TITASTORY.ID, – Rencananya, dalam waktu dekat gelar Upu Latu dan Ina Latu Nunusaku akan diberikan kepada Gubernur Maluku dan istrinya oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan raja-raja se Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB)
Terhadap hal tersebut, Mahasiswa SBB yang mendiami kawasan Djabodetabek yang tergabung dalam Paguyuban Saka Mese Nusa Student Association pun beraksi dan menolak tegas rencana tersebut.
Christina Rumahlatu koordinator rencana aksi kepada media ini belum lama ini menekankan, pemberian gelar adat kepada Gubernur Maluku dan Istrinya diduga merupakan sebuah motif ketimpangan relasi kuasa untuk melakukan penyimpangan- penyimpangan manipulatif atas nama masyarakat adat Seram Bagian Barat untuk kepentingan politik praktis 2024
Dijelaskan, esensi dalam pemberian gelar Ini yang tidak pernah dijawab secara komprehensif sebagai sistem nilai dan prinsip-prinsip baik secara filosofis, yuridis maupun secara sosiologis. Namun hanyalah sebuah trik dari segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat SBB.
“Hajatan adat ini tidak pernah melibatkan secara menyeluruh raja atau Kepala Desa adat baik yang berkedudukan di Aer Tala, Aer Eti Maupun di Aer Sapalewa, sehingga pratik ini merupakan tindakan kebiadaban yang tidak menghargai dan mencederai kedudukan adat tiga batang air,” terang Rumahlatu.
Senada dengan itu, Muslim Lussy menilai Pengiringan rencana ini merupakan bukti nyata cara-cara eksploitasi adat untuk melemahkan posisi masyarakat adat di tengah praktik-praktik hegemoni ekonomi ekstraktif kapitalisme yang hari ini tengah menggerogoti sistem ekonomi masyarakat adat Seram Bagian Barat.
Maka kami Mahasiswa SBB Jabodetabek menolak untuk pemberian gelar adat yang tanpa pertanggung jawaban secara jelas. Apalagi kepada pejabat publik yang nyata-nyata terkontaminasi dengan sistem kapitalisme yang sudah barang tentu menggunakan semangat Noumenalism atau semangat penjajahan tatanan uang, penjajahan tatanan modal dan sudah pasti akan berdampak fatal bagi masyarakat adat di Kabupaten SBB.
“Kami menilai mahasiswa menilai pemberian gelar ini sanggatlah paradox, dikasih sesuka hati berdasarkan keberpihakan politik, sementara pemerintahan SBB saat ini tidak mengakui eksistensi dari masyarakat adat yang ada di SBB. Kami menganggap pemberian gelar adat ini adalah bentuk pengiringan masyarakat adat untuk kepentingan politik praktis oleh kelompok tertentu.
Ketegasan ini juga muncul dari Glendy Somae, di mana dirinya meminta agar Kepala Desa yang mencoba bermain di tengah praktik-praktik politisasi gelar ini maka pihaknya tidak akan segan-segan melakukan kontrol atas anggaran-anggaran dan pendanaan dalam keuangan desa ditingkat pusat.
Untuk Kepala Desa diminta untuk jangan mencoba bermain api, dan dengan adat kita di Bumi Saka Mese Nusa “tutupnya seraya mengingatkan (TS 02)
Discussion about this post