Membangun Tanpa Ingatan

09/09/2025
Keterangan : Idja Latuconsina, pegiat Literasi Maluku saat menumpuk kayu bakar. Foto : Ist
Oleh: Idja Latuconsina

titastory, Amsterdam – Beberapa waktu lalu saya bergabung dalam grup WhatsApp Moluccan Network, ruang pertemuan diaspora Maluku dari berbagai negara. Topiknya beragam: pendidikan, ekonomi, hingga pembangunan. Dari situ muncul sebuah pertanyaan yang terus mengusik: bagaimana kita bisa merancang masa depan tanpa memahami sejarah dan budaya yang membentuk Maluku hari ini?
Saya merasa gembira ketika diskusi di grup itu mulai menyinggung nama-nama seperti Richard Chauvel dan Dieter Bartels.

Pengetahuan yang Dipakai untuk Menguasai

Sejak era kolonial, Maluku telah menjadi semacam “laboratorium” pengetahuan. J.G.F. Riedel pada 1886 menyebut orang Maluku sebagai “ras perantara” yang harus diarahkan agar tertib. Antropolog Belanda, G.A. Wilken, menulis detail hukum adat bukan untuk melestarikan, melainkan memudahkan Belanda mengendalikan negeri-negeri. Bahkan para misionaris di Ambon mencatat adat hanya demi memperkuat misi zending. Pengetahuan yang mestinya menjadi jalan pengakuan justru dijadikan alat untuk menguasai.

Adat sebagai Fondasi

Pola serupa masih terasa hari ini. Maluku sering dipandang semata sebagai “wilayah timur tertinggal,” dengan ukuran pembangunan terbatas pada panjang jalan, jumlah sekolah, atau angka pertumbuhan ekonomi. Padahal, ada fondasi lain yang jauh lebih tua dan kokoh.

Keterangan : Pose Idja Latuconsina, pegiat Literasi Maluku Foto : Ist

Ambil contoh sasi. Di banyak negeri adat, bunyi tifa atau tiupan tahuri menandai dimulainya larangan mengambil ikan atau hasil hutan. Itu bukan sekadar aturan, melainkan doa leluhur agar anak cucu tetap bisa hidup dari alam. Jauh sebelum dunia ribut soal global warming dan konsep sustainable development, orang Maluku sudah melakukannya melalui sasi.
Atau pela gandong. Ikatan persaudaraan lintas agama ini membuat dua negeri saling menopang dalam pesta maupun duka. Pela bukan sekadar kontrak sosial, melainkan darah persaudaraan yang menjaga Maluku tetap utuh meski diguncang konflik.

Ingatan Kolektif yang Terlupakan

Sejarah pun meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus: kolonialisme, RMS, hingga kerusuhan 1999. Chauvel menunjukkan bagaimana identitas Maluku terbentuk dari lapisan panjang sejarah itu. Bartels mencatat pela sebagai jembatan rekonsiliasi pascakonflik.

Kini, bahasa-bahasa daerah kian punah. Setiap bahasa yang hilang berarti satu cara pandang dunia ikut lenyap.
Kegagalan pembangunan sering bukan karena dana, melainkan karena mengabaikan ingatan kolektif. Tanah yang dianggap kosong ternyata penuh makna adat. Program yang dianggap bermanfaat justru ditolak karena tidak peka pada trauma masa lalu. Sebaliknya, ketika sasi diintegrasikan dalam kebijakan perikanan, masyarakat mendukung penuh karena merasa tradisi mereka dihormati.

Membangun dengan Ingatan

Perspektif global tetap penting. Pieter Zeihan menekankan geografi dan demografi sebagai penentu masa depan wilayah. Maluku memang strategis di jalur laut dunia. Tetapi pelabuhan megah tidak akan berarti jika adat diabaikan, tenaga lokal tersisih, dan sejarah dilupakan.
Bagi orang Maluku, adat bukan beban ia adalah fondasi. Jika kita kehilangan bahasa, melupakan sasi, atau meninggalkan pela gandong, apa yang tersisa selain nama di KTP?
Pembangunan sejati bukan berarti meninggalkan adat, melainkan berjalan bersamanya.

Penutup

Pelajaran dari Maluku berlaku bagi seluruh Indonesia. Dari Sumatra hingga Papua, pembangunan akan rapuh jika berdiri di atas amnesia. Kita tidak bisa membangun masa depan dengan menghapus masa lalu.
Sebab, membangun tanpa ingatan hanyalah menumpuk batu tanpa jiwa.

Penulis adalah pegiat literasi yang kerap mengisi ruang diskusi tentang Maluku.
error: Content is protected !!