titastory, Halmahera Timur — Puluhan warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur ditangkap secara paksa oleh aparat Kepolisian Daerah Maluku Utara pada Jumat, 16 Mei 2025. Penangkapan terjadi saat warga menggelar aksi protes terhadap PT Position, perusahaan tambang nikel yang disebut-sebut telah merusak hutan dan aliran sungai di kawasan adat mereka.
Aksi damai tersebut berubah menjadi tragedi ketika aparat—terdiri dari polisi berseragam, anggota Brimob, TNI, satpam, dan karyawan perusahaan—mengepung dan menangkap warga. Sebanyak 27 orang dibawa ke Markas Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Maluku Utara di Ternate. Tiga hari berselang, pada Senin (19/5), sebelas di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

“Ini adalah bentuk kriminalisasi brutal terhadap masyarakat adat yang sedang memperjuangkan ruang hidupnya,” kata Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara.
Menurut Julfikar, pihak kepolisian membangun narasi sesat dengan menyebut aksi warga sebagai tindakan premanisme. “Artinya, negara lewat tangan-tangan aparat telah mengubah posisi warga sebagai korban perampasan tanah menjadi pelaku kejahatan,” ujarnya.
Warga Maba Sangaji, kata Julfikar, sejak awal menolak kehadiran PT Position—anak usaha dari PT Harum Energy Tbk. Perusahaan dinilai telah mengkapling hutan adat tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat. Padahal, wilayah tersebut merupakan sumber kehidupan turun-temurun bagi warga adat.
“Di situ ada hutan pala, sungai, kebun, dan ruang budaya yang tak ternilai,” tutur Amin Yasim, salah satu warga yang ikut aksi.
Dalam catatan JATAM, aktivitas perusahaan yang belum genap lima tahun itu telah menyebabkan kerusakan pada Sungai Sangaji, serta sejumlah anak sungai seperti Kaplo, Tutungan, Semlowos, Sabaino, dan Miyen. Padahal sungai-sungai itu selama ratusan tahun menjadi sumber pangan dan protein alami bagi masyarakat, dari ikan hingga udang.
Tak hanya itu, pembukaan lahan tambang juga ditengarai sebagai pemicu meningkatnya banjir bandang yang menerjang kampung warga dan merusak kebun-kebun mereka.
Berdasarkan berbagai laporan warga, Kronologi penangkapan bermula pada Kamis, 15 Mei 2025, ketika sekitar 30 warga menuju lokasi tambang di hutan Maba Sangaji. Esok harinya, mereka bersama para pemangku adat menyampaikan penolakan langsung kepada pihak perusahaan. Sekitar pukul 12.00 WIT, aparat gabungan menangkap 27 warga dan menuduh mereka membawa senjata tajam serta melakukan aksi kekerasan.
Namun, menurut JATAM, tuduhan tersebut hanyalah upaya pengalihan isu. “Warga yang dituduh preman itu sebenarnya petani dan nelayan yang hidup dari tanah dan sungai. Justru mereka yang menjadi korban dari rusaknya alam akibat pertambangan,” kata Muh. Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan JATAM.
Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap warga Maba Sangaji, lanjut Jamil, adalah bentuk intimidasi sistemik terhadap perjuangan masyarakat adat di Maluku Utara.
Padahal, konstitusi menjamin hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alamnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Perlindungan hak atas lingkungan hidup juga dijamin dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tuntutan Warga dan JATAM:
1. Menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap warga Maba Sangaji.
2. Mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Position yang merusak lingkungan.
3. Membebaskan seluruh warga yang ditahan secara sewenang-wenang.
4. Mengusut secara independen tindakan represif aparat kepolisian yang melanggar prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.
“Aksi kami bukan tindakan kriminal, tapi bentuk sah pembelaan hak,” kata Amin Yasim. “Negara seharusnya melindungi kami, bukan justru memihak korporasi yang merampas tanah adat.”
Penulis : Redaksi
