Laporan Penyerobotan Lahan dan Penebangan Ilegal, Masyarakat Adat Waehata Adukan PT WWI ke Komnas HAM

13/01/2025
Perwakilan masyarakat adat, Mantokos Nurlatu dan Jalit Nurlatu, yang merupakan ahli waris hutan adat terlihat menyerahkan laporan dugaan penyerobotan lahan adat dan penebangan ilegal pohon damar (Agathis) serta meranti di kawasan hutan adat oleh Fery Tanaya, pemilik PT Waenibe Wood Industries (WWI) kepada Plt Ketua Komnas HAM Perwakilan Maluku, Djuliyati Toisuta. (Foto: titastory/Edison)

titastory, Ambon – Setelah melaporkan Fery Tanaya, pemilik PT Waenibe Wood Industries (WWI), Unit V, Subdit II Reskrimum Polda Maluku atas dugaan penyerobotan lahan adat dan penebangan ilegal pohon damar (Agathis) serta meranti di kawasan hutan adat , Kamis (9/1/2025) lalu, perwakilan masyarakat adat Desa Waehata, Pulau Buru, kembali mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Provinsi Maluku, Jumat (10/1).

Kedua perwakilan masyarakat adat, Mantokos Nurlatu dan Jalit Nurlatu, yang merupakan ahli waris hutan adat, meminta Komnas HAM menginvestigasi dugaan pelanggaran hak atas tanah adat yang telah mereka laporkan. Menurut mereka, PT WWI melakukan aktivitas penebangan tanpa persetujuan masyarakat adat, meski area tersebut telah lama dikelola oleh marga Nurlatu Kakunusa sebagai tanah ulayat.

“Kami datang ke Komnas HAM untuk mencari keadilan karena hutan adat kami dirusak tanpa izin. Pohon damar dan meranti yang menjadi sumber penghidupan keluarga kami ditebang habis oleh perusahaan,” ucap Mantokos saat dihadapan sejumlah petugas Komnas HAM Perwakilan Maluku.

Lanjutnya, selain mencari keadilan, kedatangan mereka ke Kantor Komnas HAM juga untuk mendapatkan perlindungan hukum dari Lembaga Negara ini.

“Kami ingin mencari perlindungan karena mereka punya uang dan kuasa. Jadi kami berinisiatif mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan hal ini,” Ungkapnya.

Perwakilan masyarakat adat, Mantokos Nurlatu dan Jalit Nurlatu, yang merupakan ahli waris hutan adat terlihat menyerahkan laporan dugaan penyerobotan lahan adat dan penebangan ilegal pohon damar (Agathis) serta meranti di kawasan hutan adat oleh Fery Tanaya, pemilik PT Waenibe Wood Industries (WWI) (Foto: titastory/Edison)

Laporan Dugaan Pelanggaran Hak Adat

Dalam laporan tersebut, masyarakat adat mengungkap bahwa aktivitas PT WWI telah merusak ekosistem hutan adat dan mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Jalit Nurlatu menjelaskan bahwa penebangan liar oleh perusahaan berlangsung sejak November 2024. Selain itu, upaya masyarakat adat untuk menghentikan aktivitas perusahaan melalui sasi adat tak dihiraukan.

“Kami sudah menggelar sasi adat, tetapi perusahaan tetap melanjutkan penebangan. Ini bukan sekadar perusakan lingkungan, tetapi juga ancaman terhadap warisan leluhur kami,” tambah Jalit.

Kondisi pepohonan yang ditebang di lahan masyarakat adat marga Nurlatu di Desa Waehata, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru. Lokasi ini diduga diserobot oleh perusahaan PT WWI milik Fery Tanaya. (Foto: Ist)

Pelaksana Harian (Plh) Komnas HAM Perwakilan Maluku, Djuliyati Toisuta, menerima laporan tersebut dan berjanji akan segera melakukan langkah investigasi. “Kami memandang ini sebagai persoalan serius. Dugaan pelanggaran hak tanah adat harus direspons cepat untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan,” ujar Djuliyati.

Toisuta menegaskan bahwa hak masyarakat adat dijamin oleh sejumlah regulasi nasional, termasuk UUD 1945, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Meski demikian, implementasi perlindungan terhadap masyarakat adat kerap terhambat oleh kepentingan perusahaan besar dan lemahnya pengawasan pemerintah daerah.

“Kami akan meminta klarifikasi dari pihak perusahaan terkait dugaan penyerobotan ini, sekaligus memastikan proses hukum berjalan transparan,” ujar Djuliyati.

Pelaksana Harian (Plh) Ketua Komnas HAM Perwakilan Maluku, Djuliyati Toisuta (tengah) didampingi dua orang staf dari Komnas Perwakilan Maluku. (Foto: titastory/Edison)

Aktivitas perusahaan yang terus berlangsung dikhawatirkan memperparah kerusakan lingkungan di kawasan hutan adat. Selain kehilangan sumber ekonomi dari getah damar, masyarakat adat juga terancam oleh potensi erosi dan berkurangnya pasokan air bersih akibat kerusakan ekosistem.

“Kami hanya ingin hutan adat kami tetap ada untuk anak cucu. Itu hak kami sebagai masyarakat adat,” tegas Mantokos Nurlatu.

Langkah hukum ini menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Desa Waehata untuk melindungi tanah leluhur mereka. Meski menghadapi tekanan dari pihak perusahaan, mereka optimis bahwa perjuangan ini akan membuahkan hasil.

Komnas HAM berencana melakukan kunjungan lapangan ke lokasi dalam waktu dekat untuk memastikan fakta di lapangan sekaligus menyusun rekomendasi kepada pemerintah daerah terkait penyelesaian kasus ini.

Pelanggaran Terhadap Hak Adat dan Situs Sakral

Sementara itu kepada titastory, Titi Nurlatu, Kepala Soa sekaligus ahli waris lahan adat Kakunusa, menyatakan bahwa pihaknya resmi melaporkan Fery Tanaya atas tindakan penyerobotan lahan adat dengan penggusuran tanaman damar (Agathis) sebanyak 100 pohon, dua pohon durian, dan 20 pohon pinang di wilayah adat mereka.

“Ironisnya, bukan hanya itu, PT WWI juga menggusur dua tempat sakral (keramat) dan menebang pohon meranti serta kayu campuran lainnya. Tindakan ini jelas tidak menghargai nilai-nilai budaya adat masyarakat Pulau Buru,” ujar Titi dengan nada kesal di Ambon.

Titi Nurlatu, Kepala Soa sekaligus ahli waris lahan adat Kakunusa. (Foto: titastory/Christ)

Titi menambahkan bahwa PT WWI menjalankan operasinya tanpa sepengetahuan masyarakat adat. “Kami tidak pernah diberi informasi tentang perizinan perusahaan ini. Sebagai Kepala Soa Waetemun Kakunusa, saya tidak tahu menahu soal pembebasan lahan. Kami menganggap perusahaan ini merampok dan mencuri hak-hak adat kami. Kami akan terus melawan,” tegasnya.

 

Menurut laporan, wilayah hutan adat yang terdampak mencakup area Sagmese, Senusa Merapa, hingga tempat-tempat sakral seperti Ka Wan Fafu OlonKaku Mokin LahinOlat Buru, dan Ka Sisi Aliar. Lokasi ini berada di Desa Waehata, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru.

Aktivitas perusahaan disebut telah merusak ekosistem dan situs adat yang memiliki nilai spiritual bagi masyarakat setempat. “Kami kehilangan pohon damar yang menjadi sumber penghidupan, sekaligus melihat tempat keramat kami dihancurkan. Ini pelecehan terhadap adat kami,” tambah Titi.

Ia dan Masyarakat adat Waehata berharap laporan mereka dapat menjadi langkah awal untuk menghentikan kerusakan hutan adat dan melindungi hak-hak adat yang terancam oleh aktivitas perusahaan.

 

Penulis: Edison Waas | Editor: Christ Belseran
error: Content is protected !!