titastory, Yahukimo, Papua Pegunungan — Ratusan warga menggelar aksi mogok di pusat Kota Dekai, Kabupaten Yahukimo, Selasa, 30 September 2025. Mereka menuntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman maksimal terhadap empat anggota aparat yang diduga terlibat dalam penembakan yang menewaskan Tobias Silak dan melukai Naro Dapla (17), yang kemudian meninggal dunia.
Kasus penembakan ini terjadi pada 20 Agustus 2024 di Yahukimo. Kedua korban, Tobias Silak staf Bawaslu Yahukimo dan Naro Dapla, remaja berusia 17 tahun, diduga menjadi sasaran tembakan aparat gabungan Brimob yang tergabung dalam Operasi Damai Cartenz.

Komnas HAM RI telah melakukan investigasi dan memaparkan hasilnya kepada keluarga korban pada 17 Desember 2024. Tim penyidik Polda Papua kemudian menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Papua pada Juli 2025 dengan nomor: 44/Pid.B/2025/PN.Wmn dan 45/Pid.B/2025/PN.Wmn. Para terdakwa dalam kasus ini adalah Muh. Kurniawan Kudu, Fernando Aufa, Ferdi Koromoth, dan Jatmiko.
“Kasus penembakan terhadap Tobias Silak dan Naro Dapla adalah satu dari sekian banyak pelanggaran HAM yang terus terjadi di tanah Papua tanpa keadilan hukum,” kata Herlina Sobolim, Koordinator Front for Justice, dalam siaran pers yang diterima media ini, Selasa.
Menurut Herlina, Papua sedang menghadapi krisis hak asasi manusia yang jauh lebih parah dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Ia menyebut, rentetan kasus kekerasan yang menimpa warga sipil menunjukkan Papua masih diperlakukan sebagai daerah operasi militer (DOM).
“Penembakan terhadap almarhum Tobias Silak dan Naro Dapla adalah bukti nyata Papua menjadi daerah operasi militer,” ujarnya. Ia menilai negara kerap mengabaikan aspek HAM dalam menjalankan operasi keamanan.
“Jakarta tidak punya niat membangun Papua dan menegakkan keadilan, kecuali dengan merampok melalui pembantaian, pemerkosaan, pembunuhan, dan penghilangan paksa,” kata Herlina.
Ia menambahkan, keluarga korban menolak tawaran denda atau “bayar kepala” dari pihak kepolisian Yahukimo, dan tetap mendesak proses hukum terhadap para pelaku.
Sidang kasus ini di Pengadilan Negeri Wamena telah berlangsung 16 kali. Majelis hakim telah memeriksa 18 saksi korban dan saksi pelaku, lima saksi ahli, serta memeriksa 21 barang bukti. Sidang ke-17 dijadwalkan pada 2 Oktober 2025 dengan agenda pembacaan tuntutan JPU terhadap empat terdakwa.
“Peristiwa ini adalah tragedi kemanusiaan yang tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan semata. Negara harus hadir menegakkan keadilan, menghukum pelaku seberat-beratnya, termasuk memproses hukum atasan mereka, dan memastikan tidak ada lagi impunitas atas pelanggaran HAM di Papua,” tegas Herlina.