titastory.id, halmahera timur – Dugaan praktik politik praktis mencuat dalam pemberian beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) di SD Negeri Minamin, Halmahera Timur. Beasiswa yang seharusnya murni untuk mendukung pendidikan, diduga dimanfaatkan oleh tim sukses pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Ubaid-Anjas dari PDIP untuk memengaruhi pilihan politik para orang tua penerima.
Dalam pertemuan yang berlangsung Senin (18/11/2024), Oktopilus Paga, Sekretaris Desa Puao, menyampaikan bahwa beasiswa tersebut merupakan “dana aspirasi partai” dari anggota DPR RI Irene Roba. Penerima beasiswa diminta mendukung pasangan Ubaid-Anjas dalam Pilkada Haltim.
Pernyataan Paga yang menyebutkan bantuan ini berasal dari partai dan bukan pemerintah, serta ancaman untuk mendatangi rumah orang tua siswa yang memilih calon lain, menimbulkan kecaman. Para orang tua merasa tertekan, terlebih ketika dijelaskan bahwa penerimaan beasiswa bisa berubah jika pilihan politik mereka berbeda.
“Ini bukan dari Pemda, ini uang partai,” ujar Paga. Ia bahkan menambahkan akan memastikan kesetiaan politik para penerima.
Pelanggaran Aturan Pemilu
Tindakan ini berpotensi melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023, yang melarang kegiatan kampanye di lingkungan sekolah. Beberapa wali siswa telah melaporkan kejadian ini kepada Pengawas Kecamatan dengan bukti rekaman video.
Seorang narasumber yang tidak mau disebutkan namanya menegaskan, “Aturan KPU jelas melarang kampanye di sekolah, tapi mereka tetap lakukan. Ini menekan hak politik orang tua murid.”
Tekanan Psikologis dan Manipulasi Beasiswa
Para wali siswa mengaku selama ini beasiswa PIP diberikan tanpa syarat politik. Namun, kali ini mereka diminta memilih pasangan tertentu agar bantuan tetap diberikan.
“Biarkan masyarakat memilih sesuai keinginan mereka. Jangan gunakan bantuan pendidikan untuk menekan pilihan politik,” ujar salah satu orang tua siswa.
Tuntutan Netralitas Sekolah
Kasus ini mengingatkan pentingnya menjaga netralitas pendidikan dari politik praktis. Para orang tua menuntut agar sekolah tetap menjadi ruang aman untuk belajar, bukan alat kampanye terselubung. Jika tidak ditindak tegas, ini bisa menjadi preseden buruk yang merusak demokrasi dan kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan.
Benarkah sekolah sudah dijadikan alat politik? Kasus ini menjadi ujian serius bagi integritas pendidikan dan penegakan aturan Pemilu di Halmahera Timur. (TS-05)
Discussion about this post