Menjaga Budaya di Tengah Derasnya Perubahan
titastory, Kep. Aru – Hujan turun deras di Pulau Aru. Tik… tik… tik… suara air menghantam atap rumah-rumah kayu, menambah kesejukan yang merayap ke sudut-sudut ruangan. Jalanan basah, dedaunan kuyup, dan para pejalan kaki yang tadinya sibuk kini bergegas mencari tempat berteduh.
Bagi sebagian orang, hujan adalah gangguan. Tapi tidak bagi Irene Sirlay (50), seorang ibu rumah tangga yang telah menjadikan cuaca sejuk sebagai momen terbaik untuk merajut lembar demi lembar daun pandan menjadi karya yang bernilai. Di sudut rumahnya yang sederhana, ia duduk bersama putrinya, Merpati, di dekat jendela yang dihiasi deretan tas anyaman yang tergantung rapi.
“Itu siapa yang buat?” tanyaku, menunjuk pada anyaman yang tampak kokoh dan indah.
“Mama yang bikin,” jawab Merpati dengan bangga.
Di tangan Irene, daun pandan yang dalam bahasa Aru disebut malengar berubah menjadi tas, dompet, hingga kotak tisu yang bernilai jual tinggi. Keahliannya ini bukan sekadar keterampilan turun-temurun, tetapi juga sebuah cara untuk mempertahankan budaya yang kian tergerus zaman.
Menghidupkan Ekonomi dari Anyaman Pandan
Irene tidak pernah menyangka bahwa aktivitas merajut anyaman yang dulu sekadar hobi kini menjadi sumber pendapatan utama keluarganya. Sejak sang suami pensiun sebagai guru pada tahun 2021, ia mulai menekuni kerajinan ini lebih serius. Awalnya, ia hanya membuat mahkota anyaman atas permintaan Rumah Sastra Arafura (RSA), sebuah komunitas seni di Kepulauan Aru. Namun, permintaan terus berdatangan, dari tas kecil hingga pesanan khusus yang kini bahkan sudah menembus pasar Belanda.
“Awalnya saya hanya ingin membantu ekonomi keluarga, tapi lama-kelamaan saya sadar bahwa kerajinan ini adalah warisan budaya yang harus dijaga. Dulu, hampir setiap rumah di Aru memiliki hasil anyaman. Sekarang, anak-anak muda lebih banyak melihat produk pabrikan daripada belajar menganyam,” katanya sambil tetap merajut serat-serat pandan dengan cekatan.
Di Aru, anyaman tradisional disebut Marsaby, seni kerajinan tangan berbasis bahan alami seperti pandan yang banyak tumbuh di daerah pesisir. Irene mengenal tanaman ini sejak kecil. Untuk mendapatkan bahan terbaik, ia harus memotong daun pandan setinggi dua meter, membersihkan durinya, lalu merebus hingga warnanya berubah kecokelatan. Setelah itu, daun dijemur hingga kering dan siap dianyam.
“Kalau tidak dikeringkan dengan benar, warna anyamannya akan buram. Kualitasnya jadi kurang bagus,” jelasnya seraya menunjukkan anyaman putih bersih yang sedang dikerjakannya.
Dari hasil kerajinannya, Irene mampu mencukupi hampir separuh kebutuhan keluarganya. Meski pendapatan tidak menentu, dalam satu kali pesanan besar ia bisa mendapatkan Rp2-3 juta. Jika sedang sepi, penghasilannya berkisar Rp500-600 ribu per bulan. Tas anyamannya dijual dengan harga Rp150 ribu per buah, sebuah harga yang menurutnya wajar mengingat proses pembuatannya yang panjang dan teliti.
“Orang mungkin melihat harganya mahal, tapi ini bukan sekadar tas. Ini adalah hasil kerja tangan, ketekunan, dan budaya yang terus kami pertahankan,” ujarnya penuh semangat.
Ke depan, Irene berharap bisa membuka butik khusus untuk produk anyaman khas Aru. Namun, keterbatasan modal dan peralatan masih menjadi tantangan. Baginya, setiap lembar daun pandan yang dirajut bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang melestarikan identitas dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
“Saya ingin lebih banyak orang yang belajar menganyam, supaya budaya ini tidak punah. Ini bukan sekadar kerajinan tangan, ini adalah bagian dari kehidupan orang Aru,” tutupnya.
Dari sudut rumahnya yang sederhana, Irene Sirlay terus merajut harapan. Di setiap anyaman yang dihasilkan, tersimpan kisah ketekunan, cinta pada budaya, dan perjuangan untuk mempertahankan tradisi di tengah arus modernisasi.
Penulis: Johan Djamanmona Editor: Christ Belseran