Judul tulisan ini mengutip pernyataan sejarawan J. J. Rizal yang menyebut “Sumpah Pemuda kebohongan besar” (lihat Merdeka.com di sini). Pandangan tersebut, betapapun provokatifnya, tidak berdiri sendirian. Sejarawan Batara Richard Hutagalung pernah tegas mengatakan “Tidak ada Sumpah Pemuda”, sementara sejarawan lain seperti Aaron Damanik, Asvi Warman Adam, Anhar Gonggong, dan Taufik Abdullah turut mempertanyakan keabsahan konsep yang telanjur diwariskan sebagai kebenaran umum mengenai peristiwa 28 Oktober 1928 (lihat diskusi video ini dan artikel Suara.com di sini). Poin pentingnya: pernyataan-pernyataan itu bukan sensasi, melainkan kesimpulan penelitian ilmiah yang menimbang bukti, dokumen, dan konteks politik pengetahuan pada zamannya.
Temuan kunci dari kajian-kajian tersebut sebenarnya sederhana dan sekaligus krusial. Yang ada pada 27–28 Oktober 1928 adalah putusan kongres, bukan sumpah. Dokumen bertajuk “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”—yang naskahnya tersimpan di Museum Sumpah Pemuda di Kramat 106, Jakarta—memang autentik. Ia memuat tiga pernyataan penting yang kita kenal hari ini: pengakuan bertumpah darah satu (Tanah Indonesia), pengakuan berbangsa satu (Bangsa Indonesia), dan menjunjung bahasa persatuan (Bahasa Indonesia). Namun, tidak satu pun dari ketiga butir itu menggunakan diksi “bersumpah”. Kata kunci yang dipakai adalah “mengakoe/mengaku” dan “mendjoendjoeng/menjunjung”—bukan “bersumpah”. Di sini letak inti problem: putusan kongres telah direkayasa sebutannya menjadi “sumpah”—sebuah rekonstruksi simbolik yang lahir belakangan.
Bila demikian, mengapa selama puluhan tahun jutaan orang merayakan “Hari Sumpah Pemuda”? Mengapa sekolah-sekolah mengajarkan frasa yang tidak ada di naskah asli? Mengapa negara memelihara seremoni yang berdiri di atas istilah yang keliru? Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar kita pada wilayah yang tak kalah penting dari fakta tekstual, yakni politik ingatan dan propaganda modern: bagaimana kebenaran dibentuk, disebarkan, lalu diakui oleh publik melalui pengulangan.

Mengapa Putusan, Bukan Sumpah
Secara faktual, Kongres Pemuda II—yang dipimpin Sugondo Djojopuspito dan diprakarsai Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI)—berlangsung di Jakarta pada 27–28 Oktober 1928. Sidang bergeser di beberapa lokasi (antara lain gedung Pemuda Katolik/Katholiekee Jongelingen Bond, Bioskop Jawa Timur/Oost-Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw). Hasil akhirnya adalah teks “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” yang menegaskan tiga butir pengakuan tadi. Dr. Phil. Ichwan Azhari menekankan bahwa tidak pernah ada frasa “Sumpah Pemuda” tertulis dalam dokumen asli itu; yang ada ialah putusan kongres.
Kata “sumpah” memiliki bobot semantik, etis, dan hukum yang tidak ringan. Sumpah adalah komitmen sakral—dengan konsekuensi moral (bahkan religius) jika dilanggar. “Putusan”, sebaliknya, adalah hasil deliberasi sebuah rapat/kerapatan yang bersifat politis-organisatoris.
Mengubah putusan menjadi sumpah berarti menaikkan statusnya—bukan sekadar soal gaya bahasa—melainkan mengubah wajah sejarah di mata publik. Tak heran, ketika istilah “sumpah” diperdengarkan berulang-ulang setiap tahun dalam upacara nasional, frasa itu tertanam sebagai kebenaran baru yang seolah-olah bersumber dari naskah 1928, padahal bukan.
Di titik ini, problemnya bukan pada substansi tiga butir yang mulia—persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa—melainkan pada kejujuran epistemik: apa yang sebenarnya ditulis dan diputuskan, versus apa yang kemudian dinamai. Kita bisa menghormati semangat 1928 tanpa harus menyandarkan penghormatan itu pada istilah yang tidak ada dalam dokumen asli.
Rekonstruksi dan Propaganda: “Big Lie” dalam Politik Ingatan
Dari mana istilah “Sumpah Pemuda” datang? Sejumlah kajian menunjukkan jejaknya pada rekonstruksi simbolik di era setelah kemerdekaan. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2009, hlm. 509), Prof. Mr. Mohammad Yamin—saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kabinet Ali Sastroamijoyo I, 1953–1955)—menyebut putusan kongres 1928 sebagai “Sumpah Indonesia Raya”, yang lantas disederhanakan menjadi “Sumpah Pemuda”. Artinya, 27 tahun setelah peristiwa 1928, lahir penyematan istilah yang berbeda dari dokumen aslinya. Penyematan inilah yang kemudian diformalkan dan diulang-ulang lewat seremoni kenegaraan dan kurikulum pendidikan.
Fenomena ini bisa dibaca menggunakan lensa propaganda modern—yang oleh Joseph Goebbels (Menteri Propaganda NAZI) dirumuskan sebagai “kebohongan besar”: sebuah distorsi kecil terhadap kebenaran yang diulang-ulang hingga diterima sebagai fakta. Dalam kasus Sumpah Pemuda, “distorsinya” ialah mengganti nama putusan menjadi sumpah. Setelah istilah baru disiarkan saban tahun, ia bertumbuh sebagai norma kultural yang tak lagi dipertanyakan. Dengan demikian, perdebatan hari ini bukan soal merendahkan 1928, melainkan meluruskan istilah agar sejarah lebih jujur—sekaligus memulihkan martabat pengetahuan kita.
Penting ditekankan sekali lagi: mengoreksi istilah tidak mengurangi kemuliaan substansi. Tiga butir pengakuan 1928 tetaplah tonggak historis dalam imajinasi kebangsaan. Yang perlu dibenahi ialah cara kita menyebutnya, karena bahasa membentuk ingatan, dan ingatan membentuk identitas.
“Jong Ambon” dan Problem Representasi
Di tengah euforia peringatan 28 Oktober, sering luput dibahas siapa yang (tidak) terwakili dalam kongres 1928. Daftar organisasi yang tercantum dalam teks putusan adalah delapan: Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar-peladjar Indonesia. “Jong Ambon” tidak tercantum secara resmi, meski memang terdapat tokoh-tokoh asal Ambon/Maluku yang hadir dalam kapasitas lain—antara lain Johannes Leimena sebagai pembantu panitia, atau figur seperti Abdul Mutalib Sangadji yang hadir bukan sebagai delegasi resmi Jong Ambon.
Implikasi dari fakta ini dua: (1) secara formal, orang Maluku tidak terikat oleh putusan itu karena tidak terwakilisebagai organisasi resmi; (2) narasi-narasi yang belakangan mengklaim Jong Ambon sebagai peserta kongres perlu diuji kembali dokumen primernya. Sebagaimana dikemukakan Dr. Hendry Marijes Sopacua (mantan Kadis PKPO Ambon) dalam Suara Maluku (23/10/2014), terjadi kecenderungan pelajaran sejarah yang menghilangkan/mengaburkan nama Jong Ambon—bahkan ketika ia memang tidak tercantum sebagai peserta resmi 1928. Ada dua problem di sini: penghilangan (erasure) dan penyematan (ascription) yang sama-sama menyesatkan bila tak bertumpu pada naskah asli.
Kita tentu boleh bangga pada keterlibatan tokoh-tokoh Maluku dalam sejarah kebangsaan. Tetapi kebanggaan itu semestinya berpijak pada arsip yang benar, bukan pada klaim yang nyaman. Dengan begitu, penghormatan terhadap 1928 menjadi kritis sekaligus jujur—dua prasyarat penting bagi pendidikan sejarah yang sehat.

“Tragedi Sumpah Pemuda”: Ketika Simbol Dipolitisasi
Problem istilah yang kabur berdampak jauh di tingkat praksis. Pada 28 Oktober 2015, DPD KNPI Maluku versi Victor Peilouw menginisiasi “Sumpah Pemuda Jilid II”—sebuah ikrar tiga butir yang memadukan komitmen pada Pancasila–UUD 1945, martabat bangsa, dan pembangunan berwawasan lingkungan. Tindakan simbolik ini segera dipersoalkanoleh kubu Hamzah Sangadji yang menyatakan DPD KNPI tersebut ilegal, dan melaporkannya ke Polda Maluku (LP-B/350/X/2015). Terlepas dari siapa yang benar dalam sengketa organisasi, kasus ini menunjukkan rentannya simbol sejarah—terutama yang terminologinya tak ajek—untuk diperebutkan sesuai kepentingan politik masing-masing.
Di sini kita menyaksikan bagaimana istilah “Sumpah Pemuda”—yang bukan istilah naskah 1928—berevolusi menjadi komoditas politik. Ia dirayakan, ditafsirkan ulang, bahkan disekuelkan menjadi “jilid-jilid” baru. Sementara itu, naskah asli—yang dengan jernih menyebut putusan—terus terlindas oleh narasi seremonial. Pada akhirnya, publik merayakan nama lebih dari substansi, dan debat tentang bahasa dianggap remeh—padahal justru di situlah martabat sejarahdipertaruhkan.
Di titik ini, muncul pertanyaan etis yang tak bisa dielakkan: jika istilah “Sumpah Pemuda” memang tidak ada dalam dokumen 1928, apakah pantas kita terus merayakannya dengan nama demikian? Mengapa tidak mengembalikanpenghormatan kita pada “Putusan Kongres Pemuda 1928”, sembari tetap menghidupkan substansinya: persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa?
Pertanyaan ini bukan untuk menciutkan makna 28 Oktober—melainkan justru untuk memuliakannya dengan cara jujur. Penghormatan yang jujur tak akan melemahkan nilai 1928; ia justru membuatnya lebih kredibel.
Ada yang berkeberatan: mengapa memperdebatkan istilah, bukankah substansi lebih penting? Jawaban saya: bahasa adalah tubuh substansi. Ketika putusan diubah menjadi sumpah, kita mengubah cara publik memahami tingkat kesakralan dan konsekuensi moralnya. Ketika istilah baru ini dideklarasikan negara dan diajarkan di sekolah tanpa penjelasan historis yang memadai, kita mewariskan kekeliruan antar-generasi. Pada giliran berikutnya, kekeliruan itu mempengaruhi kebijakan simbolik, dana seremoni, dan kurikulum—seluruhnya atas nama sejarah yang tak persisdemikian adanya.
Dalam kacamata civic education, kejujuran terhadap dokumen primer adalah fondasi literasi kewargaan. Warga yang literat sejarah bukan warga yang hafal seremoni, melainkan yang memahami proses lahirnya keputusan, membedakan istilah, dan mampu mengkritik rekayasa simbolik tanpa kehilangan penghargaan pada nilai luhur yang dibawa keputusan itu.
Akhirnya, mari kita kembali pada spirit 1928—tanpa perlu tergantung pada istilah yang tidak ada di naskah asli. Tiga butir putusan kongres itu, dengan kalimat “mengaku” dan “menjunjung”, menyiratkan kerendahan hati politiksekaligus kejernihan tujuan. Ia mengafirmasi tanah air sebagai rumah bersama, bangsa sebagai identitas politik, dan bahasa persatuan sebagai jembatan komunikasi. Semua itu cukup untuk dirayakan apa adanya—tanpa mendongkrakstatusnya menjadi “sumpah” demi menambah khidmat semu.
Sebagai bangsa, kita tidak kekurangan momen heroik. Justru karena itu, kita mesti ekstra hati-hati agar narasi kepahlawanan tidak dipelihara di atas kebingungan istilah. Kejujuran historis bukan ancaman bagi persatuan; ia adalah pilar persatuan yang dewasa.
Tulisan ini tidak mengajak siapa pun membenci simbol nasional. Ia mengajak kita meluruskan penyebutan, memulihkan naskah, dan mendidik generasi untuk mencintai tanah air dengan akal sehat. Bila tiap 28 Oktober kita menyebutnya sebagai Hari Putusan Kongres Pemuda 1928, keesokan harinya tidak ada yang berubah pada rasa cinta kita pada Indonesia. Yang berubah hanyalah kelas kebudayaan kita: kita menjadi bangsa yang berani jujur pada arsipnya sendiri.
Dengan demikian, pertanyaan terakhir tak terelakkan: apakah kita siap memuliakan 28 Oktober tanpa harus bertumpu pada istilah yang keliru? Jika jawabnya “ya”, maka kita sudah melangkah satu derajat lebih dewasa sebagai bangsa—bangsa yang paham bahwa kebenaran sejarah bukan musuh persatuan, melainkan salah satu syaratnya.
Penulis menutup tulisan ini dengan suatu pertanyaan sederhana, jika “sumpah pemuda adalah suatu kebohongan besar” sebagaimana yang dinyatakan oleh sejarawan J. J. Rizal, maka layakkah dan patutkah suatu “kebohongan besar (sumpah pemuda)” dirayakan???
Refferensi:
- Pernyataan J. J. Rizal —com: tautan
- Diskusi sejarawan ihwal keabsahan “Sumpah Pemuda” —YouTube: tautan; com: tautan
- Suryanegara, Ahmad Mansur.Api Sejarah (2009), hlm. 509
- Catatan Phil. Ichwan Azhari (ikhtisar gagasan mengenai “putusan” vs “sumpah”)
- ArsipMuseum Sumpah Pemuda, Kramat 106, Jakarta
Catatan: Esai ini adalah opini penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi mana pun.
