Dobo, Kepulauan Aru — Masyarakat Kepulauan Aru menuntut pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Maluku segera bertindak tegas terhadap maraknya kapal nelayan berkapasitas besar yang beroperasi di perairan Laut Arafura. Desakan ini muncul akibat dugaan penggunaan alat tangkap terlarang jenis pukat harimau (trawl) oleh kapal-kapal berukuran di atas 30 GT (Gross Tonnage) yang dinilai merusak ekosistem laut dan mengancam kehidupan ribuan nelayan tradisional.
Warga pesisir menilai praktik penangkapan ikan dengan trawl merupakan bencana ekologis yang terjadi di depan mata.
“Setiap tahun, laut kami makin sepi ikan. Kapal-kapal besar itu datang dengan jaring baja yang mengeruk semuanya sampai ke dasar,” kata salah satu tokoh masyarakat nelayan di Dobo.

Penggunaan trawl, menurut mereka, menghancurkan habitat dasar laut yang menjadi tempat bertelur dan berkembang biak ikan, udang, dan biota laut lainnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa mempercepat krisis ekonomi nelayan lokal yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan tradisional.
Selain itu, warga menilai kebijakan pemerintah selama ini lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dan investasi skala besar dibandingkan dengan perlindungan sumber daya alam dan keberlanjutan masyarakat pesisir.
Desakan Penegakan Hukum dan Kajian Izin
Dalam tuntutannya, masyarakat Aru meminta agar seluruh izin kapal penangkap ikan di Laut Arafura dievaluasi secara menyeluruh dan setiap penerbitan izin baru wajib disertai kajian ekologis serta pengawasan ketat di lapangan.
“Sudah waktunya pemerintah tidak hanya berbicara tentang pertumbuhan ekonomi kelautan, tetapi juga soal keberlanjutan dan keadilan ekologis,” tegas perwakilan kelompok nelayan.
Desakan warga ini berlandaskan UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi tanggung jawab pengawasan laut kepada pemerintah pusat dan provinsi.
Laut Arafura Bukan Sekadar Ruang Ekonomi
Bagi masyarakat Aru, Laut Arafura bukan hanya kawasan tangkap ikan, melainkan ruang hidup dan ruang budaya.Laut menjadi bagian dari identitas sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.
Melalui kampanye #SaveLautKepulauanAru dan #SuaraRakyatAru, masyarakat meminta negara hadir bukan sebagai regulator yang memberi izin semata, melainkan sebagai pelindung laut yang menjamin kelestarian sumber daya dan kesejahteraan generasi mendatang.
“Kami hanya ingin laut tetap hidup agar anak cucu masih bisa melaut di sini,” ujar seorang nelayan muda di Desa Benjina.
Kini, bola tanggung jawab ada di tangan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Maluku: apakah akan mendengar suara rakyat Aru atau membiarkan Laut Arafura terus digerogoti oleh pukat harimau dan kapal-kapal raksasa?
Penulis: Christin Pesiwarissa
