titaStory.id, ambon – Masyarakat Adat di Indonesia berada dalam titik kritis. Selama 1 dekade belakangan, telah terjadi perampasan wilayah adat sebesar 8,5 juta hektar dan 678 orang mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Aturan terkait Masyarakat Adat tidak lengkap, tidak tepat, tumpang tindih serta tersebar dan bersifat parsial di beberapa peraturan sektoral seperti Kehutanan, Konservasi, agraria dan lainnya telah menjadi penyebab dari tidak terlindunginya Masyarakat Adat.
Situasi ini telah menjadi ironi karena konstitusi dan berbagai instrumen hukum tentang hak hak asasi manusia menempatkan Masyarakat Adat sebagai kelompok yang identitas dan hak-hak tradisionalnya harus diakui dan dihormati; dan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menghormati dan melindungi Masyarakat Adat.
Negara telah menjadikan Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang mengatur khusus Masyarakat Adat dan tanggung jawab negara terhadap Masyarakat Adat sebagai sekadar rangkaian kata tak bermakna. Negara telah secara sadar bersikap diam dan mengabaikan serta mengambil jalan menundanunda kewajibannya untuk melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya. Berlarut larutnya pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang adalah bukti yang tidak terbantahkan. Pengakuan negara adalah tuntutan yang sejak lama disuarakan oleh Masyarakat Adat. Dan sejak tahun 2009, AMAN sebagai organisasi yang beranggotakan komunitas-komunitas Masyarakat Adat telah melakukan berbagai upaya termasuk berdialog dengan negara agar segera membentuk UU Masyarakat Adat sebagai upaya untuk merealisasikan tuntutan pengakuan dan perlindungan negara terhadap Masyarakat Adat.
Setelah 15 tahun, sejak 2009 UU Masyarakat Adat tidak kunjung ditetapkan menjadi UU, AMAN dan komunitas Masyarakat Adat memilih untuk menggugat Presiden dan DPR RI karena dianggap tidak melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945 untuk membentuk UU, dalam hal ini UU Masyarakat Adat. Gugatan ini dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan ini bertujuan agar DPR RI dan Presiden RI melaksanakan kewajibannya memberikan pengakuan dan perlindungan nyata terhadap Masyarakat Adat.
“Apa artinya situasi yang terjadi saat ini? Kami (Masyarakat Adat) terusir dan tersingkir dari tanah leluhur yang diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh sebelum negara ini terbentuk. Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap kami,” tegas Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),satu dari 8 penggugat lainnya yang berasal dari komunitas Masyarakat Adat di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bersama, proses gugatan Masyarakat Adat kepada DPR RI dan Presiden RI untuk segera membentuk Undang-Undang Masyarakat Adat telah memasuki tahapan pembuktian. Untuk keperluan tahapan ini, dihadirkan bukti surat, saksi fakta dan juga keterangan ahli dari semua pihak untuk didengar oleh Majelis Hakim. Sebagai pihak Penggugat, selain AMAN, permohonan gugatan berasal dari komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai, Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, dan Masyarakat Adat O Hongana Manyawa, Halmahera. Sedangkan saksi fakta berasal Masyarakat Adat Dayak Iban, Semunying Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat; perwakilan komunitas Dayak Tomun, Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah; Perwakilan Masyarakat Adat Rendubutowe, Nagekeo NTT; perwakilan Masyarakat Adat dari Manggarai, NTT; dan pendamping komunitas Masyarakat Adat O Hongana Manyawa Tobelo Dalam dari Maluku Utara.
“Apa yang kami alami, lihat, dengar dan ketahui sebagai saksi penting untuk didengar di muka persidangan serta publik agar semua pihak mengetahui dan memahami bahwa konteks Masyarakat Adat bukanlah perihal sederhana. Mengakui atau menghormati Masyarakat Adat bukan saja sekedar menghargai tarian, makanan, motif pakaian. Tidak juga dengan menggunakan pakaian-pakaian adat dalam upacara kenegaraan semata. Lebih dalam dari itu, yang kami tuntut dan yang seharusnya dilakukan negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat termasuk diantaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri. Pengakuan dan perlindungan ini tidak saja untuk keberlangsungan hidup kami sebagai Masyarakat Adat, tetapi juga menyangkut masa depan Indonesia yang beragam,” jelas Rukka Sombolinggi.
Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince, seorang perempuan pejuang hak Masyarakat Adat dari Rendubutowe, Nagekeo NTT, menceritakan bagaimana dirinya mengalami tindakan represif aparat dan sempat diborgol ketika dirinya dan puluhan perempuan adat mencoba mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional berupa pembangunan waduk. Dirinya sama sekali tidak menolak insiatif pembangunan pemerintah tersebut, akan tetapi lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dampak dan kepastian hidup mereka.
“Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami. Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan menjadi pusat kehidupan tiap-tiap orang,” ujar Mama Mince.
Serupa dengan Mama Mince, saksi fakta lainnya yaitu Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah, menceritakan bagaimana dirinya ditahan paksa dengan pengerahan pihak aparat secara berlebihan. Penahanan ini pun dilakukan dengan cara melawan prosedur penangkapan dan penahanan. Dirinya menjadi target penangkapan aparat atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya menjabat sebagai kepala desa.
“Tanah merupakan Ibu bagi kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?,” tanya effendi Buhing.
Persoalan mendasar Masyarakat Adat sebenarnya menjadi perhatian AMAN sejak lama. AMAN sendiri dideklarasikan oleh perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh nusantara pada tahun 1999, salah satunya dilatari oleh kegelisahan terhadap perampasan wilayah-wilayah adat yang luas dan disertai dengan kekerasan negara. Sejak lama pula disadari bahwa salah satu penyebab utama dari hal tersebut adalah ketiadaan payung hukum yang mengakui dan melindungi Masyarakat Adat secara menyeluruh.
“Desakan agar negara membentuk UU Masyarakat Adat bukanlah terjadi secara tiba-tiba. Sejak 1999 AMAN telah bersuara dan mencoba melakukan edukasi melalui berbagai dialog kepada institusi-institusi negara adan kepada publik. Yang terjadi justru janji politik yang tak kunjung ditepati,” ungkap Abdon Nababan, mantan Sekretaris Pelaksana AMAN periode 1999-2003 dan Sekretaris Jenderal AMAN periode 2007-2017.
Di dalam paparannya, Abdon menjelaskan bagaimana sejarah, latar belakang dan proses upaya legislasi agar undang-undang Masyarakat Adat nyata terbentuk. Proses dialog, lobi, penelitian dan bahkan uji publik, pengujian hukum dan masukan di dalam visi misi calon Presiden pada saat kontestasi Pilpres telah dilakukan untuk memperlihatkan bahwa ada kebutuhan mendesak agar undang-undang Masyarakat Adat segera dibentuk. Namun upaya tersebut selalu mandeg, atau dapat dikatakan gagal, karena sebagai rancangan undang-undang yang telah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) tidak pernah dibahas bersama antara DPR RI dan Presiden RI.
“Kerugian yang dialami Masyarakat Adat tidak hanya terkait tanah dan ruang hidup, bahkan kadangkala berdampak terhadap hilangnya nyawa. Kami ada tapi seolah-olah tidak ada,” ujarnya.
Fatiatulo Lazira dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku kuasa hukum para Penggugat menambahkan pentingnya membangun kesadaran bersama dalam memandang kompleksitas persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat dan urgensi pembentukan UU Masyarakat Adat.
“Perampasan wilayah, kriminalisasi, diskriminasi serta hal lain yang dilarang oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia namun terjadi pada Masyarakat Adat merupakan bentuk pengingkaran negara atas filosofi dasar terbentuknya sebuah negara, yaitu untuk mensejahterakan setiap warga negaranya. Kesejahteraan tidak harus selalu dipandang dari aspek ekonomi saja, lebih penting dari itu yaitu terpenuhinya hak bagi pengakuan dan perlindungan bagi mereka. Barulah dapat dikatakan bahwa Negara hadir bagi mereka,” pungkas Fati. (TS 01)
Discussion about this post