Jakarta, — Perwakilan Masyarakat Adat Yei dari Kabupaten Merauke, Papua Selatan, akan mendatangi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Mereka berencana melaporkan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM), perusahaan perkebunan tebu yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan hidup dan penyerobotan tanah adat di wilayah adat marga Kwipalo, Distrik Jagebob, Merauke.
Aksi ini dikawal oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dan jaringan advokasi lingkungan dalam payung Tim Advokasi Solidaritas Merauke.
“Tanah kami dibongkar dengan ekskavator dan buldoser tanpa izin. Mereka masuk begitu saja ke wilayah adat Kwipalo. Kami sudah somasi, tapi perusahaan tetap melanjutkan aktivitasnya,” ujar Vincen Kwipalo, tokoh Masyarakat Adat Yei yang menjadi pelapor utama, dalam rilisnya di sosial media, Senin (3/11).

Dugaan Pelanggaran dan Somasi yang Diabaikan
Kasus ini berawal pada September 2025, ketika alat berat milik PT MNM disebut masuk ke wilayah adat marga Kwipalo untuk membangun jalan akses perkebunan tebu.
Menurut Vincen, pekerjaan tersebut dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahului, dan terinformasi (Free, Prior and Informed Consent / FPIC) dari masyarakat adat setempat.
“Kami sudah kirim somasi resmi ke perusahaan, tapi mereka tidak menghentikan kegiatan. Sekarang kami bawa kasus ini ke polisi agar ada penegakan hukum,” ujarnya.
Vincen menilai tindakan perusahaan itu melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Cipta Kerja, yang mewajibkan setiap pelaku usaha memperoleh izin lingkungan sebelum membuka lahan baru.
Selain membuka jalan tanpa izin, perusahaan disebut telah merusak vegetasi hutan sagu dan rawa-rawa adat yang selama ini menjadi sumber pangan dan ritual masyarakat Malind Anim di Kampung Blandin Kakayu.
“Perusahaan bilang mau tanam tebu, tapi yang terjadi justru tanah adat kami rusak dan hutan sagu digusur. Itu tempat hidup kami, bukan lahan kosong,” kata Vincen menegaskan.

Advokasi dan Tuntutan Hukum
Tim Advokasi Solidaritas Merauke menyatakan akan mengawal laporan ini hingga tuntas. Mereka menilai kasus PT MNM menjadi contoh nyata lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat di wilayah selatan Papua, di tengah ekspansi besar-besaran proyek perkebunan dan pangan skala industri.
Menurut tim advokasi, laporan ke Mabes Polri mencakup dua aspek:
- Tindak pidana lingkungan hidup, atas dugaan perusakan kawasan hutan dan lahan basah tanpa izin.
- Penyerobotan tanah adat, yang diatur dalam Pasal 385 KUHP dan pasal-pasal turunannya terkait hak milik ulayat.
“Kami ingin polisi melihat ini bukan hanya sebagai sengketa lahan, tetapi kejahatan terhadap lingkungan dan identitas budaya masyarakat adat,” ujar salah satu anggota tim advokasi yang mendampingi Vincen.
Aksi pelaporan di Mabes Polri dijadwalkan pukul 11.00 WIB dan akan dihadiri oleh sejumlah jaringan solidaritas dari Jakarta, Papua, dan lembaga masyarakat sipil nasional yang selama ini mendampingi kasus-kasus agraria di Papua Selatan.
Tim advokasi juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Komnas HAM untuk turun tangan mengawasi proses hukum dan memastikan tidak ada intimidasi terhadap masyarakat adat di Merauke.
“Kami tidak ingin kasus ini senasib dengan banyak laporan masyarakat adat lain yang berakhir tanpa kepastian hukum,” ujar Vincen.
Sumber berita: Citizen Jounalism dari akun facebook @Oktovianus_Yatipai
