Jakarta,— Maluku berada di titik krusial. Di tengah meningkatnya tensi geopolitik Indo-Pasifik dan penguatan kerja sama keamanan Indonesia–Australia, wilayah ini seharusnya tampil sebagai pemain strategis. Namun ironisnya, di saat peluang kerja sama terbuka, negara justru memangkas Dana Transfer ke Daerah (TKD)—mengancam kemampuan Maluku mengelola wilayah kepulauan yang kompleks.
Dalam diskusi yang digelar DPW Keluarga Besar Pelaku Usaha Muslim Provinsi Maluku di Ambon, Direktur Archipelago Foundation Engelina Pattiasina menegaskan bahwa posisi geografis Maluku adalah aset nasional, tetapi tidak diikuti oleh kebijakan anggaran yang adil.
“Posisi Maluku strategis sebagai pintu Indonesia ke Australia. Tetapi tanpa visi dan kebijakan anggaran yang berpihak, Maluku hanya menjadi daerah perlintasan, bukan pusat pertumbuhan,”tegas Engelina, saat menjadi salah satu narasumber dalam diskusi via daring, Rabu, (19/11/2025).
Dinamika Indo-Pasifik: Maluku Harus Ambil Peran
Kerja sama keamanan yang diumumkan Presiden Prabowo di atas HMAS Canberra pada 12 November 2025 menandai babak baru hubungan strategis Indonesia–Australia. Dalam konteks ini, Maluku memegang posisi vital—baik secara militer, navigasi, maupun perdagangan lintas batas.
Engelina mengingatkan bahwa dalam sejarah Perang Dunia II, wilayah timur Indonesia—termasuk Maluku—menjadi pangkalan strategis untuk operasi Pasifik.
“Dengan tensi Indo-Pasifik dan Laut Cina Selatan yang fluktuatif, posisi Maluku sangat menentukan. Kerja sama keamanan seharusnya dibaca sebagai peluang ekonomi, pendidikan, dan perdagangan,” tambah ekonom asal Maluku.
Namun, peluang itu sulit dimaksimalkan jika negara terus menempatkan Maluku sebagai “wilayah yang jauh” alih-alih pusat kepentingan nasional.
Pemotongan Dana Transfer: Ketidakadilan Struktural bagi Maluku
Isu terberat adalah pemotongan TKD. Engelina dengan tegas menyebut pemangkasan itu sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang berlangsung bertahun-tahun.
“Formula DAU selama ini tidak adil. Hanya mempertimbangkan jumlah penduduk dan luas daratan, mengabaikan geografi, pulau-pulau kecil, dan mahalnya biaya logistik. Ini sangat merugikan Maluku,” Pungkas-Nya
Negara kepulauan seperti Maluku memerlukan biaya operasional jauh lebih tinggi dibanding provinsi kontinental. Namun alokasi anggaran nasional tidak mencerminkan realitas tersebut.
Formula DAU yang digunakan Indonesia dianggap “berlogika Jawa”—berpihak pada wilayah padat penduduk, bukan wilayah berciri kepulauan.
Ketidaklogisan Negara: Daerah Kaya Sumber Daya, Tapi Disuruh Meminjam
Engelina juga mengkritik kebijakan pemerintah yang mendorong daerah mengambil pinjaman, padahal sumber-sumber kekayaan alam disedot ke pusat.
“Kekayaan dari daerah dikumpulkan di pusat, lalu daerah diminta meminjam uangnya sendiri. Kalau memang ada dananya, mengapa tidak langsung dipakai untuk membangun daerah?” tanya Engelina.
Model kebijakan ini, menurutnya, menciptakan lingkaran ketergantungan dan memperlebar jurang ketimpangan kawasan.
Engelina menegaskan bahwa perjuangan belum selesai. Perubahan formula DAU harus menjadi agenda kolektif pemerintah daerah, DPRD, hingga wakil-wakil Maluku di Senayan.
“Ini bukan sekadar angka anggaran. Ini soal keadilan. Soal masa depan Maluku sebagai wilayah strategis dan berdaulat dalam struktur NKRI.”
