TITASTORY.ID,- Mendekati hampir dua abad lamanya, lapangan minyak bumi di Blok Bula, yang berada di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku telah diangkat. Namun sayangnya, eksploitasi minyak bumi di Pulau Seram ini tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi Maluku. Bahkan sejumlah daerah di Kabupaten SBT masih meneriakkan kemiskinan. Sebut saja gerakan Save Kilmuri, yang hingga kini masih bergerak untuk meminta perhatian pemerintah atas kemiskinan yang terjadi.
Lapangan minyak Bula, juga memiliki sejarah yang cukup panjang seperti lapangan minyak lain di Kalimantan dan Sumatera.
“Sekitar hampir dua abad minyak bumi diangkat dari Bula, tetapi tidak memperlihatkan kesejahteraan yang hadir sesuai dengan kekayaan alamnya,”ungkap Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Engelina Pattiasina, dilansir dari Harian Sentana.com, Kamis (28/1/2021).
Engelina mengatakan, keberadaan minyak di Bula diketahui sejak tahun 1897 atau selisih sekitar 11 tahun dengan penemuan minyak di Pangkalan Brandan, Sumatera Timur.
Engelina menuturkan, pengeboran pertama sumur minyak di wilayah Waru, Teluk Bula dilakukan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM)—anak perusahaan De Koninklijke atau dikenal The Royal Dutch pada tahun 1913. Minyak berhasil keluar setelah pengeboran mencapai kedalaman 950 kaki atau sekitar 289 meter.
Penemuan lapangan Bula Lemun pada 1925 ini, menjadikan Bula sebagai sumber minyak mentah bagi pemerintahan kolonial. Minyak mentah diangkut dari Bula dibawa ke daerah yang memiliki kilang atau dikirim ke berbagai negara. Dari pengelolaan minyak ini ikut merubah The Royal Dutch-Shell menjadi perusahaan raksasa dunia.
“Di sisi lain, orang Seram dan Maluku bukan penikmat tapi justru menjadi korban, paling tinggi sebagai kuli di perusahaan kolonial. Di masa Hindia Belanda, sumber minyak hanya berasal dari Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Seram,” kata wanita berdarah Maluku ini.
Kedatangan Jepang pada 1942, kata dia, juga membawa pengaruh kepada penguasaan sumber daya minyak. Ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda sangat jelas terlihat menyasar sejumlah wilayah strategis, penghasil minyak.
“Mulai dari Kalimantan Timur, Sumatera Selatan (Plaju dan Sungai Gerong) dan Sumatera Utara (Pangkalan Brandan) dan Bula sebagai sasaran pertama. Dari rentang waktu sangat kelihatan, Sumatera jatuh ke Jepang pada Februari 1942, yang hampir bersamaan dengan jatuhnya Ambon ke Jepang,” tukasnya.
Menurut Engelina, lapangan minyak Bula berada di bawah kewenangan Perusahaan Minyak dan Gas Negara (Permigan) yang bertanggung jawab di Jawa dan Seram.
“Sebenarnya, manajemen Permigan sudah berusaha untuk menawarkan perbaikan dan operasi lapangan minyak Bula kepada investor Jepang, tetapi Jepang lebih berminat di Kalimantan,” katanya.
Kemudian pada dekade 1980-an, lanjut dia, operasi bergeser ke Bula Tenggara yang ditemukan pada 1983. Selanjutnya ditemukan Bula Air pada 1990-an yang dioperasikan Santos (Seram) Ltd. Di kemudian hari, lapangan kerja ini dinamai Bula PSC.
Sedangkan, Kalrez Petroleum (Seram) Ltd memulai pekerjaan pada 2001. Kalrez Petroleum ini merupakan anak perusahaan dari South Sea Petroleum Holdings Ltd yang berpusat di Hongkong. Masa kontrak Kalrez berakhir pada Oktober 2019.
“Namun, yang cukup menarik, sebelum masa kontrak Kalrez berakhir, muncul PT. Hana Mandiri yang membeli Kalrez senilai US$ 600.000 (Rp 9 miliar) kalau kurs dolar Rp 15.000 per dolar). Saya justru tidak tahu apakah harga ini termasuk sangat murah, layak atau justru kemahalan,” ujar dia,
Masih menurut Engelina, dalam setiap kontrak, biasanya ada klausul dimana, setelah berakhirnya masa kontrak, maka semua peralatan/perlengkapan diserahkan kepada pemberi konsesi (negara). Jika klausul ini ada, maka akan menyisakan pertanyaan besar. Untuk itu, diharapkan ada pihak berkompeten mempublikasikan kontrak itu agar publik juga tahu.
“Sebab pada Mei 2018 ada hal yang lebih mengejutkan lagi, di mana Hana Mandiri memperoleh hak perpanjangan Blok Seram Bula PSC untuk masa 20 tahun, dengan sistem Gross Split PSC. Dengan situasi ini menjadi sangat penting dan mendesak untuk mengecek perjanjian awal kontrak Blok Bula.,”ucapnya.
Lulusan Universitas Bremen, Jerman ini juga mengatakan, pada 1999 Kontrak PSC Non Bula ditandatangani dengan Kufpec Ltd. yang bertindak sebagai operator. Tapi, pada 2006 Citic Seram Energy Ltd. mengambil alih 51 persen interest dari Kufpec (Indonesia) Ltd, dan bertindak sebagai operator di Blok Seram Non Bula.
“Jadi hingga berakhirnya kontrak pada 2019, Blok Bula PSC dikelola Hana Mandiri setelah membeli dari Kalrez Petroleum (Seram) Ltd. Sedangkan Blok Seram Non Bula dikelola konsorsium Citic Seram Energy Limited yang terdiri dari Citic Resources, Kufpec, Gulf Petroleum, dan Lion Energy. Blok inipun sudah diperpanjang tanpa memastikan seperti apa hak orang Seram dan Maluku,” paparnya.
“Saya mengecek lampiran Peraturan Presiden tentang Dana Bagi Hasil Migas pada 2018, nihil untuk Maluku, meski pada Peraturan Menteri Keuangan 2018 ada Rp 1 atau 2 Miliar yang disisihkan untuk seluruh Maluku,” beber mantan anggota DPR RI ini.
Ironisnya, lanjut dia, sejarah panjang perjalanan lapangan minyak Bula yang dieksploitasi sedemikian rupa sehingga tidak menyisakan nilai tambah bagi masyarakat lokal ini, memberikan pemasukan untuk Seram Timur misalnya pada 2018, hanya Rp 200 juta lebih dari DBH.
“Ini sangat tidak adil khususnya bagi masyarakat sekitar dan rakyat Maluku pada umumnya, tukas Engelina.
Terpisah, Aktivis HMI di Maluku, Rais Mahu mengaku miris, karena meski sudah hampir dua abad beroperasi, Minyak Bula nyaris tidak memiliki dampak yang nyata terhadap kesejahteraan rakyat Seram dan Maluku.
“Sejauh ini, keberadaan minyak di Bula dihisap tanpa ada penjelasan kepada rakyat. Pemerintah daerah dan masyarakat adat tidak memiliki akses yang memadai untuk ikut memastikan hak rakyat Seram dalam produksi minyak Bula. Lebih parah lagi, masyarakat Seram tidak tahu dan tidak merasakan dampak dari kekayaan alamnya,” kata Mahu saat dihubungi wartawan, Kamis (28/1/2021).
Menurutnya, minyak di Pulau Seram memiliki sejarah panjang tapi justru tidak membawa kesejahteraan di Seram ataupun Maluku.
“Hampir dua abad, bukanlah rentang waktu yang pendek untuk mengeksploitasi minyak di Seram, sayangnya tidak ada perubahan dalam pola pengelolaan minyak sejak zaman kolonial,” ketusnya.
Ia bahkan mengaku harus menyusuri Seram Bagian Timur untuk memperoleh gambaran yang lebih khusus mengenai dampak minyak di Bula. Tetapi, temuan dalam berkomunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat, sangat mengejutkan karena nyaris tidak tahu-menahu dengan pengeboran minyak dan juga tidak jelas dampak ekonomi sebagai kontribusi dari keberadaan lapangan minyak di Bula.
“Saya harus mendatangi anggota dewan, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tetap saja hasilnya tidak ada yang mengetahui pasti hak orang Seram atas eksploitasi sumber daya alamnya. Kalau pemerintah dan wakil rakyat saja kesulitan untuk memastikan hak orang Seram, sudah pasti akan lebih sulit lagi bagi orang yang berada di luar sistem kekuasaan,” tukasnya.
Menurutnya, sangat tidak adil jika dampak dari kerusakan lingkungan yang muncul akibat eksploitasi sumber daya alam ditanggung masyarakat lokal, yang tidak sebanding dengan nilai participating interest (PI) dan tanggung jawab sosial perusahaan.
“Sangat miris karena, hasil eksploitasi itu justru digunakan untuk kesejahteraan rakyat di tempat lain atau negara lain, di sini ada persoalan keadilaan dan kemanusiaan. Eksploitasi Migas di Maluku seolah membuktikan negara abai untuk menjamin hak rakyatnya sendiri,” pungkasnya.
Proyek Migas Masuk RUED
Sementara pada kesempatan berbeda, Pemerintah Daerah Maluku dan Maluku Utara memastikan, proyek minyak dan gas (Migas) di wilayah Maluku dan Maluku Utara, seperti Blok Migas Masela hingga Lapangan Bula di Pulau Seram, bakal dimasukkan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
“Hal itu dilakukan agar masyarakat sekitar bisa memetik manfaat dari keberadaan tambang-tembang tersebut, termasuk juga dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) wilayah tersebut,” kata Direktur PT Maluku Energi Abadi, Musalam Latuconsina dalam webinar yang diselenggarakan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Rabu (27/1/2021).
Menurut Musalam, pihaknya telah intensif melakukan koordinasi dengan Dinas Pertambangan Provinsi Maluku, untuk memasukkan potensi-potensi yang ada di wilayah Maluku dan Maluku Utara ke dalam RUED tersebut.
“Saat ini mereka (Dinas Pertambangan Maluku) sedang persiapkan. Dan saya sudah titip bahwa utilisasi dari hasil minyak dan gas di Masela maupun di Bula nanti harus dimasukkan dalam RUED Provinsi Maluku, karena itu sedang dikaji,” katanya.
“Mudah-mudahan kami tetap terintegrasi atau bersinergi dengan Dinas Pertambangan Maluku, sehingga saat itu RUED selesai, kami cek benar-benar bahwa hasil gas dari Masela maupun minyak dari Bula nanti bisa masuk ke dalam RUED Provinsi Maluku,” papar Musalam.
Sementara itu, terkait penyerapan tenaga kerja, lanjut Musalam, hal itu juga menjadi salah satu concern yang dipikirkan.
“Kita harapkan anak-anak Maluku yang backgroundnya perminyakan atau Geologist dapat berkiprah secara nasional di Indonesia maupun di luar Indonesia,” tutupnya.(T-01)
Discussion about this post