titastory, Makassar – Puluhan mahasiswa asal Papua bersama Solidaritas Rakyat Makassar Peduli Raja Ampat menggelar aksi demonstrasi menolak seluruh bentuk investasi pertambangan di tanah Papua. Aksi digelar di ruas Jalan Flyover Makassar, Jumat (27/6/2025), sejak pukul 14.15 hingga 17.00 WITA.
Dalam orasinya, massa aksi menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang dinilai merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Mereka secara khusus menyoroti keberadaan PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dinilai sebagai simbol kehadiran negara dalam proyek perusakan lingkungan.

“Papua bukan rumah bagi investor asing. Perusahaan yang merusak lingkungan harus angkat kaki. Hak masyarakat Raja Ampat harus dikembalikan,” teriak peserta aksi dalam orasi yang berlangsung damai.
Koordinator aksi, Wiani Kogoya, dalam siaran pers menyebutkan bahwa negara menjadi aktor utama di balik perlindungan terhadap PT Gag Nikel. Sebab, mayoritas saham perusahaan tersebut dikuasai oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM), anak usaha Holding BUMN pertambangan MIND ID.
“Dengan kepemilikan saham mayoritas oleh ANTAM, maka PT Gag Nikel bukan perusahaan swasta murni. Negara berada di belakangnya,” ujar Wiani.
Menurutnya, proyek strategis nasional (PSN) yang membawa semangat hilirisasi tambang, khususnya nikel, telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan penderitaan bagi masyarakat lokal. Hal itu terjadi sejak era Presiden Joko Widodo dan berlanjut di pemerintahan saat ini.

Wiani menambahkan, keberadaan PT Gag Nikel merupakan bentuk kelalaian negara dalam melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diamanatkan undang-undang.
“Rusaknya pesisir dan pulau kecil akibat aktivitas pertambangan menandakan buruknya tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh negara,” katanya.
Ia menegaskan, perusahaan tambang seperti PT Gag Nikel semestinya diproses secara hukum berdasarkan Pasal 73 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014.
“Dalam ketentuan itu jelas disebutkan sanksi bagi aktivitas pertambangan yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan berdampak terhadap masyarakat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Wiani menegaskan bahwa dari perspektif hukum lingkungan, aktivitas tambang termasuk dalam kategori kegiatan berbahaya (abnormally dangerous activity) dan seharusnya dilarang.
“Kegiatan semacam itu mengancam kehidupan manusia dan seluruh ekosistem. Negara seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada korporasi,” pungkasnya.
Penulis: Johan Djamanmona