Mena Muria, Dua Kata Beragam Makna

by
27/02/2025
Oleh: Jacob E. Kaya

titastory – Mena Muria merupakan bahasa tanah nenek moyang orang Maluku sebagai bangsa pelaut. Mena Muria ini pada masa silam digunakan pelaut Maluku untuk membangun kebersamaan dalam mendayung perahu.

“Mena” merupakan regu pendayung di depan perahu, sedangkan “muria” merupakan regu pendayung bagian belakang. Regu depan meneriakkan “Mena” yang disahut regu belakang dengan “Muria”. Dua kata ini memiliki makna yang mendalam untuk mendayung bersama dalam menjalin kebersamaan, soliditas, saling mendukung dan menguatkan, mendayung untuk menuju sebuah tujuan bersama.

Mena dan Muria memang hanya dua kata tapi memiliki seribu makna sesuai konteks, yang juga mengandung warisan nilai kearifan lokal yang selalu actual dan relevan dalam segala zaman.Untuk itu, Mena Muria digunakan sebagai slogan gerakan politik, nama organisasi, nama media, nama klub bola, nama grup music dan sebagainya. Namun, yang fenomenal Mena Muria sebagai slogan politik dan nama media organ Sarekat Ambon.

Makna filosofis Mena Muria yang sangat dalam ini menyebabkan Mena Muria bisa menjadi identitas, slogan, organisasi dan sebagainya. Dalam konteks organisasi pergerakan Maluku, Mena Muria digunakan pada tahun 1913. Vereeniging van Ambonneezen Mena Moeria (Persatuan Orang Ambon Mena Muria) dibentuk pada 31 Maret 1913 di Semarang, kemudian pindah ke Magelang yang dipimpin A. Pattinasarani.

Foto : Ist

Organisasi Mena Muria di Jawa Tengah ini bertujuan untuk memajukan peradaban material dan moral penduduk Seram, terutama melalui koperasi rakyat. Mena Muria dalam waktu singkat berhasil memiliki 1000 orang yang bergabung menjadi anggota. Keberadaan organisasi Mena Muria di Jawa Tengah ini merupakan organisasi kedua orang Ambon, karena sebelumnya telah berdiri Vereeniging Ambonsch-Studiefonds (Organisasi Dana Pendidikan Ambon) yang dipelopori Willem Karel Tehupeiori, yang baru pulang ke Batavia setelah menyelesaikan studi dokter Eropa di Belanda.

Jadi, setelah kembali dari Belanda, WK Tehupeiori berhasil menghimpun orang Ambon di kediaman LPG Risakotta di Kwitang pada Jumat, tanggal 24 September 1909. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan perkumpulan yang bertujuan untuk membantu pemuda Ambon dalam hal pendidikan dan studi. Pertemuan itu juga berhasil memilih pengurus Ambon Studifonds, yang terdiri dari JA. Soselisa yang merupakan Panitera Pertama di Departemen Perusahaan Pemerintah sebagai Presiden. P. Kuhuwael seorang karyawan di perusahaan Erdmann dan Sielcken sebagai Wakil Presiden; H. Pesoelima, Panitera III di Kantor Audit Umum sebagai Sekretaris-Bendahara. Sedangkan sebagai anggota pengurus terdiri dari: D.J. Siahaija seorang dokter pribumi. W. Soselisa, Panitera ke-3 di Departemen Layanan Medis dan JMM Hetharia, Panitera ke-3 di Kantor Umum Badan Pemeriksa Keuangan.

Namun, Organisasi Ambon Studifonds tidak serta merta segera beroperasi, sebab Pemerintah Hindia Belanda baru menyetujui atau mengesahkan Anggaran Dasar melalui Keputusan Nomor 32 tanggal 14 Januari 1911, sehingga organisasi Ambon Studifonds secara sah sebagai organisasi berbadan hukum. Dengan status ini,
Ambon Studifonds mulai menerbitkan majalah bulanan “Persekoetoean” pada 15 Juli 1911, setelah didahului dengan edisi percontohan pada 6 Mei 1911. Ambon Studifonds juga segera berkembangkan ke berbagai tempat, termasuk di Ambon, Nusalaut dan Saparua. Ambon Studifonds berhasil mendirikan yang dimulai pada 13 November 1911 bagi anak-anak di Ambon. Kemudian, disusul sebuah sekolah berbahasa Belanda berhasil didirikan di Nusalaut atas jasa Raja Negeri Abubu, J. Manusama dan berada di bawah Afdeeling Ambon Studifonds Nusalaut pada tanggal 30 Maret 1912. Selain itu, organisasi ini sangat cepat berkembang di berbagai tempat, dimana ada komunitas orang Ambon.

Hanya saja, dengan berdirinya organisasi Mena Muria pada tahun 1913, juga memunculkan kekhawatiran kalau orang Ambon yang relative sedikit terbagi-bagi dalam dua organisasi. Untuk itu, pimpinan Ambon Studifonds dan Mena Muria melakukan pertemuan, sehingga disepakati organiasi Mena Muria dilebur dalam Ambon Studifonds pada tahun 1915, sehingga Mena Muria tidak lagi menjadi organisasi yang berdiri sendiri.

Setelah itu, nama Mena Muria tidak lagi muncul dalam gerakan organisasi Ambon. Namun, situasi politik Hindia Belanda bergerak dinamis yang antara lain dengan kehadiran Sarekat Islam (SI), yang tentu saja bukan merupakan pilihan bagi orang Ambon dan Minahasa, sehingga orang Ambon dan Minahasa cenderung bergabung dengan Indische Partij (IP), yang belakangan berubah menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Hanya saja, NIP sangat terbuka sementara bagi semua golongan, sementara orang Minahasa dan orang Ambon memiliki masing-masing memiliki ikatan etnis yang sangat kuat, sehingga tidak sejalan dengan semangat yang dikembangkan NIP.

Situasi ini mendorong lahirnya Sarekat Ambon di Semarang pada tanggal 9 Mei 1920, meski Pemerinntah Hindia Belanda menolah pengesahan Anggaran Dasar Sarekat Ambon yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan materiil dan moral penduduk pribumi di Karasidenan Ambon dengan segala daya upaya hukum yang ada dan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan, serta berusaha menghapuskan segala penyelewengan dan ketentuan hukum yang dapat menghalangi tercapainya tujuan.
Salah satu tokoh Sarekat Ambon, AJ Patty mendirikan Majalah Mena Moeria yang merupakan organ resmi Sarekat Ambon, yang juga terbit tanpa mendapat persetujuan pemerintah. Majalah Mena Moeria ini digunakan Sarekat Ambon untuk melakukan propaganda sesuai tujuan keberadaan Sarekat Ambon. Sebelumnya, AJ Patty dan Najoan sudah menerbitkan majalah bagi kalangan militer dan polisi. Hanya saja, kerusuhan militer Ambon di Djatingaleh dan Semarang pada 1920 memudarkan propaganda Sarekat Ambon, karena militer Ambon dilarang menghadiri kegiatan yang diprakarsai Sarekat Ambon.

Sarekat Ambon baru muncul kembali pada akhir tahun 1922 bersama Perserikatan Minahasa. Kedua perkumpulan itu mengadakan pertemuan pada tanggal 17 November 1922 di Weltevreden dan memutuskan untuk bergabung dengan Concentratie Radicale dan ing bekerjasama dengan ISDP, SI, NIP, dan PKI. Setelah itu, Sarekat Ambon di bawah pengaruh AJ Patty mendukung propaganda NIP untuk tidak bekerja sama. Selain tiu, Sarèkat Ambon mendirikan perkumpulan wanita “Ina Toeni”.
Sikap Sarekat Ambon yang tidak mau berkompromi dengan penguasa ini menimbulkan perbedaan dalam tubuh Sarekat Ambon. Apalagi, Sarekat Ambon berkeinginan untuk menjadi Ambon Studifonds sebagai organisasi yang terbuka bagi semua orang Ambon tanpa memandang agama.

Majalah Mena Moeria memegang peranan penting dalam perbedaan pendapat ini, karena Mena Moeria begitu lugas menyerang kelompok yang berbeda, termasuk mengkritik penguasa pada saat itu. Namun, sejarah mencatat, orang Ambon yang tergabung dalam Sarekat Ambon, Ina Toeni, Sou Maloeku Ambon dan Vereeniging voor Moluksche Belangen (Asosiasi Kepentingan Maluku) terpecah dalam dua arus besar yang yang pro dan kontra dengan pemerintah.

Namun, popularitas “Mena Muria” mencapai puncak ketika dijadikan slogan gerakan politik pembentukan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1950. Pekik Mena Muria disampaikan J. Manuhutu pada bagian akhir teks Proklamasi RMS pada 25 April 1950 di Batu Gajah, Ambon. Sejak saat itu, Mena Muria menjadi salam kemerdekaan Maluku Selatan.

Makna penting Mena Muri dalam perjuangan kemerdekaan Maluku Selatan ini melahirkan gagasan Dr. CRS Soumokil sebagai pemimpin Gerakan kemerdekaan Maluku Selatan di Nusa Ina untuk memberikan Bintang Kehormatan Mena Muria (Mena Muria Medal Of Honor) kepada tokoh-tokoh militer Maluku, tokoh sipil, akademisi, tokoh agama, tokoh budaya yang berkontribusi untuk kebudayaan Maluku.

Untuk itu, pada tahun 1957, Dr. CRS. Soumokil menugaskan Fredy Huliselan seorang seniman untuk membuat desain Bintang Kehormatan Mena Muria dengan menggunakan Bunga Cengkih sebagai bahan dasar.

Hanya saja, seiring perjalanan waktu dan semakin menurunnya gerakan kemerdekaan di Maluku menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Maluku untuk menggunakan bahasa tanah Mena Muria. Hal ini tidak lepas dari stigma negatif yang dilekatkan dimana Mena Muria diidentikkan dengan perlawanan menuju kemerdekaan Maluku Selatan. Tentu saja, ketakutan dan kekhawatiran yang sangat tidak beralasan, sebab Mena Muria memiliki nilai kearifan local sebagai warisan dari nenek moyang orang Maluku. Mena Muria!

 Penulis, Jacob E. Kaya, Aktivis Stichting Tugu Soumokil di Belanda.
error: Content is protected !!