Laporan HAM Ungkap 102 Ribu Warga Papua Mengungsi Akibat Operasi Militer, Sekolah dan Gereja Jadi Pos Keamanan

Laporan Human Rights Monitor Oktober 2025 memotret krisis kemanusiaan paling besar di Tanah Papua dalam lima tahun terakhir — ribuan warga meninggalkan rumah karena operasi militer dan pendudukan fasilitas sipil.
31/10/2025
Keterangan gambar: Pengungsi Internal (IDP) di seluruh Papua Barat, Indonesia, per 28 Oktober 2025. (dok. warga/HRM)

Papua Barat,- Lebih dari 102.966 warga sipil di Tanah Papua terpaksa mengungsi sepanjang September–Oktober 2025 akibat operasi militer dan konflik bersenjata antara aparat keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Temuan ini diungkap dalam laporan terbaru Human Rights Monitor(HRM) berjudul “Internal Displacement Update: Military Campaigns Disrupt Civilian Life and Services”, yang dirilis pada 28 Oktober 2025.

HRM menyebutkan, delapan kabupaten terdampak paling parah, yakni Intan Jaya, Lanny Jaya, Yahukimo, Yalimo, Pegunungan Bintang, Nduga, Paniai, dan Teluk Bintuni. Sebagian besar pengungsi merupakan penduduk asli Papua yang terpaksa hidup di hutan tanpa akses air bersih, pendidikan, atau layanan kesehatan.

“Pendudukan militer terhadap sekolah, gereja, dan pusat kesehatan telah menghambat kehidupan warga sipil dan menghalangi mereka untuk kembali ke rumah,” tulis laporan itu.

Kondisi ini, menurut HRM, memperlihatkan pola operasi yang “tidak proporsional” dan mengabaikan prinsip hukum humaniter internasional yang membedakan antara kombatan dan warga sipil.

keterangan gambar: Pengungsi Internal (IDPs) dari Kiwirok beribadah di tempat perlindungan hutan mereka, September 2025. (dok. warga/HRM)

Intan Jaya: Desa Kosong, Gereja Jadi Pos Militer

Krisis paling parah terjadi di Kabupaten Intan Jaya, di mana serangkaian operasi militer sejak 10 September menyebabkan pengungsian massal dari sedikitnya 10 desa di Distrik Sugapa, Bulapa, dan Ugimba.

Militer Indonesia dilaporkan mengubah Sekolah Dasar YPPK Jalai dan Gereja Katolik Fransiskus Jalai menjadi pos keamanan.

Akibatnya, seluruh penduduk desa melarikan diri ke hutan dan kota terdekat.

Puncak tragedi terjadi 15 Oktober 2025, ketika operasi di Desa Soanggama menewaskan 15 orang — sembilan di antaranya warga sipil, termasuk anak-anak. Sebanyak 145 warga lainnya melarikan diri ke Distrik Hitadipa.

Seorang anak dilaporkan meninggal pada awal September karena tidak sempat mendapat perawatan medis setelah melarikan diri.

“Situasi kemanusiaan di Intan Jaya sangat memprihatinkan. Banyak keluarga yang bertahan di hutan dengan perbekalan minim dan trauma mendalam,” tulis laporan HRM.

Kekhawatiran hak asasi manusia yang semakin meningkat di tengah perluasan signifikan kehadiran militer di dataran tinggi tengah Papua Barat. (Sumber: Human Rights News, Reports / Indonesia, West Papua / 2 October 2025)

Teluk Bintuni dan Lanny Jaya: Ibadah dan Sekolah Terhenti

Di Teluk Bintuni, bentrokan bersenjata pada 11 Oktober antara aparat dan TPNPB memaksa 238 warga dari dua distrikmengungsi ke hutan. Mereka kini hidup dalam tenda darurat, tanpa akses pangan dan obat-obatan.

Sekolah dan gereja di sembilan desa ditutup total karena para guru ikut mengungsi.

Di Lanny Jaya, operasi dua helikopter militer pada 5 Oktober mengacaukan kegiatan ibadah di Desa Wunabugu, Distrik Melagi.

Sekitar 2.000–2.300 warga, termasuk anak-anak dan lansia, melarikan diri ke Desa Yigemili dan tinggal di dua rumah tradisional serta tenda bantuan pemerintah.

“Warga menolak kembali sebelum militer menarik diri dari desa mereka,” ungkap HRM.

Paniai, Yalimo, dan Yahukimo: Fasilitas Publik Diduduki

Di Paniai, pasukan keamanan menduduki puskesmas di Desa Pasir Putih, Distrik Ekadide, dan menjadikannya pos militer.

Akibatnya, 1.130 warga dari tujuh desa melarikan diri.

Sementara di Yalimo, kerusuhan sipil di Elelim mendorong lebih dari 600 orang — kebanyakan guru dan pegawai negeri — mengungsi ke Wamena.

Di Yahukimo, bentrokan antara Juli–Agustus 2025 menyebabkan lima sub-suku Korowai meninggalkan kampung mereka. Sebagian masih hidup di hutan tanpa bantuan kemanusiaan karena patroli militer menghambat akses lembaga sipil.

Pegunungan Bintang dan Nduga: Krisis Berkepanjangan

HRM juga mendokumentasikan penggunaan senjata berat dan serangan udara di Distrik Kiwirok dan Oksop, Pegunungan Bintang, antara 6–12 Oktober.
Fragmen bom yang ditemukan di lokasi menunjukkan penggunaan bom konvensional MK81/MK82 buatan Amerika Serikat.

Serangan tersebut merusak kebun warga dan menewaskan hewan ternak.

Di Nduga, lebih dari 10.000 pengungsi masih bertahan di Jayawijaya dan Lanny Jaya sejak 2019. Mereka hidup tanpa layanan kesehatan dan pendidikan, sebagian karena pusat kesehatan dikuasai aparat.

Krisis Kemanusiaan yang Diabaikan

Kondisi ini, menurut HRM, menunjukkan krisis kemanusiaan yang “membeku di tempat” — berlangsung bertahun-tahun tanpa pemulihan.

Para pengungsi menolak pulang karena pasukan non-organik masih ditempatkan di desa mereka.

“Operasi militer yang dilakukan di wilayah padat penduduk tanpa perlindungan bagi warga sipil merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional,” tulis laporan itu.

Pada Februari 2025, Komnas HAM telah mengkritik keras penggunaan sekolah, gereja, dan kantor distrik sebagai pos keamanan. Namun, pola ini terus berulang.

Human Rights Monitor menyerukan penarikan pasukan non-organik dari wilayah sipil, pembukaan akses bagi organisasi kemanusiaan lokal dan internasional, serta penyelidikan independen atas penggunaan senjata berat di pemukiman warga.

“Setiap hari penundaan berarti semakin banyak anak kehilangan pendidikan, ibu kehilangan akses kesehatan, dan keluarga kehilangan rumah,” tulis HRM dalam penutup laporannya.

Sumber: Human Rights Monitor, Internal Displacement Update – October 2025
Foto Utama: Pengungsi Internal (IDP) di seluruh Papua Barat, Indonesia, per 28 Oktober 2025. (dok. warga/HRM)
error: Content is protected !!