JUDUL tulisan ini adalah sebaris kalimat yang penulis kutip dari pernyataan sejarawan J. J. Rizal ketika membahas tentang “sumpah pemuda” sebagaimana termuat dalam laman portal media berita (online): https://www.merdeka.com. Selain J. J. Rizal – dalam membahas mengenai “sumpah pemuda” – sejarawan Batara Richard Hutagalung menyatakan, bahwa: “Tidak ada Sumpah Pemuda”. Sementara beberapa sejarawan lainnya semisal, Aaron Damanik, Asvi Warman Adam, Anhar Gonggong, dan Taufik Abdullah juga mempertanyakan: “ke-absah-an Sumpah Pemuda” (http://youtu.be/-85vJ8mILLs; https://www.suara.com).
Pernyataan para sejarawan sebagaimana tersebut di atas, bukanlah omong kosong belaka, tetapi adalah ‘kesimpulan’ (conclusion) dari suatu ‘proses penelitian’ (research process) dengan menggunakan ‘metode ilmiah’ (scientic method) yang dilakukan oleh para sejarawan tersebut dan disampaikan melalui forum akademik. Dalam proses penelitian ilmiah dimaksud, ditemukan ‘kenyataan/fakta’ (fact) bahwa, memang ada “putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia” sebagai hasil dari pelaksanaan kongres pemuda II (kedua) di Jakarta yang dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 27 Oktober 1928 sampai/dengan hari Minggu, tanggal 28 Oktober 1928 – 95 (sembilan puluh lima) tahun silam (1928-2023). Tetapi tidak ditemukan ‘kenyataan/fakta’ (fact) dari apa yang dinamakan, sebagai: “sumpah pemuda”. Perihal ini adalah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Doktor (Dr.) Philosophy (Phil.) Ichwan Azhari.
Namun demikian, sekalipun “sumpah pemuda” itu tidak pernah ada, tetapi anehnya, setiap tahun pada tanggal 28 bulan oktober, selalu diperingati oleh semua orang yang menganggap dirinya “bangsa Indonesia”, sebagai: “hari sumpah pemuda”. Sungguh suatu kegilaan masal yang tidak dapat diterima dengan akal sehat, ketika – hari ini (Sabtu, 28 Oktober 2023) – hampir kurang lebih 280.000.000 (dua ratus delapan puluh juta) orang yang menamakan diri mereka sebagai “bangsa Indonesia” merayakan suatu ‘peristiwa’ (sumpah pemuda) yang tidak pernah terjadi dalam sejarah. Perihal ini mengingatkan penulis pada “teknik propaganda modern” yang dipelopori dan dikembangkan oleh ‘Joseph Goebels’ (1897-1945) (Menteri Propaganda ‘Nationalsosializmus’ (NAZI) (1939-1945) dalam kabinet pemerintahan Fuhrer Jerman: “Adolf Hitler”) melalui teknik ‘Kebohongan Besar’ (Big Lie (Argentum ad nausem)) yang pada prinsipnya adalah seperti kata Joseph Goebels sendiri: “Kebohongan sempurna adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja”. “Kebenaran”, dapat juga merupakan kebohongan yang dinyatakan secara konsisten.
Putusan = Sumpah (?)
Adalah suatu fakta sejarah yang membuktikan dengan benar dan tak terbantahkan bahwa, pada hari Sabtu, tanggal 27 Oktober 1928 sampai/dengan hari Minggu, tanggal 28 Oktober 1928 – 95 (sembilan puluh lima) tahun lalu (1928-2023) – pernah dilakukan suatu kegiatan yang bernama “Kongres Pemuda II (kedua)”, setelah sebelumnya dilakukan Kongres Pemuda I (pertama) pada hari Jum’at, tanggal 30 April 1926 hingga hari Minggu, tanggal 2 Mei 1926 yang menghasilkan “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” mengenai kegiatan pemuda Indonesia dalam bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya. Kongres Pemuda II (kedua) yang diketuai oleh Sugondo Djojopuspito dari organisasi ‘Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia’ (PPPI), dan yang dilaksanakan di gedung ‘Pemuda Katolik’ (Katholikee Jongelingen Bond) dan lalu dilakukan juga di gedung ‘Bioskop Jawa Timur’ (Oost-Java Biosccoop) dan kemudian dilanjutkan di gedung ‘Klub Indonesia’ (Indonesische Clubgebouw) atas prakarsa dan/atau gagasan PPPI itu, pada akhirnya menghasilkan:
Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanya Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar-peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober Tahoen 1928 dinegeri Djakarta.
Sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang diadakan didalam kerapatan tadi;
Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini.
Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTUMPAH DARAH JANG
SATOE, TANAH INDONESIA
Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE,
BANGSA INDONESIA
Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENDJOEN-DJOENG BAHASA PERSATOEAN,
BAHASA INDONESIA
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannya:
KEMAOEAN
SEDJARAH
BAHASA
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN
Dan mengeloearkan pengharapan, soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.
Jika ditelaah berdasarkan isi dan/atau materi dari Putusan Kongres Pemuda II (kedua) seperti tersebut di atas yang dikutip dari dokumen asli Putusan Kongres Pemuda II (kedua) sebagaimana terdapat pada Museum Sumpah Pemuda, jalan Kramat Raya, nomor: 106, Rukun Warga (RW) 9, Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, ‘Daerah Khusus Ibukota’ (DKI) Jakarta (10420) dan yang dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, maka jelaslah bahwa judul dari Putusan Kongres Pemuda II (kedua) tersebut di atas adalah, “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”, dan bukan “Soempah Pemoeda-Pemoeda Indonesia”.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, “Sumpah Pemuda” yang diperingati setiap tahun pada tanggal 28 bulan Oktober oleh orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai “bangsa Indonesia”, ternyata tidak memiliki dokumen dan bukti sejarah yang otentik. Berdasarkan catatan dan dokumen sejarah diketahui bahwa “Hari Sumpah Pemuda” yang diperingati sebagai peristiwa nasional itu, merupakan hasil “rekonstruksi dan/atau hasil rekayasa” dari “Para Bapak Pembangunan Bangsa” yang didasarkan pada ideologi-ideologi dari generasi yang berbeda. Rekonstruksi dan/atau rekayasa “Putusan Kongres” menjadi “Sumpah Pemuda” dilakukan oleh Profesor (Prof.) Meester (Mr.) Dr. Mohammad Yamin – atas restu dari Presiden ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) pada saat itu: “Koesno Sosrodihardjo alias Dr. (Honoris Causa (HC.)) Ir. Sukarno” – ketika Mohammad Yamin memegang jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo yang ‘pertama’ (Kamis, 30 Juli 1953 – Jumat, 12 Agustus 1955), dimana Muhammad Yamin menyebut “PUTUSAN KONGRES PEMUDA-PEMUDA INDONESIA” yang dihasilkan melalui “KONGRES PEMUDA II” sebagai “SUMPAH INDONESIA RAYA” yang kemudian berubah lagi menjadi “SUMPAH PEMUDA”, 27 (dua puluh tujuh) tahun setelah Putusan Kongres Pemuda-Pemuda Indonesia dihasilkan dalam Kongres Pemuda II (kedua) di Jakarta pada hari Kamis, tanggal 28 Oktober 1928 (Suryanegara, Ahmad Mansur (2009) Api Sejarah. Bandung: Salamadai Pustaka Semesta, h. 509).
Perihal tersebut di atas, adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang sejarawan, pengajar dan ahli filologi Indonesia, dan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Medan, Sumatera Utara, yaitu, Dr. Phil. Ichwan Azhari, bahwa: “Berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada 1 (satu) baris kalimat-pun ditulis kata Sumpah Pemuda, dan para pemuda juga tidak sedang melakukan sumpah pada saat itu. Peristiwa 28 Oktober 1928, yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda adalah rekonstruksi simbolik belaka yang sengaja dibentuk kemudian setelah sekian lama peristiwa tersebut berlalu, yaitu adanya pembelokan dari kata POETOESAN CONGRES menjadi kata SOEMPAH PEMOEDA. Jika teks asli Putusan Kongres Pemuda II (kedua) pada hari Kamis, tanggal 28 Oktober 1928 itu diteliti, maka tidak akan ditemukan kata SOEMPAH PEMOEDA melainkan kata POETOESAN CONGRES”.
Bahkan dalam isi dan/atau materi “PUTUSAN KONGRES PEMUDA-PEMUDA INDONESIA” tidak ditemukan satupun kata “SUMPAH” atau kata “JANJI” yang setingkat lebih rendah dari kata “sumpah” itu sendiri. Yang ada hanyalah kata “MENGAKU” seperti terdapat dalam kalimat: “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTUMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA”; dan seperti yang terdapat dalam kalimat: “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA”; serta kata “MENJUNJUNG” seperti yang terdapat dalam kalimat: “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENDJOEN-DJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA”. Dengan demikian, adalah tidak mengherankan kalau sejarawan Batara Richard Hutagalung menyatakan, bahwa: “Tidak ada Sumpah Pemuda”, dan beberapa sejarawan lain semisal, Aaron Damanik, Asvi Warman Adam, Anhar Gonggong, dan Taufik Abdullah mempertanyakan: “ke-absah-an Sumpah Pemuda” http://youtu.be/-85vJ8mILLs; https://www.suara.com. Bahkan sejarawan J. J. Rizal dengan amat sangat keras dan tegas menyatakan, bahwa: “SUMPAH PEMUDA KEBOHONGAN BESAR” https://www.merdeka.com.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, “Sukarno dan Yamin” dalam proses pembentukan Indonesia sebagai suatu ‘bangsa’ (baru), telah melakukan tindakan politik chauvenistic, yaitu: “tujuan menghalalkan cara”. Dimana untuk mencapai tujuan pembentukan Indonesia sebagai suatu ‘bangsa baru’ (new nation), baik “Sukarno maupun Yamin”, telah dengan secara sengaja menggunakan cara ‘rekayasa’ (pemutar-balikan fakta) sejarah yang merupakan suatu bentuk perbuatan ‘tidak benar’ (salah), tidak jujur, tidak pada tempatnya, tidak bertanggung-jawab, tidak bermartabat, tidak wajar, tidak patut, tidak layak, tidak terpuji, tidak pantas untuk ditiru, dan sekaligus juga merupakan suatu tindakan yang tidak mendidik rakyat Indonesia dalam kapasitas ‘mereka’ (Sukarno dan Yamin) sebagai ‘pendiri’ (founding parent) Indonesia yang seharusnya dapat memberikan contoh dan teladan yang baik dan benar kepada rakyat Indonesia dan bukan sebaliknya.
Perbuatan rekayasa sebagaimana tersebut di atas, merupakan suatu bentuk tindakan “Sukarno dan Yamin” yang berbohong kepada rakyat Indonesia, terutama di bidang pendidikan masyarakat, dimana perbuatan “Sukarno dan Yamin” yang membohongi rakyat Indonesia itu adalah bagian dari proses pembodohan masyarakat Indonesia. Dalam hubungan dengan perihal ini, dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, “Sukarno dan Yamin” telah mengimplementasikan konsep “teknik propaganda modern” yang dipelopori dan dikembangkan oleh ‘Joseph Goebels’ (1897-1945) (Menteri Propaganda ‘Nationalsosializmus’ (NAZI) (1939-1945) dalam kabinet pemerintahan Fuhrer Jerman: “Adolf Hitler”) melalui teknik ‘Kebohongan Besar’ (Big Lie (Argentum ad nausem)) yang pada prinsipnya adalah seperti kata Joseph Goebels sendiri: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada rakyat, sebab kebohongan yang diulang-ulang akan diterima oleh rakyat sebagai kebenaran”, dimana “kebohongan sempurna” itu sendiri, adalah: “kebenaran yang dipelintir sedikit saja”.
Dalam kasus sebagaimana tersebut di atas, “Sukarno dan Yamin” telah melakukan “kebohongan sempurna”, yaitu dengan cara “memelintir putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia II (kedua) menjadi sumpah pemuda”, dan “kebohongan sempurna” itu kemudian disebarluaskan secara berulang-ulang dan secara terstruktur serta secara masif kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama melalui perayaan “hari sumpah pemuda” yang selalu diperingati setiap tahun pada tanggal 28 bulan oktober – bahkan pada saat tulisan ini dipublikasikan (Sabtu, 28 oktober 2023) – sehingga “kebohongan sempurna” itu telah diterima oleh rakyat Indonesia sebagai suatu kebenaran sejati sampai/dengan saat ini, dan nanti sesudah ini.
Joseph Goebels sang agitator memang telah lama mati, tetapi konsep fasismenya itu masih tetap hidup dan bahkan bertumbuh menjadi dewasa secara cepat dan kuat di bumi Indonesia yang tegak berdiri di atas “LIMA DASAR (PANCASILA)”, yang ‘sila’ (dasar) pertamanya adalah: “Ketuhanan Yang Maha Esa”; dan ‘sila’ (dasar) keduanya adalah: “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, dimana kebohongan menurut kedua ‘sila’ (dasar) tersebut adalah suatu perbuatan hina, haram dan tercela, apalagi perbuatan itu dilakukan sendiri oleh ‘pendiri’ (founding parent) ‘Negara Republik Indonesia (NRI)’ (sekarang bernama ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI)), seperti: “Sukarno (sang bidan yang melahirkan Pancasila itu sendiri dari rahim ibu pertiwi bernama Indonesia), dan Yamin (sang maestro pemilik orkestra Majapahit, yang memainkan simponi berjudul Nusantara, dibawah pimpinan Gajah Mada sebagai ‘konduktor’ (dirigen))”.
Posisi Jong Ambon
“… Konsep ini sengaja diangkat ke permukaan, karena dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, nama Jong Ambon sudah hilang dalam naskah pelajaran sejarah yang dipelajari. Padahal, sebelumnya, dalam pelajaran sejarah mengenai sumpah pemuda, Jong Ambon, Jong Java, Jong Celebes dan lainnya selalu disebut. Heran kenapa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir ini, hanya Jong Java dan Jong Celebes yang ditulis, sementara Jong Ambon tidak ada lagi. Apa yang salah disini, mengapa sampai Jong Ambon sudah tidak disebutkan dalam naskah sejarah belakangan ini. Padahal, dulu saat kita belajar sejarah nama Jong Ambon selalu disebut sebagai yang punya peran dalam melahirkan sumpah pemuda tersebut … “.
Paragraf singkat ini adalah sepenggal komentar dari bapak Dr. Hendry Marijes Sopacua, Sarjana pendidikan (Spd.), Sarjana Hukum (SH.), Magister Hukum (MH.), yang pada saat itu merupakan pejabat ‘Kepala Dinas’ (KADIS) Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (PKPO), Pemerintah Kota (PEMKOT) Ambon sebagaimana dipublikasikan dalam halaman 12 (dua belas) dari surat khabar harian umum SUARA MALUKU terbitan hari Kamis, tanggal 23 Oktober 2014, dibawah judul: “Jong Ambon Bicara, Sambut Sumpah Pemuda 2014”.
Jika ditelaah berdasarkan isi dan/atau materi Putusan Kongres Pemuda II (kedua) tersebut di atas, maka adalah sangat terang benderang dan amat sangat jelas serta tidak dapat dibantah lagi bahwa, tidak semua organisasi pemuda dalam wilayah ‘India-Timur’ (Oost-Indie) pada saat itu yang terwakili secara sah dalam Kongres Pemuda II (kedua). Hanya terdapat 8 (delapan) organisasi pemuda yang terwakili secara sah dalam Kongres Pemuda II (kedua) tersebut di atas.
Kedelapan organisasi pemuda itu adalah seperti yang tertulis dalam teks asli Putusan Kongres Pemuda II (kedua) sebagaimana tersebut di atas, yaitu: “Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar-peladjar Indonesia”.
Sedangkan beberapa organisasi pemuda lainnya termasuk organisasi pemuda “Jong Ambon” tidak terwakili secara sah dalam Kongres Pemuda II (kedua) tersebut, meskipun terdapat beberapa orang pemuda Ambon yang hadir dalam Kongres Pemuda II (kedua) dimaksud, tetapi kehadiran mereka itu adalah atas/nama pribadi dan/atau berdasarkan mandat dari organisasi pemuda lainnya, dan bukan berdasarkan mandat dari organisasi pemuda “Jong Ambon”, dan tidak atas dasar mandat dari rakyat Maluku (selatan) juga, seperti misalnya, Abdul Mutalib Sangadji dan Johannes Leimena yang kehadiran mereka ‘berdua’ (Sangadji dan Leimena) dalam Kongres Pemuda II (kedua) itu adalah sebagai pemuda Indonesia Terkemuka di pulau Jawa, dan bukan mewakili organisasi “Jong Ambon” dan/atau ‘daerah asalnya’ (Maluku (selatan)).
Johannes Leimena yang turut hadir dalam Kongres Pemuda II (kedua) pada saat itu adalah dalam kapasitas sebagai pembantu IV (empat) pada Panitia Kongres Pemuda II (kedua) dan tidak sebagai utusan yang memegang mandat untuk mewakili organisasi “Jong Ambon”, dan meskipun Leimena sendiri merupakan salah seorang anggota organisasi “Jong Ambon” pada saat itu, tetapi kehadiran Leimena dalam Kongres Pemuda II (kedua) tersebut tidak dapat secara serta merta dan/atau tidak dapat secara dengan sendirinya dan/atau tidak dapat dengan secara otomatis dianggap sebagai telah mewakili organisasi: “Jong Ambon”.
Dengan demikian dapat disebutkan dalam kata lain bahwa, oleh karena orang Maluku ‘tidak terwakili’ (unrepresented) secara sah dalam Kongres Pemuda II (kedua), maka orang Maluku tidak terikat pada Putusan Kongres Pemuda II (kedua) apapun namanya, entah itu ‘Putusan Kongres’ atau ‘Sumpah Indonesia Raya’ atau ‘Sumpah Pemuda’. Sehingga tidak ada kewajiban moral maupun kewajiban hukum dalam bentuk apapun juga dari Putusan Kongres Pemuda II (kedua) yang dapat mengikat orang Maluku untuk tunduk pada Putusan Kongres Pemuda II (kedua) tersebut. Perihal ini harus dikatakan demikian sebab masih saja ada orang Maluku yang menundukan dirinya pada “PUTUSAN KONGRES PEMUDA-PEMUDA INDONESIA” yang “di-amini” dan yang “di-imani” sebagai “SUMPAH PEMUDA” dengan alasan, bahwa: “pelanggaran terhadap suatu SUMPAH adalah DOSA BESAR”.
Jika ditelaah dari sudut pandang fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, maka mulai dari sekarang ini, dan nanti seterusnya, Jika ada lagi orang Maluku yang menundukan dirinya pada “PUTUSAN KONGRES PEMUDA II”, maka itu bukan lagi “DOSA BESAR” tetapi itu adalah: “KEBODOHAN TERBESAR”. Dalam hubungan dengan perihal ini juga, pertanyaan substantive yang belum terjawab hingga saat ini – dan mungkin juga tidak akan pernah terjawab untuk selamanya – adalah: “Siapakah yang telah melakukan perbuatan tidak bertanggungjawab dengan merekayasa ditempatkannya Jong Ambon dalam Kongres Pemuda II (kedua), sementara faktanya tidaklah demikian?”.
Tragedi Sumpah Pemuda
Sebagaimana diberitakan dalam halaman 1 (satu) dan halaman 7 (tujuh) dari surat khabar harian umum RAKYAT MALUKU edisi hari Kamis, tanggal 29 Oktober 2015, bahwa, pada kegiatan upacara perayaan hari Sumpah Pemuda yang ke 87 (delapan puluh tujuh), hari Rabu, tanggal 28 Oktober 2015, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Propinsi Maluku (PROMAL) yang diketuai oleh Victor Peilouw, melakukan revitalisasi Sumpah Pemuda melalui ikrar Sumpah Pemuda Jilid II (kedua), yang berbunyi: “(1) Kami putera dan puteri Indonesia berjanji dengan segenap jiwa dan raga, tetap setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal Ika dalam bingkai ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI); (2) Kami putera dan puteri Indonesia berjanji dengan segenap jiwa dan raga, mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, demokratis, adil, makmur dan sejahtera; (3) Kami putera dan puteri Indonesia berjanji dengan segenap jiwa dan raga, membangun Indonesia dengan memuliakan lautnya, dan berdiri teguh di daratannya, dengan pembangunan yang berwawasan cinta lingkungan”.
Akan tetapi, kegiatan sebagaimana tersebut di atas kemudian dilaporkan ke ‘Kepolisian Daerah’ (POLDA) Maluku oleh Hamzah Sangadji dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua DPD KNPI PROMAL dengan tuduhan bahwa kegiatan tersebut adalah tidak sah karena dilakukan oleh DPD KNPI yang dibentuk secara ‘melanggar hukum’ (ilegal), sehingga kegiatan upacara revitalisasi Sumpah Pemuda dan/atau kegiatan upacara Sumpah Pemuda jilid II (kedua) itu adalah suatu kegiatan yang juga ‘tidak sah’ (ilegal). Hamzah Sangadji mengatakan bahwa, Victor Peilouw telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa penipuan, karena menggunakan atribut DPD KNPI dan mengaku sebagai Ketua DPD KNPI PROMAL.
Ferry Kasale dalam kedudukannya sebagai Wakil Ketua DPD KNPI PROMAL mengemukakan bahwa, Dr. Zeth Sahuburua, SH., MH., sebagai ‘Wakil Gubernur’ (WAGUB) PROMAL, dan Richard Louhenapessy, SH., sebagai Walikota Ambon harus bertanggungjawab kepada pemuda Maluku atas kehadiran ‘mereka’ (WAGUB PROMAL dan walikota Ambon) dalam pelaksanaan kegiatan upacara revitalisasi Sumpah Pemuda dan/atau kegiatan upacara Sumpah Pemuda jilid II (kedua) yang dilakukan oleh DPD KNPI ilegal tersebut. Sebab secara legalitas, DPD KNPI pimpinan Victor Peilouw tidak diakui sebagai pengurus DPD KNPI PROMAL oleh ‘Dewan Pimpinan Pusat’ (DPP) KNPI di Jakarta. DPP KNPI di Jakarta hanya mengakui DPD KNPI PROMAL yang diketuai oleh Bisri Assidiq Latuconsina dengan Anderson Parinussa sebagai Sekretaris DPD KNPI PROMAL yang legal. Bukti laporan polisi itu, dibawah nomor: LP-B/350/X/2015/SPKT POLDA Maluku.
Penulis menutup tulisan ini dengan suatu pertanyaan sederhana, jika “sumpah pemuda adalah suatu kebohongan besar” sebagaimana yang dinyatakan oleh sejarawan J. J. Rizal, maka layakkah/patutkah suatu “kebohongan besar (sumpah pemuda)” dirayakan???
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon
Discussion about this post