KEP.ARU,- Masyarakat adat Marga Bothmir di Desa Marafenfen Kecamatan Aru Selatan Kabupaten Kepulauan Aru – Maluku akhirnya menempuh langkah hukum dengan menggugat Gubernur Maluku, TNI Angkatan Laut (AL) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Upaya ini ditempuh setelah perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak atas tanah yang diserobot oleh TNI Angkatan Laut untuk membangun lapangan terbang dan berbagai fasilitas lainnya tidak membuahkan hasil.
Gugatan telah diajukan ke Pengadilan Negeri Dobo beberapa waktu lalu. Surat gugatan ditandatangai tim pengacara Semuel Waileruny, Yustin Tuny, Korneles Latuny dan Lukas Waileruny.
“Didaftarkan dalam perkara Nomor 7/Pdt.G/2021/PN.Dob tanggal 31 Maret 2021, dengan para tergugat yakni TNI AL, Gubernur Maluku dan Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah seluas 689 HA sebagai objek sengketa,”ungkap Semuel Waileruny kepada media ini, kemarin.
Dalam gugatannya penggugat mendalilkan, bahwa pada tahun 1991 TNI AL telah masuk menguasai lahan disusul dengan diterbitkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 01/Marafenfen tanggal 13 Februari 1992.
Padahal pada wilayah itu awalnya masyarakat secara bebas melakukan kegiatan berkebun dan mengambil sarang burung walet, serta menjadi wilayah perburuan binatang liar (babi, rusa dan lainnya) untuk memenuhi kebutuhan ekonomi termasuk pendidikan anak-anak.
Kawasan itu juga menjadi tempat hidup satwa liar yang dilindungi seperti Burung Cendrawasih, Kaka Tua Jambul Kuning dan Kaka Tua Raja.
Setelah masuknya TNI Angkatan Laut tahun 1991, masyarakat tidak lagi bisa berakses dilahan tersebut. Pihak TNI AL telah membuat sertifikat yang didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 tanggal 22 Januari 1992, yang menjadi lampiran surat TNI AL kepada KOMNAS HAM Perwakilan Maluku.
Pada surat TNI AL kepada KOMNAS HAM, dicantumkan sejumlah nama warga Desa Marafenfen yang seakan-akan hadir dalam musyawarah untuk pelepasan tanah kepada TNI AL pada masa itu.
“Setelah nama-nama tersebut diteliti, ternyata ditemukan 1 nama yang orangnya mengalami gangguan ingatan sejak lahir, 1 nama yang orangnya tidak pernah lahir, terdapat 8 nama yang orangnya atau orang tuanya telah lama meninggalkan Desa Marafenfen sejak puluhan tahun, terdapat 6 nama yang masih anak-anak (di bawah umur), terdapat 6 nama warga pendatang yang tidak berhak atas tanah, terdapat nama yang disebut sebagai tokoh masyarakat namun yang bersangkutan bukan tokoh masyarakat, dan berbagai kejanggalan lainnya,”ungkapnya
Waileruny mengungkapkan, tindakan ini sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh TNI AL, Gubernur Maluku dan Badan Pertanahan.
Selain itu, pada Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 tanggal 22 Januari 1992 yang menjadi dasar diterbitkannya Sertifikat Hak Pakai, pihaknya menemukan perbedaan luas lahan.
Dalam SK Gubernur tercantum luas tanah 650 Ha, namun pada Sertifikat Hak Pakai tersebut ditentukan luas tanah 689 Ha, sehingga Sertifikat Hak Pakai yang diterbitkan oleh BPN tidak memiliki dasar hukumnya pada Keputusan Gubernur Maluku.
Dalam gugatannya, penggugat juga berpendapat, seharusnya, TNI AL, Gubernur Maluku dan BPN menghargai hak-hak masyarakat adat sebagaimana ditentukan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013, bahwa tidak ada tanah negara dalam wilayah masyarakat adat.
Walaupun putusan MK baru terbit pada tahun 2013, namun jiwa dan semangat untuk menghargai hukum adat masyarakat adat dengan hak-hak petuanan adatnya, telah ada jauh sebelum itu, yakni dengan berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960.
Pada bagian konsiderans UU tersebut menentukan ‘hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah’. Apalagi, masyarakat adat dengan hak-hak atas tanah petuanannya telah ada jauh sebelum adanya negara, dengan berbagai ketentuan yang diciptakan/ditentukan oleh Negara dengan berbagai lembaga Negara yang dibentuknya.
“Untuk itu, putusan Gubernur dan BPN yang mengandung unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut mesti dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum; sebagaimana ditentukan oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 03 PK/PDT/1984 Tahun 1984 yang kaidah hukumnya menentukan ‘Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Gubernur dan Dirjen Agraria, karena mengadung unsur-unsur yang melawan hukum, dinyatakan tidak berkekuatan hukum,”bebernya.
Dengan demikian, Waileruny menegaskan, objek sengketa (tanah) mesti dikembalikan pada keadaan semula dan harus diserahkan kepada Penggugat; sesuai yurisprudensi MARI Nomor 684 K/Sip/1982 tahun 1982. Berdasarkan dalil gugatan itu, maka pada bagian petitum, meeka menuntut agar TNI AL mesti keluar meninggalkan tanah tersebut dalam keadaan kosong dan mengembalikannya kepada Penggugat, serta membayar ganti rugi, baik kerugian material maupun immaterial.
Pada persidangan ini juga akan dihadirkan saksi-saksi ahli yang akan disiarkan secara live, sebagai bentuk pembelajaran yang sangat berharga.
Penggugat melalui Pengacara juga mohon dukungan doa dari masyarakat luas terhadap proses persidangan ini, sehingga tidak akan terjadi berbagai intimidasi kepada masyarakat, dan agar Majelis Hakim yang menangani perkara ini dapat memutuskan yang adil sesuai permintaan masyarakat. (redaksi titastory.id)
Discussion about this post