Ambon, — Setiap 28 Oktober, di seluruh Indonesia, sekolah-sekolah menggelar upacara mengenang “Sumpah Pemuda”. Anak-anak berbaris, para guru membacakan teks tiga butir janji tentang tanah air, bangsa, dan bahasa. Tapi tahukah kita, bahwa “sumpah” yang selalu diucapkan itu ternyata tidak pernah tertulis dalam naskah asli 1928?
Hal ini diungkap oleh Hendry Reinhard Apituley, dosen Pendidikan Kewarganegaraan di Politeknik Negeri Ambon dalam opininya berjudul: “Melawan Lupa!!!, J. J. Rizal: Sumpah Pemuda Kebohongan Besar”. Dalam penelitian dan kajian sejarah yang ia telusuri, Hendry menemukan bahwa yang terjadi pada 27–28 Oktober 1928 hanyalah putusan kongres, bukan sumpah.
“Dokumennya jelas. Namanya Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia, bukan Soempah Pemoeda,” ujar Hendry kepada titastory.id.
“Di dalam teksnya tidak ada satu pun kata sumpah. Yang ada hanya mengaku dan menjunjung. Jadi sebenarnya, kita memperingati sesuatu yang secara tekstual tidak pernah ada.”
Dari Putusan Jadi Sumpah
Hendry menjelaskan bahwa Kongres Pemuda II memang peristiwa penting dalam sejarah nasional. Dipimpin oleh Sugondo Djojopuspito dari organisasi Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), kongres itu melahirkan tiga butir “putusan” yang kini dikenal luas:
Mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia.
Mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
“Tapi kata sumpah tidak ditemukan di naskah aslinya. Kata yang digunakan adalah kami mengaku, bukan kami bersumpah,” tegas Hendry.
Teks asli putusan itu masih tersimpan di Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Di sinilah sumber kebingungan bermula. Menurut Hendry, istilah “Sumpah Pemuda” baru muncul sekitar dua dekade setelah peristiwa 1928.
“Ketika Mohammad Yamin menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1950-an, dia merekonstruksi istilah itu menjadi Sumpah Indonesia Raya, yang kemudian disingkat menjadi Sumpah Pemuda,” katanya, merujuk pada catatan Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (2009).
Rekonstruksi itu, kata Hendry, adalah upaya simbolik untuk mengangkat semangat nasionalisme di masa awal republik. Namun seiring waktu, istilah tersebut diterima sebagai “kebenaran sejarah” tanpa pernah diuji ulang.
“Inilah yang disebut propaganda modern. Kebohongan kecil yang diulang-ulang bisa diterima sebagai kebenaran,” ujarnya.
“Joseph Goebbels, Menteri Propaganda NAZI, pernah mengatakan: ‘Kebohongan sempurna adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja.’ Itulah yang terjadi pada Sumpah Pemuda.”

Suara dari Ambon: Siapa yang Terwakili?
Selain soal istilah, Hendry juga menyoroti ketidakhadiran organisasi Jong Ambon dalam daftar resmi Kongres Pemuda II. Dalam naskah putusan, hanya delapan organisasi pemuda yang disebut, antara lain Jong Java, Jong Soematra, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Jong Islamieten Bond.
“Nama Jong Ambon tidak tercantum,” ujar Hendry. “Memang ada orang Ambon yang hadir, seperti Johannes Leimena dan Abdul Mutalib Sangadji, tapi mereka hadir atas nama pribadi, bukan mewakili organisasi.”
Artinya, secara formal orang Maluku tidak terwakili dalam kongres tersebut. Namun dalam pelajaran sejarah di sekolah, nama “Jong Ambon” tetap disebut sebagai salah satu peserta kongres.
Menurut Hendry, hal ini memperlihatkan bagaimana rekonstruksi sejarah juga melibatkan penghilangan dan penyematan identitas.
“Beberapa tahun terakhir, malah nama Jong Ambon mulai dihapus dari buku pelajaran. Dulu disebut, sekarang tidak lagi. Ini membingungkan,” ujarnya, mengutip pandangan Dr. Hendry Marijes Sopacua dari Dinas Kebudayaan Kota Ambon dalam wawancara Suara Maluku (2014).
Kondisi itu, kata Hendry, menandakan bahwa sejarah Indonesia masih sering ditulis dari kacamata pusat, bukan dari pengalaman daerah. “Padahal sejarah bangsa ini tidak tunggal. Ada banyak daerah yang punya kisahnya sendiri,” katanya.

Antara Nasionalisme dan Propaganda
Dalam pandangan Hendry, peringatan “Sumpah Pemuda” setiap 28 Oktober sebenarnya adalah hasil rekayasa politik identitas. Ia menilai tindakan Sukarno dan Mohammad Yamin mengubah istilah putusan menjadi sumpah sebagai bagian dari upaya membangun imajinasi bangsa baru setelah merdeka.
“Tujuannya mungkin baik, untuk memperkuat nasionalisme. Tapi caranya keliru karena mengubah fakta sejarah,” katanya.
Bagi Hendry, tindakan itu bisa dikategorikan sebagai bentuk propaganda, bahkan serupa dengan teknik “Big Lie” yang digunakan oleh rezim totaliter: mengulang satu versi kebenaran hingga diterima publik tanpa kritik.
“Dari situ, lahirlah apa yang saya sebut kebohongan sempurna. Karena diulang terus lewat sekolah, upacara, dan media, rakyat percaya itu benar,” ujarnya.
“Padahal kebenaran sejarah harus bisa diverifikasi lewat dokumen, bukan lewat seremoni.”
Namun Hendry juga menegaskan, mengungkap kebenaran ini bukan berarti menolak semangat 1928. “Saya tidak menolak persatuan bangsa,” katanya. “Saya hanya ingin kita jujur pada arsip. Supaya generasi sekarang tahu, yang kita rayakan itu adalah Putusan Kongres Pemuda, bukan sumpah.”
Tragedi Simbol dan Perebutan Makna
Kebingungan tentang makna Sumpah Pemuda bahkan sempat menimbulkan kontroversi di Maluku. Pada peringatan 28 Oktober 2015, Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Maluku pimpinan Victor Peilouwmenggelar upacara “Sumpah Pemuda Jilid II”.
Mereka membaca ikrar baru yang menegaskan komitmen pada Pancasila, keadilan sosial, dan cinta lingkungan.
Tapi acara itu justru dilaporkan ke polisi oleh kubu lain dalam KNPI yang menganggap kegiatan tersebut ilegal. Sengketa pun melebar menjadi konflik internal organisasi, lengkap dengan laporan resmi ke Polda Maluku (LP-B/350/X/2015).
“Lucunya, mereka bertengkar memperebutkan sesuatu yang bahkan dari awal tidak pernah ada,” ujar Hendry sambil tersenyum getir.
“Itu contoh bagaimana simbol sejarah yang salah kaprah bisa berubah jadi alat politik.”
Sejarah, Kejujuran, dan Ingatan Kolektif
Menurut Hendry, bangsa yang besar seharusnya berani jujur terhadap sejarahnya sendiri, meski pahit.
“Kalau benar peristiwa 1928 itu menghasilkan putusan, ya kita hormati sebagai putusan. Tidak perlu diubah menjadi sumpah,” katanya.
Ia menekankan bahwa kejujuran sejarah bukan sekadar soal istilah, tapi juga soal pendidikan kewargaan.
“Warga yang cerdas itu bukan yang hafal seremoni, tapi yang bisa membedakan antara fakta dan propaganda,” tegasnya.
“Kalau kita terus mempertahankan kesalahan, lama-lama bangsa ini akan membangun masa depan di atas kebohongan.”
Hendry menilai, penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk meninjau ulang penyebutan “Sumpah Pemuda” dalam kurikulum nasional.
“Kita bisa menggantinya menjadi Hari Putusan Kongres Pemuda 1928,” usulnya. “Esensinya tetap sama: persatuan bangsa, tapi dengan pijakan sejarah yang benar.”
Mengembalikan Makna, Bukan Menolak Semangat
Meski banyak pihak mungkin merasa terusik oleh temuan ini, Hendry menegaskan bahwa tujuannya bukan untuk menafikan perjuangan pemuda 1928.
“Justru saya ingin mengembalikan penghormatan itu ke tempat yang tepat,” katanya. “Kita boleh bangga pada semangat 1928, tapi jangan sampai kebanggaan itu membuat kita menutup mata terhadap kebenaran arsip.”
Ia menambahkan, kebenaran sejarah tidak akan mengurangi nilai kebangsaan. “Yang mengurangi justru ketidakjujuran,” ujarnya.
Bagi Hendry, bangsa yang berani menatap arsip dengan jujur akan lebih matang dalam berpikir.
“Negara lain bisa melakukan klarifikasi sejarahnya. Mengapa kita tidak bisa?” katanya.
Belajar Jujur dari Sejarah
Di akhir tulisan opini, Hendry menyampaikan refleksi yang tajam tentang penyataan dari Joseph Goebbels yang merupakan seorang politikus Nazi Jerman dan Menteri Propaganda pada masa kekuasaan Adolf Hitler. Bagi Hendry, Frasa “Kebohongan yang diakui terus menerus akan menjadi kebenaran” sering dikaitkan dengan Goebbels, meskipun keakuratan atribusi ini terkadang diperdebatkan. Frasa ini merangkum teknik propaganda yang ia gunakan, yaitu mengulangi kebohongan hingga dianggap benar oleh masyarakat.
“Setiap kali kita berdiri pada 28 Oktober dan mengucapkan ‘Sumpah Pemuda’, saya teringat kata Goebbels: kebohongan yang diulang akan dipercaya sebagai kebenaran. Mungkin ini saatnya kita berhenti mengulang tanpa bertanya.”
Bagi Hendry, memperingati “Hari Putusan Kongres Pemuda 1928” bukan berarti menghapus sejarah, melainkan mengembalikannya pada fakta.
“Kalau bangsa ini mau maju, kita harus berani jujur. Karena membangun masa depan tanpa kejujuran sejarah, sama saja menumpuk batu tanpa jiwa,” tutupnya.
Catatan Redaksi: Artikel ini disusun dan diedit oleh redaksi berdasarkan tulisan opini Hendry Reinhard Apituley, dosen Pendidikan Kewarganegaraan di Politeknik Negeri Ambon dengan berjudul: “Melawan Lupa!!!, J. J. Rizal: Sumpah Pemuda Kebohongan Besar”., dan referensi dari arsip Museum Sumpah Pemuda serta penelitian para sejarawan Indonesia.
