titastory, Papua – Pegunungan Bintang yang biasanya menjadi simbol kedamaian kini tak lagi sama. Bagi masyarakat sipil yang terusir dari tanah mereka, Natal tahun ini kembali datang dalam bayang-bayang pengungsian. Rumah yang dulunya sederhana namun penuh tawa kini tinggal kenangan, tergantikan oleh tenda-tenda darurat dan udara dingin yang menyesakkan.
“Dahulu, rumah kami adalah sangkar kecil yang dirajut dengan kedamaian. Natal menjelma cahaya lilin yang berkedip malu-malu di tengah gelap, janji bahwa kehangatan tetap berdenyut meski malam menggigil,” tulis Andy Gym, seorang pegiat sosial, di laman Facebook TIMUR MATAHARI. Ungkapan itu menggambarkan betapa Natal dulu menjadi momen penuh makna bagi warga Pegunungan Bintang.
Namun, situasi kini jauh berbeda. “Kedamaian yang kami rajut dengan tangan sabar telah kau koyakkan hingga tercerai-berai, pecah seperti kaca yang tak lagi bisa direkatkan,” lanjutnya. Kekerasan dan konflik telah merenggut hak paling dasar: rumah sebagai tempat berlindung.
Masa Lalu yang Hilang
Pegunungan Bintang adalah tanah yang bernapas. Di sini, masyarakat hidup berdampingan dengan alam, menjaga keharmonisan di antara pohon-pohon dan sungai yang mengalir. Namun, kehadiran kekuatan bersenjata dengan dalih keamanan telah mengubah lanskap sosial. Rumah-rumah warga dijadikan panggung operasi, kebun-kebun mereka terbengkalai, dan kehidupan yang pernah damai kini berubah menjadi ketidakpastian yang mencekam.
“Kami bukan hanya kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan rasa aman. Anak-anak kami tidak lagi bermain dengan bebas, dan doa-doa kami kini dipenuhi permohonan agar besok kami masih bisa bertahan hidup,” tulis Andy Gym. Dalam setiap kalimatnya, tergambar rasa pedih atas apa yang terjadi di tanah leluhur.
Namun, di tengah keterpurukan, ada semangat yang tidak pernah padam. Andy menegaskan bahwa masyarakat Pegunungan Bintang bukanlah tanah tandus yang kosong. “Penindasanmu adalah api yang membakar nyala keberanian. Setiap luka yang kau tinggalkan, kami semai menjadi benih perlawanan,” ungkapnya.
Bagi Andy, perlawanan ini bukan tentang balas dendam, tetapi cara menjaga nilai-nilai yang coba dihancurkan. “Kata orang tua kami, tanah ini hidup, bernapas, dan tak akan tunduk pada rantai yang kau bawa untuk mengikat kebebasan kami,” lanjutnya.
Keyakinan ini sejalan dengan pemikiran Pramoedya Ananta Toer yang dikutip Andy: “Dengan melawan, kita tidak sepenuhnya kalah.” Dalam pandangan Andy, melawan adalah bentuk keberanian untuk mempertahankan kehidupan, meski dengan cara yang sederhana—dengan terus berharap dan menjaga semangat.
Natal di Tengah Pengungsian
Natal bagi mereka yang mengungsi bukan lagi tentang pohon terang atau kado di bawahnya. Lilin kecil yang berkedip dalam doa menjadi simbol harapan yang tetap dijaga.
“Lilin-lilin kecil ini adalah bukti bahwa meski kedamaian telah dirampas, kami tidak akan membiarkan cahaya itu padam. Natal bukan hanya tentang merayakan, tetapi tentang meyakini bahwa kehangatan akan kembali, bahwa kedamaian yang direnggut akan kami jemput lagi,” tulis Andy penuh haru.
Ia juga menyampaikan doa, bukan hanya untuk masyarakat yang terpaksa mengungsi, tetapi juga bagi mereka yang telah menyebabkan penderitaan ini. “Kami berdoa agar mereka yang menyakiti kami mengerti bahwa tanah ini bukan sekadar tempat. Tanah ini adalah jiwa kami, hidup kami, yang tidak bisa dipenjara.”
Lilin Harapan yang Tak Pernah Padam
Natal tahun ini kembali membawa kesadaran bahwa harapan tidak pernah benar-benar hilang. Dalam pengungsian, masyarakat Pegunungan Bintang terus bertahan, menyalakan lilin kecil dalam gelap yang panjang.
Andy Gym menutup tulisannya dengan sebuah ajakan: “Selamat Natal, dari kami yang mengungsi, untuk semua yang terus menjaga harapan. Mari kita terus menyalakan lilin-lilin kecil ini, agar dunia tahu bahwa kedamaian masih layak diperjuangkan.”
Di Pegunungan Bintang, lilin-lilin kecil itu tetap berkedip. Bukan hanya sebagai simbol Natal, tetapi juga sebagai nyala keberanian, semangat, dan harapan akan kedamaian yang suatu hari akan kembali. (TS-01)
Discussion about this post