Menelisik Relasi Kuasa dan Menyoal Eksploitasi PT. Waragonda Minerals Pratama

by
21/03/2025
Potongan gambar aksi penolakan aktivitas perusahaan pasir garnet di Negeri Haya, Sabtu, 15 Februari 2025. Foto : Warga

Oleh: Timur Sjarief*

titastory, Maluku Tengah – KIRA–KIRA satu dekade yang lalu (2012), kelompok pemuda dan mahasiswa Negeri Sepa bangkit melawan, menempuh jalur perlawanan dari DPRD dan Pemda hingga ke halaman kantor Kementerian Kehutanan & Lingkungan Hidup di Jakarta. Mereka menghadapi kekuatan kapitalisme predatoris yang menjelma dalam korporasi PT. Bintang Lima Makmur—sebuah entitas rakus yang, atas nama “kemajuan” dan “investasi,” membabat hutan adat Negeri Sepa tanpa ampun.

Dengan dalih pertumbuhan ekonomi, perusahaan ini memaksakan logika akumulasi tanpa batas, merampas ruang hidup masyarakat demi menimbun kekayaan segelintir elite. Ketamakan tanpa kendali ini bukan hanya menciptakan krisis ekologis, tetapi juga menggusur hak-hak komunal, memperlihatkan wajah kapitalisme yang selalu lapar dan selalu mencari mangsa.

Kini, sejarah kelam itu terulang di Negeri Haya, di mana masyarakat kembali menghadapi ancaman serupa. Korporasi dengan nafsu ekspansionis tanpa batas, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal demi akumulasi modal segelintir pemilik kekuasaan. Seperti di Negeri Sepa satu dekade lalu, perlawanan mulai bergeliat—gayung bersambut. Kesadaran kolektif tumbuh, menghubungkan luka lama dengan kenyataan hari ini.

Masyarakat adat di Negeri Haya, Sasi Depan Kantor PT. WMP, Haya, Sabtu, 15 Februari 2025. Foto : Warga

Polemik yang mencuat antara PT. Waragonda Minerals Pratama dan masyarakat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, bukan sekadar gesekan antara kepentingan industri dan komunitas adat, tetapi cerminan dari permasalahan struktural dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

Penyegelan perusahaan oleh warga mencerminkan puncak dari keresahan yang telah lama terpendam, terkait dengan dampak eksploitasi pasir merah terhadap ekosistem pesisir dan keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat. Di satu sisi, PT. Waragonda mengklaim memiliki dasar hukum yang sah untuk beroperasi, namun di sisi lain, warga menilai bahwa keberadaan perusahaan tersebut semakin memperparah abrasi serta mengancam keseimbangan lingkungan yang menjadi sandaran hidup anak cucu kedepan.

Dalam dinamika ini, muncul berbagai argumen yang berusaha membenarkan operasi perusahaan, mulai dari legalitas perizinan, kontribusi ekonomi, hingga tuduhan bahwa gerakan masyarakat dipolitisasi. Namun, ketika perlawanan masyarakat direspons dengan narasi yang menyederhanakan kompleksitas permasalahan ini.

Olehnya itu, kita perlu mengajukan pertanyaan lebih dalam, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari eksploitasi pasir merah ini?

Sejauh mana transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan, serta bagaimana posisi masyarakat dalam negosiasi yang melibatkan sumber daya yang menjadi hak kolektif mereka? Dengan menelaah secara kritis aspek legalitas, dampak lingkungan, serta relasi bisnis-politik di balik keberadaan PT. Waragonda, kita dapat memahami konflik ini bukan sebagai insiden tunggal, tetapi sebagai bagian dari persoalan struktural yang lebih luas dalam industri ekstraktif di Indonesia.

Izin Operasi dan Kedaulatan Masyarakat Adat

Salah satu argumen utama yang digunakan untuk mempertahankan keberadaan PT. Waragonda adalah klaim bahwa perusahaan telah memperoleh izin dari Saniri Negeri (lembaga adat) dan IUP dari pemerintah pusat sehingga keberadaannya legal. Namun, ini mengandung sesat pikir “legitimasi historis”, seolah-olah keputusan yang telah diambil di masa lalu tidak dapat dikaji ulang.

Argumentasi ini perlu dikritisi lebih lanjut. Konsep legalitas tidak serta-merta berkonotasi legitimasi sosial. Dalam banyak kasus, pemberian izin eksploitasi sumber daya alam sering kali berlangsung dalam ruang-ruang negosiasi yang timpang, di mana masyarakat lokal berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan korporasi dan aktor politik yang memiliki kepentingan. Dalam prinsip tata kelola sumber daya alam yang baik, evaluasi izin harus terus dilakukan, terutama jika ditemukan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.

Dalam konteks ini, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah sejauh mana proses perizinan tersebut berlangsung secara transparan dan inklusif? Apakah masyarakat mendapatkan informasi yang cukup mengenai dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas pertambangan pasir merah ini? Jika kemudian warga melakukan penolakan dan mencabut dukungan mereka terhadap perusahaan, maka hak kolektif masyarakat adat dalam meninjau ulang kesepakatan yang merugikan mereka harus diakui sebagai bagian dari prinsip keadilan sosial.

Dampak Lingkungan dan Dalih Normalisasi Abrasi

Salah satu argumen yang beredar di ruang publik adalah bahwa abrasi yang terjadi di pesisir Negeri Haya bukan semata-mata akibat penggalian pasir merah oleh PT. Waragonda, melainkan fenomena yang telah berlangsung sejak lama. Ini adalah bentuk false causality (sesat pikir), yakni pengaburan korelasi antara aktivitas industri dan percepatan kerusakan ekosistem pesisir.

Eksploitasi pasir merah dalam skala besar dan massif berpotensi mempercepat laju abrasi, mengubah struktur bentang alam, serta mengganggu keseimbangan ekosistem laut yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab, perusahaan seharusnya melakukan kajian lingkungan independen yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan sekadar mengandalkan retorika untuk menepis tuduhan warga.

Politisasi Konflik sebagai Strategi Delegitimasi

Dalam setiap konflik sumber daya, selalu ada upaya untuk menggiring narasi bahwa gerakan perlawanan masyarakat bermuatan politik. Isu Pilkada Serentak 2024 dijadikan sebagai bingkai untuk menyederhanakan perlawanan warga, seolah-olah aksi penyegelan ini sekadar instrumen politik praktis yang dimobilisasi oleh aktor-aktor tertentu.

Strategi ini bukan hal baru. Politisasi konflik semacam ini kerap digunakan oleh korporasi dan kelompok kepentingan untuk melemahkan tuntutan masyarakat. Dengan melabeli aksi warga sebagai bagian dari agenda politik, substansi utama dari perlawanan—yakni perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat—menjadi kabur di mata publik. Jika PT. Waragonda ingin membuktikan bahwa tuduhan terhadapnya tidak beralasan, maka langkah yang harus diambil bukanlah menggiring opini, melainkan menyajikan data yang dapat diuji secara transparan.

Lapangan Kerja dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu pembenaran yang sering digunakan untuk mempertahankan keberadaan industri ekstraktif adalah dampaknya terhadap perekonomian lokal. PT. Waragonda mengklaim telah membuka lapangan pekerjaan dan memberikan penghasilan bagi masyarakat sekitar. Namun, argumen ini perlu diuji dengan lebih kritis.

Model bisnis ekstraktif cenderung menciptakan ketergantungan ekonomi jangka pendek. Pekerjaan yang tersedia umumnya bersifat temporer dengan upah yang sering kali tidak sebanding dengan risiko ekologis yang ditanggung oleh masyarakat dalam jangka panjang. Selain itu, distribusi keuntungan dari industri tambang sering kali lebih menguntungkan segelintir elit pemodal dan politisi, sementara masyarakat lokal hanya mendapatkan remah-remah ekonomi dari eksploitasi sumber daya yang mereka miliki.

Dalam jangka panjang, masyarakat perlu mempertanyakan, apakah keberadaan industri ini benar-benar meningkatkan kesejahteraan mereka, atau justru menjadikan mereka semakin rentan terhadap eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan?

Kolusi Korporasi dan Negara

Konflik antara PT. Waragonda Minerals Pratama dan masyarakat Negeri Haya tidak dapat dilepaskan dari lanskap ekonomi-politik yang lebih luas. Model industri ekstraktif di Indonesia kerap beroperasi dalam jaringan kolusi antara korporasi dan kekuasaan, di mana perizinan dan kebijakan cenderung lebih berpihak pada pemilik modal dibandingkan masyarakat adat dan lingkungan.

Banyak kasus serupa menunjukkan bagaimana aktor bisnis sering kali mendapatkan akses eksklusif dalam proses perizinan, difasilitasi oleh regulasi yang lemah dan mekanisme pengawasan yang longgar seperti kasus masuknya PT. BLM di Negeri Sepa. Sementara itu, ketika masyarakat melakukan perlawanan, mereka justru dihadapkan pada stigma sebagai penghambat pembangunan atau bahkan dituduh memiliki agenda politik tersembunyi.

Dalam konteks PT. Waragonda, pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah siapa yang sebenarnya diuntungkan dari eksploitasi pasir merah ini? Sejauh mana transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam memastikan bahwa keuntungannya juga dinikmati oleh masyarakat lokal, bukan hanya oleh segelintir elite ekonomi dan politik?

Menyusun Peta Jalan Penyelesaian Konflik
Agar konflik ini tidak berlarut-larut, diperlukan langkah-langkah konkret yang berorientasi pada keadilan ekologis dan sosial ;

Pertama, Audit Independen Perizinan yaitu Pemerintah Daerah harus melakukan audit menyeluruh terhadap proses penerbitan izin PT. Waragonda untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran prosedural dan keterlibatan kepentingan politik yang merugikan masyarakat.

Kedua, Kajian Dampak Lingkungan Transparan yaitu dibutuhkan kajian independen yang mengukur dampak aktivitas pertambangan terhadap ekosistem pesisir secara ilmiah dan objektif.

Ketiga, Kompensasi dan Pemulihan Lingkungan ialah jika terbukti ada kerusakan akibat aktivitas perusahaan, maka PT. Waragonda harus bertanggung jawab atas pemulihan ekosistem serta memberikan kompensasi yang adil bagi warga terdampak.

Keempat, Alternatif Ekonomi Berkelanjutan yaitu pemerintah dan masyarakat harus mulai merancang strategi ekonomi berbasis sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, sehingga masyarakat tidak terus-menerus berada dalam ketergantungan terhadap industri ekstraktif.

Penutup

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis hendak mengulang kembali dua catatan penting yang sudah penulis sampaikan panjang lebar diatas. Namun, kedua catatan penting itu penting untuk diajukan dan ditegaskan kembali sebagai closing statement.

Pertama.., Salah satu narasi yang digunakan untuk menormalisasi aktivitas PT. Waragonda adalah bahwa abrasi telah terjadi jauh sebelum perusahaan beroperasi. Ini adalah bentuk misleading argumentation yang mengabaikan aspek percepatan dampak ekologis akibat eksploitasi pasir merah. Secara ilmiah, eksploitasi dalam skala besar terhadap sedimen pantai dapat mengganggu stabilitas garis pantai, mempercepat erosi, dan mempengaruhi ekosistem pesisir. Kajian lingkungan yang kredibel seharusnya dapat menentukan sejauh mana kontribusi aktivitas pertambangan dalam memperburuk abrasi.

Jika PT. Waragonda ingin menepis tuduhan warga, seharusnya mereka menyajikan data berbasis riset independen terkait dampak lingkungan. Tanpa itu, pernyataan bahwa abrasi bukan akibat pertambangan tetap menjadi asumsi tanpa dasar ilmiah. Selain itu, absennya langkah mitigasi yang konkret dari perusahaan dalam menghadapi potensi dampak lingkungan semakin memperkuat dugaan bahwa kepentingan ekologis tidak menjadi prioritas utama dalam operasional perusahaan.

Kedua.., PT. Waragonda mengklaim beroperasi berdasarkan izin yang diberikan oleh Saniri Negeri. Namun, dalam berbagai kasus eksploitasi sumber daya, perizinan sering kali menjadi alat legalisasi praktik ekstraktif tanpa partisipasi penuh masyarakat terdampak.

Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah proses perizinan ini melibatkan konsultasi publik yang transparan? Apakah studi kelayakan lingkungan dilakukan secara independen dan dapat diuji validitasnya? Dalam berbagai kasus, izin usaha pertambangan dapat diperoleh melalui mekanisme yang sarat dengan konflik kepentingan, di mana aktor bisnis dan politik sering kali berada dalam posisi yang saling menguntungkan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat adat.

Di sisi lain, jika benar ada inkonsistensi sikap dari Saniri Negeri terkait pemberian izin, maka perlu ditelusuri apakah perubahan posisi ini dipicu oleh ketidakpuasan atas kompensasi ekonomi, ataukah ada faktor lain seperti ketidaksesuaian antara praktik perusahaan dengan kesepakatan awal. Jika ditemukan indikasi bahwa proses perizinan tidak dilakukan dengan standar akuntabilitas yang tinggi, maka legitimasi operasi PT. Waragonda patut dipertanyakan.

Konflik antara masyarakat negeri Haya dan PT. Waragonda Minerals Pratama bukan sekadar sengketa lokal, melainkan representasi dari pertarungan lebih besar dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Jika prinsip keadilan ekologis dan sosial terus diabaikan, maka konflik serupa akan terus berulang di berbagai sudut terpencil didaerah. Oleh karena itu, solusi yang diambil harus didasarkan pada transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan, bukan semata-mata kepentingan bisnis dan politik jangka pendek. **

error: Content is protected !!