titaStory.id, Ambon – PUBLIK Maluku belakangan ini diwarnai dengan pemberitaan media tentang istri Murad Ismail hijrah partai, hingga pemecatan dirinya selaku Ketua dewan pimpinan daerah partai demokrasi Indonesia perjuangan (DPD PDI-P) Maluku, yang merupakan Gubernur Maluku aktif saat ini.
Pasalnya, belum lama ini Murad Ismail mengambil keputusan fatal menghijrahkan isterinya dari rumah moncong putih ke matahari biru. Langkah tersebut, dinilai terlalu dini dan kontradiktif dengan manifesto politik, yang pernah ia produksi di ruang publik bahwa PDI-P Maluku jika tidak memperoleh dua jatah kursi legislatif di Senayan maka akan mengundurkan diri.
Manifesto politiknya, dinilai hanya sebagai dalil politik belaka untuk merebut nomor urut sakti bagi isterinya terkait wacana sistem pemilu proporsional tertutup, juga upaya pembelaan diri bila dipecat. Murad Ismail sebelumnya meyakinkan petinggi DPP partai, agar percaya kepada PDI-P Maluku untuk melahirkan dua kursi dengan tujuan isterinya mendapat keistimewaan nomor urut.
Selain itu, pernyataan tersebut juga dikapitalisasi sebagai bahan simpati publik saat terjadi pemecatan. Paling tidak ada alasan untuk merasionalisasi akal sehat rakyat. Faktanya, kini para pemuja kekuasaan berperan masif mengkambinghitamkan pihak tertentu melalui dalil-dalil dangkal, seakan akan MI sedang di zholimi oleh petinggi partai.
Padahal, terjadi pemecatan karena dinilai ia sendiri membuat kecelakaan politik menghijrahkan isterinya ke partai Lain, melakukan pembangkangan terhadap instruksi partai, mencederai tata krama partai, kurang memiliki kesadaran etis, dan defisit moral ketika berinteraksi dengan pimpinan DPP.
Bagi PDI-P, eksistensi Murad Ismail di partai hanya sebagai wayang di atas panggung politik yang bisa sili berganti dengan figur Lain, tetapi prosedur aturan main (rule of the game) partai tetap ditegakkan terhadap petugas partai bandel. Selaku ketua DPD PDI-P Maluku saat itu, Murad Ismail harusnya sami’na wa atho’na terhadap fatwa politik partai, yang selama ini telah membesarkan namanya.
Sikap bandel MI menghijrahkan isteri dari PDI-P ke PAN mengkonfirmasikan beberapa hal. Yaitu pertama, takut malu ketika isterinya akan kalah bersaing melawan rivalitas di internal partai nanti. Kedua, gengsi selaku ketua DPD PDI-P ketika mengatahui isuh isterinya di geser dari nomor urut satu oleh DPP. Sementara informasi pleno nomor urut saat itu, masih bersifat wacana dan belum di pastikan kebenarannya.
Sedangkan disisi lain sistem pemilu 2024 nanti, tetap menggunakan proporsional terbuka sehingga terkait nomor urut sebenarnya tidak menjadi soal. Sayangnya para pelayan penguasa di sekelilingnya hanya bisa menghibur tuan MI melalui narasi puja-pujian, tetapi tidak berani mendonor gagasan hukum dan wacana perpolitikan nasional seputar sistem pemilu saat ini.
Selaku ketua DPD PDI-P Maluku, Murad Ismail diharapkan mengantarkan partai memenangkan kompetisi pileg 2024, dengan menggerakkan mesin partai mendulang suara elektoral sebanyak mungkin. Namun, di sisi lain isterinya dibiarkan hijrah ke PAN, dan memiliki DNA ideologis berbeda. Itu sebabnya, mengindikasikan ia stengah hati dan tidak setia mencintai partai. Karena pasti main dua kaki, dan instrumennya lebih dominan diarahkan untuk memenangkan istri di partai Lain.
Oleh sebab itu, sebagai partai raksasa PDI-P tentu tidak ingin dikhianati dan ada pembengkangan kader terhadap fatwa politik pimpinan DPP, apalagi menunjukkan sikap arogansi dan tidak etis. Sehingga langkah pemecatan Murad Ismail dari ketua DPD PDI-P Maluku sudahlah tepat. Sekaligus PDI-P membuktikan eksistensi dirinya sebagai partai penguasa, yang tidak bisa direndahkan harkat dan martabatnya oleh siapa pun.
Lantas bagaimana menimbang untung rugi elektoral, yang akan di petik oleh Murad Ismail pasca dipecat oleh dewan pimpinan pusat PDI-P? Menurut hemat penulis, meneropong langkah MI menghijrahkan isterinya ke PAN dari optik politik merupakan sebuah kecelakaan dan mengamputasi karir politiknya sendiri. Sebab secara matematika politik, peristiwa hijrah partai hingga terjadi pemecatan sama sekali tidak memberikan nilai tukar tambah bagi MI dan isterinya, melainkan mengurangi insentif elektoral mereka.
Sebagai ketua DPD PDI-P Maluku saat itu, harusnya menyikapi polemik internal partai dengan ramah dan rasional, bukan amarah dan emosional. Keputusan DPP harusnya dimaknai sebagai selain menegakkan aturan main juga ingin menguji kesetiaan, kepatuhan, dan konsistensinya terhadap partai. Ternyata MI dinilai tidak setia dan sabar menjaga amanah saat dilanda dengan iklim dinamika di tubuh partai.
Mestinya Murad Ismail komitmen secara konsisten membuktikan menifesto politiknya kepada publik Maluku, bahwa ia seorang kesatria yang mampu mengantarkan dua kursi legislatif di Senayan. Bukan menjadi politisi baper menyalahkan keputusan partai, yang sebenarnya tidak menjadi masalah. Ironisnya, dulu berkoar-koar mendapat dua kursi, tapi ternyata kini menyerah sebelum bertarung sungguh memalukan.
Sebagai seorang politisi yang dipegang oleh rakyat adalah antara perkataan dan tindakannya harus seirama. Jika ia hanya bisa produksi narasi manis dibibir, tetapi nihil implementasi di lapangan. Maka konsekuensi logis pada percaturan politik Pilkada 2024, Murad Ismail akan di hukum oleh rakyat Maluku dengan cara melakukan migrasi pilihan ke calon Gubernur Lain.
Khususnya di Maluku ketika MI tidak lagi menjadi warga moncong putih karena telah di pecat, bagi partai bukan sebuah musibah apalagi merasa dirugikan secara elektoral, tentu sama sekali tidak. Sebab, PDI-P sendiri sudah besar semenjak dahulu dan memiliki lumbung basis tradisional cukup kuat. Artinya, PDI-P tanpa MI pun sudah besar dan tidak akan menjadi kecil.
Secara realisme historis PDI-P telah terbukti mampu mengantarkan MI jadi Gubernur Maluku, sedangkan MI belum tentu jadi Gubernur dua periode tanpa PDI-P. Bukti PDI-P sebagai partai besar di Maluku ialah sebelum MI ketua DPD pun, kader-kader terbaiknya mendominasi pucuk pimpinan birokrasi pemerintahan sebagai Gubernur dan ketua DPRD Provinsi berkali kali.
Sebagaimana diketahui PDI-P sejak dulu sampai sekarang merupakan partai raksasa. Kemudian mulai 2014 hingga 2024 masih tetap sebagai partai penguasa. PDI-P telah memproduksi ribuan kader-kader terbaik, dan terdistribusi di semua level birokrasi Pemerintahan bangsa. Mulai dari jabatan Presiden, ketua DPR, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota hingga anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, Kabupaten/kota.
Dalam tubuh PDI-P juga banyak stok kader purnawirawan TNI-POLRI yang lebih militan dan loyalis untuk membesarkan partai. Mulai dari Jenderal bintang satu, dua, tiga bahkan empat. Bagi PDI-P masuknya Murad Ismail di partai hanya mencari pekerjaan menjadi Gubernur Maluku, bukan dianggap sebagai petinggi partai yang punya andil dan kontribusi besar menentukan kelangsungan partai.
Masih ingatkah pidato Ibu Megawati Soekarnoputri selaku Ketum PDI-P, menjelang pemberian rekomendasi kepada Murad Ismail untuk ikut bertarung pada percaturan politik Pilkada 2018. Saat itu sambil guyonan beliau menyatakan, MI setelah purnawirawan ingin mendapat rekomendasi PDI-P untuk mencari pekerjaan sebagai Gubernur. Dengan demikian, PDI-P bukan partai kecil yang mengemis MI menjadi kadernya, tetapi MI lah membutuhkan rumah moncong putih agar bernaung menjadi besar.
Fakta membuktikan tanpa PDI-P Murad Ismail tidak akan menjadi gubernur Maluku, dan punya nama besar seperti saat ini. Kemenangan tersebut bukan hanya modal kekuatan pribadi, tetapi ditopang oleh instrumen partai. Oleh karena itu, sebenarnya selama ini MI lah yang sangat beruntung memiliki PDI-P, dan sangat rugi ketika sudah dipecat.
Kini Murad Ismail telah dipecat dari PDI-P, sehingga sekali lagi ia dan istrinya mengalami kerugian insentif elektoral yang cukup besar dari peristiwa tersebut. Pemecatan MI selaku ketua DPD PDI-P, yang merupakan Gubernur aktif adalah mungkin pertama kali dalam sejarah peradaban perpolitikan nasional. Masa iya seorang ketua DPD PDI-P, yang merupakan Gubernur aktif bisa dipecat tanpa ada toleransi dari partai.
Sikap MI menghijrahkan isterinya dari partai yang ia pimpin sebelumnya ke partai Lain, ibarat sebuah rumah sudah dibangun tapi dihancurkan dengan tangan sendiri. Kemudian sekarang baru berusaha untuk membangun pondasi di rumah baru. Sebab sejauh ini, peran dan kiprah nyata ribuan kader PDI-P di Maluku telah menggerakkan mesin partai menggarap lahan basis masyarakat, agar perhelatan Pilkada dan Pileg 2024. MI dan isterinya bisa petik suara elektoral, tapi ternyata semua investasi politik mereka selama ini menjadi sia-sia.
Jadi, mestinya investasi politik yang ditanam bertahun-tahun di ladang PDI-P harus dipupuk dengan baik. Karena tinggal menunggu durasi beberapa bulan saja lumbung basisnya akan di panen. Namun, karena benih-benih egoisme dan emosional merusak semua citra dan cita-cita selama ini.
Penulis adalah Direktur Eksekutif, Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia (MPKPI)
Discussion about this post