonesia. Meskipun pertumbuhan ekonomi Maluku berada di atas tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, yang mana pertumbuhan PDRB sebesar 5.94% dan pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4.20%, namun berdasarkan pendapatan per kapita Maluku adalah provinsi termiskin ke-2 setelah NTT. Sekalipun terjadi pertumbuhan yang pesat di sektor industri mikro dan kecil yaitu sebesar 13%, namun masih belum mampu menanggulangi tingginya angka pengangguran terbuka, yaitu dikisaran 7% (ke-2 tertinggi setelah Jawa Barat).
Dari data-data ini dapat kita tarik beberapa kesimpulan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah disebabkan adanya investasi dan proyek-proyek dari luar yang masuk ke Maluku dan biasanya berfokus pada industri padat modal, bukan padat karya.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun rakyat tetap tinggal dalam keadaan miskin menunjukkan bahwa hasil-hasil keuntungan dari pertumbuhan ekonomi tersebut sebagian besar pergi meninggalkan daerah oleh karena disedot balik oleh pemodal maupun oleh pemerintah pusat. Dan tidak jarang hasil keuntungan dikorupsi dan dihabiskan di luar wilayah Maluku.
Ketiga, walaupun pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tapi masyarakat di propinsi Maluku masih banyak mengkonsumsi barang/produk yang berasal dari luar Maluku sehingga perputaran uang di Maluku juga ikut disedot oleh pemasok berbagai barang/produk yang berasal dari luar Maluku tersebut.
Keempat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun angka kemiskinan tetap tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga produktif Maluku masih menggantungkan hidupnya sebagai karyawan ataupun buruh dengan tingkat upah yang rendah untuk ukuran Maluku. Data juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Maluku tinggal di pedesaan dan menggantungkan hidup mereka kepada alam.
Kelima, sistem dan kualitas pendidikan yang masih rendah yang belum mampu merangsang dan meningkatkan kualitas berpikir SDM Maluku. Secara tradisional sejak zaman kolonial, SDM Maluku diarahkan untuk mengejar berbagai jenis profesi yang tidak akan meningkatkan taraf hidup mereka secara signifikan seperti menjadi guru, pendeta, pengacara, tenaga ahli di bidang tehnik, polisi/tentara dan pegawai negeri sipil. Hampir tidak ada sama sekali SDM Maluku yang diarahkan untuk menjadi pebisnis/pengusaha, investor, pedagang, serta mereka yang merintis satu jenis usaha atau industri dari nol hingga sukses dan bisa diwariskan turun temurun. Padahal nenek moyang orang Maluku adalah bangsa pedagang. Jiwa dan semangat dagang itu telah dikikis habis oleh berabad-abad lamanya penindasan secara sistematis hingga saat ini.
Mengambil contoh perusahaan-perusahaan tradisional di Indonesia seperti P.T. Djarum Kudus atau Ny. Meneer Semarang, adalah perusahaan-perusahaan yang dibangun dari nol dan merupakan perusahaan milik keluarga yang diwariskan turun-temurun hingga akhirnya pada tiap generasi pewarisnya mampu mengembangkan perusahaannya hingga menjadi sangat besar dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Orang Maluku perlu belajar dari bangsa pedagang dan pebisnis seperti bangsa China dan bangsa Yahudi dimana hampir setiap keluarga memiliki bisnis keluarga yang konsisten mereka tekuni dari generasi ke generasi.
Mereka tidak akan bergeser dari bisnis yang mereka tekuni dan setiap generasi pewaris terus meningkatkan kualitas produk dan layanan bisnis/usaha mereka. Hanya dengan menjadi bangsa pengusaha yang handal dan sukses maka etnis China di Indonesia bisa berbuat banyak dan mampu mempengaruhi perekonomian dan perpolitikan nasional Indonesia meskipun mereka minoritas.
Mereka mampu mengatasi keterpurukan dan posisi mereka sebagai minoritas serta bangkit mengatasi dan mengalahkan sistem yang ada. Sekali lagi orang Maluku harus belajar dari bangsa China dan Yahudi. Orang Maluku harus merubah pola pikir dan pilihan profesi bagi generasi penerus Maluku kedepannya. Orang Maluku harus semakin banyak yang diarahkan untuk menjadi pengusaha yang handal dan sukses. Mulai dari nol. Mulai dari bentuk usaha yang paling kecil yang dengan tekun dan konsisten dijalankan yang bisa diwariskan turun temurun.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, bagaimana halnya dengan mayoritas penduduk Maluku yang masih tinggal di pedesaan dan menggantungkan hidupnya kepada alam?
Meminjam strategi “desa mengepung kota” yang pernah digunakan oleh China untuk membangun kekuatan ekonomi nasional mereka hingga menjadi kekuatan ekonomi global seperti sekarang ini, desa-desa di Maluku harus diarahkan untuk menjadi sentra atau basis-basis industri berbagai jenis budi daya darat dan laut dimana pengelolaannya dilaksanakan menggunakan model Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) namun mengikuti sistem bagi hasil seperti yang diwariskan dari nenek moyang orang Maluku (sasi, dlsb).
Dengan demikian perputaran uang di Maluku akan terjadi secara berkelanjutan hingga ke level desa dan setiap warga desa dapat menikmati hasilnya secara langsung. Fokus dari sentra-sentra industri pedesaan di Maluku nantinya adalah untuk menghasilkan berbagai jenis produk yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Maluku secara mandiri tetapi juga dapat diekspor keluar wilayah Maluku bahkan bukan tidak mungkin diekspor ke luar negeri.
Mengenai model pengelolaan BUMDES ini penulis akan menjelaskannya dalam artikel yang terpisah.
Ringkasnya, di Maluku harus dilaksanakan suatu revolusi industri yang mengubah bukan hanya pola pikir masyarakatnya tetapi juga pola produksi, pilihan profesi dan pada akhirnya pola hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat Maluku secara menyeluruh.
Hal ini sejatinya adalah merupakan proyek besar bersama baik rakyat dan jajaran pemerintah daerah Maluku yang terpilih.
Visi yang revolusioner harus dikembangkan dan disebarluaskan dikalangan rakyat Maluku. Saat ini Maluku mungkin bukan prioritas, apalagi mayoritas. Tetapi kelak, suara satu orang Maluku akan menentukan hidup dan matinya mayoritas. Bangkitlah dan menjadi sejahteralah dari tetesan keringat, air mata dan darahmu sendiri hai Maluku.
Penulis adalah John Thomas Edward Matulessy, BA, SIP, MA – lulusan dari Monterey Institute of International Study telah berganti nama menjadi Middlebury Institute of International Study, Monterey, California pada tahun 2007. Saat ini mengajar mata kuliah Ekonomi-Politik dan Ekonomi-Politik Humanitarian di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Discussion about this post