TITASTORY.ID – Publik Maluku saat ini, di landa dengan gelombang dinamika sosial, terkait video viral Gubernur Maluku menantang peserta aksi demonstrasi untuk berkelahi di Namlea pulau buru.
Sikap Gubernur Maluku yang demikian, terjadi pada saat berkunjung ke suatu kegiatan di pulau buru (Namlea). Dimana ketika acara yang dihadirinya, sempat di warnai dengan aksi demonstrasi oleh kelompok aktivis yang mengatasnamakan masyarakat setempat.
Viralnya video tersebut di beberapa grup WhatsApp dan Facebook, memantik aneka tanggapan dan ragan komentar dari masyarakat. Ada yang mengecam kelompok aktivis, karena dinilai aksi demonstrasi digelar pada saat acara berlangsung yang dihadiri oleh gubernur, sangat menggangu dan kurang beradab.
Bahkan tidak hanya itu, para aktivis juga dituduh terkait aksi yang dilakukan sebagai by design dan silent order dari rival politik dan kelompok sakit hati.
Setelah di identifikasi orang-orang yang melakukan pembelaan terhadap sang Gubernur, dan mengecam aksi demonstrasi yang terjadi. Ternyata, mereka merupakan mayoritas orang-orang dalam lingkaran kekuasaan, atau orang dekat Gubernur itu sendiri.
Tetapi, tidak sedikit orang yang justru menilai sikap dan ucapan Gubernur, menantang berkelahi dengan peserta aksi demonstrasi merupakan sikap dan ucapan yang tidak etis, karena tidak mencerminkan kepribadian sebagai pejabat publik. Hal ini juga, merendahkan harkat dan martabat sebagai seorang Gubernur.
Menanggapi aneka komentar dan ragam tanggapan dari masyarakat, terkait peristiwa tersebut. Saya mencoba menganalisis dan melihatnya secara kritis dan objektif rasional.
Pertama, saya melihat dari asfek normatif. Untuk memahami esensi permasalahan yang terjadi di peristiwa tersebut, hendak terlebih dahulu kita memahami tentang hak dan kewajiban menyampaikan pendapat dimuka umum.
Sebagaimana diketahui bahwa menyampaikan pendapat di muka umum, baik secara tertulis maupun lisan merupakan salah satu hak asasi manusia yang di jamin dalam konstitusi.
Legitimasi eksistensi menyampaikan pendapat dimuka umum, termaktub secara eksplisit dalam rumusan norma Pasal 28 UUD NRI 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan denganUndang-undang.”
Selain itu, kebebasan berpendapat, juga termaktub dalam norma Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Selanjutnya, aturan hukum menyampaikan pendapat di muka umum, juga diatur dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Dalam undang-undang ini, kemerdekaan menyampaikan pendapat ialah hak setiap warga negara dalam menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lantas bagaimana kelompok aktivis yang melakukan aksi demonstrasi di namlea pulau buru, memahami hak dan kewajiban terkait menyampaikan pendapat di muka umum. Walaupun menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi, namun pelaksanaannya tetap harus sesuai dengan rel-rel hukum yang berlaku.
Pelaksanaan penyampaian pendapat harus dilakukan penuh dengan tanggung jawab agar tidak ada pihak yang dirugikan. Menurut Undang-undang Nomor 9 tahun 1998, ada hak dan kewajiban yang dimiliki warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum, sehingga tidak mengganggu hak orang lain.
Bagi setiap warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum, berkewajiban dan bertanggung jawab sebagai berikut: Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan demikian, jika ada pelanggaran hukum pada saat aksi demonstrasi di acara tersebut. Mestinya, mereka di proses secara hukum setimpal dengan perbuatannya, agar memberikan efek jerah dan pembelajaran berharga bagi masyarakat luas. Bukan sebaliknya, mereka di ajak duel untuk berkelahi oleh seorang Gubernur sebagai pejabat publik. Karena jika mengajak duel terjadi pun, sama sekali tidak mengembalikan kondisi menjadi semula.
Pelanggan terhadap norma hukum dan kesopanan, tidak bisa di balas dengan ajakan duel atau kekerasan. Begitu juga, suara kritis tidak bisa di bungkam dengan cara otoriter dan berlaku tiran berdarah dingin. Tetapi cukup menunjukkan prestasi dan kerja nyata dalam birokrasi pemerintahan. Sebab, hak mereka sebagai warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum, tidak bisa di amputasi atas dasar dan alasan apapun. Termasuk alasan mengganggu kenyamanan, seorang pejabat publik di suatu acara tertentu.
Sebagai aktivis dan praktisi hukum, saya tidak dalam posisi membenarkan kesalahan ucapan dan tindakan kelompok aktivis atau Gubernur. Misalnya, mereka di tuduh atau diduga, mencaci maki, mencelah Gubernur secara pribadi dan melakukan tindakan lain yang bertentangan dengan norma kesopanan dan hukum, memang hal itu tidak bisa di toleransi.
Tetapi, apakah kesalahan dan pelanggaran mereka sebagai bagian dari masyarakat Maluku, perlu harus di balas dengan cara ditantang untuk berkelahi oleh seorang Gubernur sebagai pejabat publik?. Tentu tidak pantas, karena seorang pejabat publik harus memiliki moral dan mental spiritual yang baik, mempunyai kesadaran etis, menjadi suri tauladan, dan memiliki budi pekerti yang tinggi dalam setiap ucapan dan tindakan di masyarakat.
Sebab, Gubernur merupakan jabatan publik, dan mendapatkan mandat demokratik dari rakyat. Sehingga semenjak ia di ambil sumpah dan janjinya sebagai seorang gubernur. Maka jabatan tersebut, telah milik publik untuk di koreksi dari segala kesalahan ucapan dan perbuatannya.
Terlepas dari ada atau tidak unsur pidana, dilakukan oleh mereka kelompok aktivis terhadap Gubernur. Namun, apa yang dilakukan oleh mereka terhadap Gubernur, merupakan hal yang lazim terjadi di Indonesia sebagai negara demokrasi. Sedangkan terkait ucapan dan sikap Gubernur, hampir tidak terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, konsekuensi logis menjadi seorang pejabat publik, siap di guyur dengan hujan kritik, fitnah, kebencian dan amarah dari rakyat. Sehingga, mestinya terkait peristiwa yang terjadi, Gubernur tidak perlu terlalu reaktif dan menunjukkan sikap arogansi ditengah masyarakat luas. Apalagi sikap tersebut, tidak mencerminkan kepribadian sebagai pejabat publik.
Sebagai pejabat publik harusnya lebih tawadhu, dalam menghadapi iklim dinamika sosial yang tengah terjadi. Dan lebih Istiqomah dalam menjalankan tugas dan urusan pemerintahan di masyarakat. Atas peristiwa tersebut, akhirnya publik memiliki persepsi negatif terhadap Gubernur, karena dianggap mudah terkontaminasi dan terprovokasi dengan pertunjukan adegan politik oleh para rivalitasnya.
Secara politik, Gubernur mestinya tidak boleh khilaf ketika berkunjung ke Namlea pulau buru. Sebab, Namlea pulau buru di identikan dengan lumbung basis gemuk Mantan Bupati buru dua periode, yang merupakan rivalitas politik Gubernur Maluku saat ini. Dimana publik mengintip keduanya, sering terlibat bertikai secara pemikiran dan konfrontasi.
Dalam alam percaturan politikan semua instrumen hukumnya halal, terutama bagi mereka yang suka menghalalkan segala cara. Sehingga terkait dengan aksi yang terjadi, segala kemungkinan bisa terjadi di lakukan oleh rivalitas politik untuk menjebak dan menjatuhkan harkat dan martabat Gubernur. Namun, rupanya Gubernur kurang ikhtiar dan belum siap menghadapi realitas yang terjadi di lapangan.
Terlepas dari aksi tersebut sebagai murni tuntutan aspirasi masyarakat, terkait janji-janji politik Gubernur yang belum di tunaikan kepada masyarakat. Atau aksi tersebut dicurigai oleh orang dekat Gubernur, sebagai by design dan silent order dari rival politik tertentu. Namun, saya tidak dalam posisi mau membahas hal itu lebih jauh. Tetapi, saya ingin katakan bahwa sikap Gubernur yang demikian, telah masuk dalam jebakan batman pihak tertentu.
Peristiwa tersebut telah menjatuhkan marwah dan wibawa seorang Gubernur, sekaligus mengkonfirmasikan, ini sebuah kegagalan tim inti dan orang-orang dekat Gubernur, yang ikut bersama dalam rombongan saat berkunjung di Namlea pulau buru.
Tim Gubernur, mungkin mereka memiliki kemampuan tempur secara strategi, tetapi tidak memiliki insting politik yang kuat dan tajam untuk mendeteksi alarm berbahaya di medan pertempuran. Selain itu, mereka juga tidak cermat dan jelih untuk mentransfer informasi penting, yang bersifat urgensi dan emergency kepada Gubernur, sehingga peristiwa yang sangat memalukan itu tidak boleh terjadi di lapangan.
Akhirnya tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh gubernur, bukan hanya bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Tetapi juga, merupakan pelanggaran kode etik sebagai pejabat publik.
Gubernur sebagai kepala daerah, harus patuh dan tunduk terhadap aturan hukum yang berkaitan dengan tugas, wewenang, kewajiban dan hak kepala daerah. Sebab, salah satu tugas kepala Daerah yang termaktub secara eksplisit dalam norma Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah adalah, “memelihara ketenteraman dan masyarakat”. Tetapi fakta empiris membuktikan di lapangan, justru Gurbernur tidak mampu menjaga ketentraman yang ada.
Selain itu, Gubernur sebagai pejabat pemerintahan harus melaksanakan haknya dengan baik, demi kepentingan masyarakat umum bukan kelompok tertentu. Salah satu hak yang terkandung dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Menyebutkan frasa,” Agar warga masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan atau tindakan terhadap warga masyarakat, harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Masyarakat telah memberikan mandat demokratik dan kepercayaan kepada Gubernur, sebagai pejabat publik yang dipilih. Sehingga atas amanat masyarakat yang dipercaya sebagai penyelenggara pemerintahan, diharapkan mampu merealisasikan janji politik dan memperjuangkan kepentingan publik secara kolektif melalui pelayanan yang baik. Namun, ketika Gubernur ingkar terhadap janji-janji politik yang pernah di umbar di permukaan publik, maka konsekuensi logisnya siap menghadapi berbagai rintangan dan tantangan di lapangan.
Tidak ada pemerintahan yang demokratis, tanpa adanya peranan dan partisipasi masyarakat. Gubernur Maluku yang saat ini, tentu merupakan Gubernur untuk semua orang bukan kelompok tertentu. Oleh karenanya, setelah terpilih taktik dan strategi berpolitik saja tidak cukup. Namun, dibutuhkan pengetahuan, kecerdasan, kearifan dan kebijaksanaan untuk menempatkan kepentingan publik, sebagai alasan utama dalam mengambil setiap keputusan.
Sikap dan ucapan Gubernur Maluku dalam video tersebut, tidak boleh di maknai dan identikan sebagai ciri khas karakter orang asli Maluku. Sehingga terkesan sikap tersebut biasa saja, dan tidak perlu di ribut kan lagi. Padahal setiap sikap dan ucapan seorang pejabat publik, harus di sesuaikan dengan tempat dan situasi. Apalagi hal ini, berkaitan dengan etika pejabat publik.
Fenomena para pejabat publik yang berbicara melahirkan kegaduhan, dan keresahan di masyarakat tidak bisa dipungkiri juga terjadi di daerah lain, tetapi hampir tidak sama seperti yang dilakukan oleh Gubernur Maluku dalam video tersebut. Fakta empiris membuktikan di lapangan, banyak pejabat publik yang berbicara tanpa memahami esensi permasalahan dan tidak menyadari terjadi implikasi negatif di lapangan.
Etika pejabat publik sebenarnya adalah, kembali kepada ucapan dan tindakan dalam menjalankan tupoksinya. Sebagai Gubernur tugas pokoknya apa, dan dia mestinya bersikap dan berkata sebagaimana dia harusnya bersikap dan berkata sebagai seorang pejabat publik. Jadi Gubernur sebagai pejabat publik, jangan asal ngomong di luar kendali akal sehat, agar tidak melunturkan harkat dan martabat di masyarakat sebagai gubernur.
Bagaimana seharusnya etika seorang Gubernur sebagai pejabat publik. Yang pertama dan utama sekali adalah, bagaimana seorang pejabat publik harus memiliki kesadaran etis, moral dan mental spiritual. Sebab, hal ini jika tidak di sadari oleh Gubernur Maluku, maka tidak menuntut kemungkinan kedepannya menjadi pokok permasalahan di masyarakat.
Muncul pertanyaan kemudian ialah, apakah Gubernur Maluku sebagai seorang pejabat publik, telah memiliki kesadaran etis bahwa dia sekarang sedang menjabat sebuah amanat suci dari publik yang amat mulia sehingga harus dia emban, dan melaksanakan sesuai dengan rel-rel peraturan perundang-undangan yang berlaku, demi kepentingan rakyat ?.
Sikap Gubernur dalam video tersebut memang bukan pelanggan hukum, tetapi merupakan pelanggaran etika yang tidak boleh dibiarkan terjadi. Kesadaran etis seorang Gubernur, sangat penting dalam menjalankan tugas dan urusan pemerintahan. Tidak boleh Gubernur sebagai pejabat publik, dapat mengorbankan etiket atausopan santun demi melanggengkan sikap arogansi dalam kepemimpinan.
Sebagai seorang Gubernur setelah memiliki kesadaran etis. Pentingnya juga memiliki kompetensi, dan integritas. Integritas ini menjadi basis dan menuntun Gubernur untuk melakukan amanat yang diembankan kepadanya dengan baik dan benar. Kalau Gubernur sebagai pejabat publik, sudah kompeten tapi tidak berintegritas dan tidak memiliki kesadaran etis, maka alhasilnya juga tidak akan membuahkan apa yang dituntut oleh masyarakat terhadap Gubernur sebagai pejabat publik.
Jadi, sebagai seorang pejabat publik jika tidak mengerti bagaimana harus dia bertingkah laku, dan bertutur kata yang layak di masyarakat dalam posisinya sebagai pejabat publik. Berarti mengkonfirmasikan dia tidak siap menjadi pejabat publik. Sehingga seyogianya kalau tidak kompeten, tidak berintegritas, dan tidak memiliki kesadaran etis seharusnya jabatan tersebut, di tolak atau kembali di letakkan dengan cara mengundurkan diri.
Penulis Adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia
Discussion about this post