Wamena, Papua Pegunungan — Laporan Human Rights Monitor (HRM) menyebutkan seorang warga asli Papua, Frengki Kogoya (21 tahun), diduga disiksa dan dieksekusi oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Kodim 1702/Jayawijaya pada Selasa, 11 November 2025. Frengki, yang berasal dari Distrik Wiringgambut dan disebut mengalami gangguan jiwa dalam dua pekan terakhir, meninggal di RSUD Jayawijaya pada malam yang sama akibat luka-luka serius di tubuhnya.
Peristiwa tragis ini menambah daftar panjang dugaan kekerasan aparat terhadap warga sipil di Tanah Papua.

Diteriaki “Perusak Tembok Kodim”, Kemudian Disiksa
Dalam laporan HRM yang dirilis 13 November 2025, disebutkan bahwa sekitar pukul 07.00 WIT, dua pria yang diduga anggota TNI mendatangi rumah Frengki, yang terletak tepat di belakang kompleks Kodim 1702/Jayawijaya. Mereka melempari rumah tersebut dengan batu sebelum memanggil Frengki keluar.
Saat keluar rumah, kedua pria itu langsung menuduh Frengki merusak tembok belakang kompleks militer. Menurut kesaksian warga, keduanya kemudian menyerang Frengki di depan kakak kandung dan seorang tetangga. Ketika ditanya penyebab penganiayaan, salah satu pelaku menegaskan tuduhan bahwa korban “merusak tembok Kodim”.
Penyiksaan dilaporkan berlangsung berjam-jam, hingga sekitar pukul 20.00 WIT.
Dibawa ke RS dalam Kondisi Kritis, Meninggal Kurang dari Satu Jam
Pada pukul 20.12 WIT, Frengki dibawa ke RSUD Jayawijaya dalam kondisi kritis. Kurang dari satu jam kemudian—sekitar pukul 21.00 WIT—ia dinyatakan meninggal dunia.
HRM menyebut korban mengalami memar parah di seluruh tubuh serta dugaan luka tembak. Temuan ini dikonfirmasi oleh keluarga dan saksi yang melihat kondisi tubuh Frengki setelah meninggal.
Keesokan paginya, keluarga dan warga membawa jenazah Frengki ke depan kompleks Kodim sebagai bentuk protes dan tuntutan pertanggungjawaban.

Pernyataan Kodim dan Pangdam: Ada Pengakuan, Tapi Versi Berbeda
Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Arh Reza Ch. A. Mamoribo, diduga mengakui bahwa salah satu anggota menembak korban menggunakan senapan angin. Ia menjanjikan proses hukum nasional dan adat.
Namun, pernyataan resmi TNI justru menyebut hasil otopsi menunjukkan “memar, bukan luka tembak”—berlawanan dengan kesaksian keluarga dan laporan independen.
Di sisi lain, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, Mayjen Amrin Ibrahim, menegaskan bahwa pihaknya menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap kekerasan anggota TNI dan menjanjikan proses hukum bagi siapa pun yang terbukti bersalah. Pomdam XVII/Cenderawasih dilaporkan telah menahan beberapa tersangka untuk diperiksa.
Tuntutan Keluarga: Investigasi Independen & Pengadilan Umum
Keluarga Frengki menuntut agar dilakukan Investigasi independen oleh Komnas HAM dan lembaga HAM lainnya, Penuntutan para pelaku melalui peradilan umum, bukan peradilan militer, serta Pengakuan proses hukum adat Papua sebagai bagian dari pemulihan martabat keluarga.
Human Rights Monitor menilai peristiwa ini sebagai pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial execution)yang dilarang keras oleh standar HAM internasional.
Tindakan penyiksaan dan eksekusi terhadap Frengki Kogoya melanggar:
- Pasal 6 ICCPR – Hak untuk hidup
- Pasal 7 ICCPR – Larangan penyiksaan
- Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) Pasal 1 dan 2 – Larangan absolut penyiksaan oleh aparat negara
Di bawah Protokol Minnesota (2016), kasus seperti ini wajib diselidiki secara independen, cepat, menyeluruh, dan transparan.
Bagian dari Pola Kekerasan Sistemik di Papua
HRM menyatakan bahwa kematian Frengki bukan kejadian terisolasi, tetapi bagian dari pola kekerasan aparat yang berulang:
- Penyiksaan, penembakan, dan kriminalisasi warga sipil,
- Impunitas yang terus berlanjut,
- Minimnya akuntabilitas aparat negara,
- Pendekatan keamanan yang lebih dominan dibanding pendekatan HAM.
“Investigasi yang mendesak, akuntabilitas bagi pelaku, dan reparasi bagi keluarga korban sangat penting untuk menegakkan kewajiban Indonesia di bawah hukum HAM internasional,” tulis HRM.
