Oleh: Sofyan Hattapayo
“Beta jaga laut, bukan jangkar yang bikin mati. Tehoru bukan tambang: karang seng tumbuh lagi kalau hancur.”
Itulah pernyataan sikap dari Isman Sumahe, nelayan asal Morotai yang sejak 2017 memilih menetap di pesisir Tehoru, Seram Selatan, dan Asnawir Bisuku, lelaki tua dari Pulau Run, Banda, yang hidupnya disandarkan sepenuhnya pada laut.
Mereka bukan aktivis. Mereka bukan ilmuwan. Tapi suara mereka memuat peringatan penting yang sayup-sayup mulai dilupakan: laut adalah hidup.
Isman menyelam hingga kedalaman 30 meter, memanah ikan di antara dinding karang yang curam. Asnawir menyusuri atol saat laut surut, berburu gurita di balik batu karang dan bangkai kapal yang kini jadi rumah biota laut. Tapi kini laut mulai berubah. Karang rusak. Ikan menjauh. Hati mereka penuh amarah, tapi suara mereka terlalu sering tak terdengar di gelombang kebijakan yang lebih memihak tongkang dan tambang ketimbang nelayan dan karang.
Bagi mereka, laut bukan sekadar bentang air asin di cakrawala, tapi halaman rumah, dapur hidup, dan warisan untuk anak cucu. Ketika kapal tongkang mulai datang dan jangkar-jangkar logam mencabik karang, bukan hanya ekosistem yang luka—tapi martabat hidup orang pesisir juga ikut remuk.
Cerita ini dimulai pada medio Agustus 2024 lalu, saat kapal. Ia membawa material batu picah dalam jumlah besar, tubuh besarnya membelah laut yang dulu tenang. Material ini merupakan galian C yang ditambang dari Negeri Laimu, Kecamatan Telutih. Tak ada yang benar-benar siap ketika kapal itu kandas di hamparan terumbu karang—sejengkal kehidupan bawah laut yang selama ini menjadi tumpuan nelayan.
Saya menyaksikan sendiri betapa peristiwa itu mengguncang bukan hanya ekosistem, tapi juga batin masyarakat pesisir. Warga Negeri Tehoru menyebut kawasan itu sebagai Waewalata, lokasi yang dulunya dikenal jernih dan kaya hayati. Kini satu hektare lebih terumbu karang di sana remuk, patah seperti tulang retak.
Isman Sumahe, nelayan yang merantau dari Morotai sejak 2017, menuturkan bahwa kini ia harus menyelam lebih dalam dari biasanya—hingga 30 meter—untuk mencari ikan. Tapi hasilnya semakin sedikit. “Sekarang cari ikan susah. Sudah mau habis semua. Karangnya rusak,” katanya dengan suara pelan.

Di sisi lain, Asnawir Bisuku (65), perantau dari Pulau Rum, Banda, menjejakkan dua dekade hidupnya sebagai petani dan nelayan. Setiap surut, ia menyusuri terumbu karang untuk mencari gurita. Laut adalah halaman dan sekolahnya.
Bagi masyarakat seperti Isman dan Asnawir Bisuku, laut bukan hanya sumber penghidupan. Ia adalah bagian dari tubuh dan jiwa mereka. Ketika laut rusak, mereka merasa kehilangan rumah.
Kunjungan awal April kemarin, harap dan risau tampak jelas di raut wajah mereka. Terumbu karang—yang dulu riuh warna dan penuh ikan—sekarang retak dan rusak karena kapal tongkang besar. “Laut terlalu indah untuk dibiarkan hancur,” kata Isman.

Di pesisir, tug boat “Buana Success 23” menarik tongkang raksasa, menancapkan jangkar besar ke dasar karang—bunyi “tang‑tang” nyaring, bak pukulan palu besi ke batu karang. Iring-iringan kapal itu bukan lagi kotak besi di laut, tapi pembawa malapetaka.
Kapal tongkang bukan sekali-dua kali melintas. Dalam seminggu bisa lebih dari lima kapal bersandar. Tak jarang, mereka menjatuhkan jangkar sembarangan. Suara besi menghantam dasar laut, “tang-tang!” seperti palu menghantam nisan. Terumbu karang yang terbentuk puluhan tahun seketika hancur dalam hitungan detik.
Kecelakaan paling parah terjadi awal Agustus 2024. Tongkang Golden Way 2520 asal Batam kandas menghancurkan satu hektar terumbu karang di Waewalata. Ketika laut pasang surut, jejak kerusakan tampak jelas—seolah samurai merobek permadani bawah laut yang dulu menawan.
Perubahan laut lain datang dari aktivitas lego jangkar kapal tongkang. Dalam seminggu bisa 5–10 tongkang singgah, menyisakan patah terumbu karang seperti tulang rusak. Isman mengaku sudah jarang dapat ikan, hingga mengalih kerja jadi kuli bangunan. “Abis mau beli minyak speedboat, dapat dari mana? Hasil laut sudah jauh berkurang,” katanya sederhana.
Saya berbincang dengan Jumat Silawane, Ketua Saniri Negeri Tehoru. Ia kecewa karena otoritas pelabuhan seperti lepas tangan. “Negeri ini terlalu terbuka, tapi siapa yang jaga laut kita?” tanyanya.
Silawane, geram atas lemahnya pengawasan dari otoritas pelabuhan. “Negeri Tehoru terlalu terbuka, sehingga karang hancur dan masyarakat resah,” katanya.
Sementara itu, Raja Negeri Tehoru, Hud Silawane, mengusulkan penerapan sasi laut—aturan adat yang melindungi wilayah perairan dari aktivitas merusak. Jika dijalankan, ia bisa menjadi bentuk perlindungan berbasis budaya yang selama ini diabaikan oleh sistem hukum formal.
Direktur Eksekutif Jala Ina, M. Yusuf Sangadji, menyatakan bahwa kerusakan itu lebih banyak disebabkan oleh aktivitas lego jangkar, bukan perubahan iklim saja. Ia menyarankan solusi mooring buoy: sistem tambatan kapal tanpa menjatuhkan jangkar, menjaga ekosistem masih hidup—“agar kapal bisa berlabuh tanpa harus buang jangkar.

Sangadji, menegaskan bahwa solusi konkret bisa dimulai dari pemasangan mooring buoy, sistem tambatan kapal yang tidak merusak dasar laut. Sayangnya, hingga hari ini belum ada inisiatif nyata dari pemerintah daerah maupun pemilik kapal.
“Pasang moring itu bisa dipake agar kapal bisa berlabuh tanpa harus buang jangkar,” jelasnya.
Nurlaila Sopamena dari LP2M UIN Amsa Ambon menuturkan pihaknya siap melakukan riset dan transplantasi karang. Ia mengajak kolaborasi antara peneliti, penyelam, dan masyarakat Tehoru.
“Kalau Negeri Tehoru mau, sisihkan sedikit untuk riset. Kolaborasi itu penting,” ujarnya.
Dosen di perguruan tinggi Islam Maluku itu menyampaikan saat ini sedang berkordinasi dengan sejumlah instruktur selam yang konsen monitoring ekologi terumbu karang supaya menyiapkan pelbagai hal sebelum melancong ke Seram Selatan.
Isman dan Asnawir seperti dua ikan yang menunggu ombak kembali membawa harapan. Mereka paham laut tak bisa bicara, tapi luka-lukanya nyata. Dan saat senja jatuh perlahan, cahaya keemasan menyapu permukaan air, memantulkan kisah luka yang belum pulih.
Laut Tehoru terlalu indah untuk rusak. Bila dijaga dengan sepenuh hati, ia bukan hanya menjadi ruang hidup, tapi juga masa depan pariwisata bahari Seram Selatan. Dari snorkeling, menyelam hingga mengayuh kayak di teluk yang tenang—Tehoru sejatinya adalah anugerah yang sedang menangis diam-diam.
Sebagai penulis yang lahir dari keluarga nelayan, saya merasakan betul getirnya kerusakan ini. Saya tumbuh dengan cerita laut yang jujur, tentang tangkapan ikan pertama, tentang keheningan menyelam, tentang kehidupan yang sederhana tapi penuh makna.
Kini, laut itu berubah. Ia tidak lagi membisikkan ketenangan, tetapi keluh. Luka di dasar laut adalah luka yang kami bawa pulang ke rumah. Sebab bagi kami, laut bukan sekadar bentang air biru—ia adalah warisan, ibu, dan halaman depan hidup kami.
Dan jika kita tidak mulai merawatnya hari ini, mungkin esok kita hanya akan tinggal cerita. Cerita tentang laut yang pernah hidup. Cerita yang tak lagi bisa diselami.
