titastory.id,- Masyarakat suku Nualu kembali memprotes Pemerintah Daerah Maluku dan Maluku Tengah untuk mencabut izin Perusahan kayu PT. Bintang Lima Makmur (BLM) di Kawasan hutan mereka.
Ungkapan protes ini dilakukan dengan melayangkan surat terbuka kepada Gubernur Maluku, Irjen. Pol. Drs.Murad Ismail, S.H agar mencabut izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) perusahaan yang melakukan pengrusakan lingkungan. Salah satu perusahaan yang saat ini melakukan pengrusakan lingkungan dengan merambah hutan adat milik mereka adalah PT Bintang Lima Makmur (BLM).
Masyarakat kini hanya bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu datang akibat alam yang murka.
Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Nuaulu (HIPMAN), Vito Peirissa melalui rilisnya yang diterima redaksi koran ini, Rabu (15/4/2020) mengatakan, surat terbuka bukan saja ditujukan kepada Gubernur Maluku, namun juga ditujukan kepada Bupati Maluku Tengah, H. Tuasikal Abua, SH, DPRD Maluku Tengah dan DPRD Maluku.
Dalam pernyataannya Peirissa menyatakan, alam merupakan tempat hidup bagi manusia. Demikian juga dengan masyarakat adat Suku Nuaulu.
“Kami terlahir di alam dan bergantung pada alam, semua aktivitas kami, ritual adat dan agama kami semuanya bergantung pada alam,”ucapnya.
Masyarakat adat suku Nuaulu lanjut dia, sudah ada sejak beberapa abad silam. Ironisnya, budaya serta agama asli Maluku itu sendiri terancam punah. Pasalnya, alam sebagai tempat berlangsungnya segala ritual adat, kini telah dirusak dan terancam punah. Pengrusakan dilakukan oleh PT BLM yang mengantongi izin dari pemerintah.
Pemberian izin ini kata dia, sangat merugikan masyarakat dan mengancam eksistensi kelangsungan hidup masyarakat adat Nualu.
“Masyarakat Nuaulu merasa resah dan terancam dengan kehadiran PT. BLM yang beroperasi di hutan adat kami yang mengakibatkan longsor, rusaknya sumber mata air dan kelangsungan adat juga terancam karena alam kami sudah rusak,”tukasnya.
Dia menyebutkan, masyarakat adat telah berulangkali membuat penolakan, namun jerit tangis mereka tidak pernah digubris. Masyarakat suku Nuaulu juga hanya bisa memandang alat berat milik perusahaan yang masih terus bergerak merobohkan ratusan batang pohon di hutan mereka hingga saat ini.
“Sudah berulang kali kami membuat penolakan namun suara jerit tangis kami tidak digubris. Berbagai cara sudah kami tempuh namun letak keadilan itu hanya berada pada orang-orang yang punya uang dan jabatan,”keluhnya.
Dengan bergantinya pemimpin Maluku, mereka berharap jeritan hati mereka dapat diperhatikan.
“Kami yakin dengan sungguh bahwa bapak-bapak adalah orang-orang yang peduli dengan keadilan, terutama keadilan atas nama adat di Maluku. Kami Masyarakat adat suku Nuaulu meminta dan memohon agar bapak-bapak pemimpin tidak menutup mata serta mencanut Izin HPH dan menindak tegas oknum terkait dalam pengrusakan di hutan adat suku Nuaulu yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta terancam kelangsungan adat kami,”pungkasnya.
Sementara itu, dari hasil analisis bencana Kementerian Lingkungan hidup, tanah di Pulau Seram sangat renggang dan rawan longsor. Menurut peta bencana yang di terbitkan oleh badan Geologi, daerah di sebelah Barat areal HPH mempunyai potensi Bencana Tinggi.
Selain itu, secara sosio-historis areal di dalam konsesi HPH Bintang lima Makmur terdapat kampung tua Orang Nuahatan (Nuaulu) dan beberapa kampung marga dari marga-marga yang ada di Sepa.
Peraturan yang mengatur bidang kehutanan di Indonesia, dinilai sama sekali tidak menghargai masyarakat yang sudah ada sejak dulu menjaga hutan. Hal ini terlihat dari proses perizinan yang tidak melibatkan masyarakat adat setempat. Perizinan dikeluarkan langsung oleh menteri Kehutanan.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menyebutkan, warga adat Suku Nuaulu sejak lahir sampai meninggal dunia sangat bergantung dengan hutan. Ritual adat semasa hidup seperti proses melahirkan, upacara Numanuhune saat anak sudah lahir dan bersama ibunya hendak memasuki rumah adat, membutuhkan hewan-hewan, kayu tertentu, bumbu, sayuran serta getah damar, Semua itu berada di dalam hutan yang saat ini dihancurkan oleh PT BLM. Bahkan pakaian dari kulit kayu (salawaku), tifa pun bahannya ada di hutan.
Suku Nuaulu saat meninggal juga berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka tidak dimakamkan tetapi akan dibungkus dengan tikar, kemudian dibawa ke hutan diletakkan di atas tempat yang telah disediakan, kemudian dipagari setinggi dua meter dengan kayu dan bambu.
Hutan adat untuk pemakaman sangat khusus dan selama ini dilindungi Suku Nuaulu.
Jika hutan adat Nuaulu habis ditebang oleh PT BLM, Suku Nuaulu tidak bisa lagi melaksanakan ritual-ritual dalam kehidupan mereka, hal inilah yang menjadi alasan kuat Suku Nuaulu menolak ekspansi PT BLM tersebut.
Ada 14 utusan marga-marga yang mendukung penolakan terhadap aktivitas PT BLM, yaitu Matoke Numanatu, Matoke Tunpusa, Sounawe Aipura, Sounawe Ainakahata, Soumori, Kamama, Masone Soumori, Paona Kamama, Neipany Yaiyo, Neipany Marete Naine, Nahatue, Pia, Sopanan, Numanaite, Peinisa dan Huni. (TS-01)
Discussion about this post