Ambon, – Persidangan dua pemuda Negeri Haya, Husein Mahulauw dan Ardi Tuahan, yang dituduh terlibat dalam dugaan pembakaran fasilitas tambang PT Waragonda Mineral Pratama, menyisakan banyak tanda tanya.
Tim pendamping hukum kedua terdakwa menilai, putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon tidak berdasar pada fakta persidangan, melainkan dibangun di atas asumsi dan opini.
Kedua terdakwa yang selama ini dikenal sebagai pejuang lingkungan dan warga adat Haya yang menolak tambang pasir garnet — divonis berat pada sidang 14 Oktober 2025.
Husein dijatuhi hukuman 8 tahun penjara atas dakwaan pengrusakan dan pembakaran, sementara Ardi divonis 3 tahun 6 bulan karena dianggap melakukan penghasutan.
Namun, menurut pendamping hukum, seluruh pertimbangan hakim dalam putusan tersebut justru mengabaikan fakta-fakta yang muncul selama 8 kali persidangan, yang dimulai pada 5 Agustus hingga 30 September 2025.

Saksi Bertentangan, Fakta Tidak Konsisten
Dalam nota pembelaan (pledoi) setebal 64 halaman, tim kuasa hukum menegaskan bahwa tidak satu pun saksi yang dapat membuktikan secara langsung bahwa Husein Mahulauw melakukan tindakan pembakaran sebagaimana dituduhkan.
Dari sejumlah saksi yang dihadirkan, mayoritas justru memberikan keterangan yang membebaskan terdakwa:
- Tidak ada saksi yang melihat Husein membawa botol berisi solar.
- Tidak ada yang melihat Husein masuk ke area perusahaan.
- Bahkan, beberapa saksi melihat terdakwa berdiri di luar pagar area perusahaan saat kejadian.
Sementara dua saksi yang dianggap memberatkan Miljan Key dan Tawakal Somalua memberikan keterangan yang saling bertentangan.
Dalam sidang, Miljan menyebut melihat Husein menyiram solar dari jarak 40 meter di tengah kondisi gelap. Namun, keterangan itu berubah saat dikonfrontir. Ia kemudian mengatakan tidak tahu asal solar, bahkan menduga solar tersebut milik perusahaan.
Sebaliknya, saksi Tawakal Somalua mengaku melihat terdakwa memegang botol berisi cairan, tapi juga tidak tahu isinya. “Mungkin solar,” katanya dalam sidang, “karena di perusahaan memang ada drum dan jerigen berisi solar.”
Kuasa hukum menilai, keterangan seperti ini tidak dapat dianggap sebagai kesaksian fakta, karena disampaikan dengan keraguan, bersifat dugaan, bahkan menyerupai rekaan.
“Kesaksian kedua saksi ini kontradiktif, tidak konsisten, dan penuh dugaan. Fakta persidangan menunjukkan bahwa keterangan mereka dibangun di atas persepsi, bukan pengamatan langsung,” ujar Dandy Yulianto, kuasa hukum kedua terdakwa.
Putusan Sarat Opini, Tidak Berdasar Fakta
Dalam analisis hukumnya, tim pembela menegaskan bahwa hakim semestinya tunduk pada prinsip Pasal 185 ayat (5) dan (6) KUHAP bahwa keterangan saksi haruslah berdasarkan pengalaman langsung, bukan opini atau dugaan.
Namun dalam kasus ini, hakim dinilai menyimpang dari prinsip hukum pembuktian dengan menjadikan keterangan lemah dan kontradiktif sebagai dasar vonis.
“Putusan ini bukan berdasar fakta, tapi berdasar tafsir yang dibangun di luar logika hukum acara pidana. Ini bukan putusan yang objektif, tapi opini yang diberi kekuatan hukum,” tegas Dandi.
Saksi Kunci Tak Pernah Hadir di Persidangan
Salah satu hal paling krusial dalam perkara ini adalah absennya saksi kunci bernama Pandu Kilian (Panjul).
Jaksa Penuntut Umum membacakan keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), meskipun saksi tersebut tidak pernah hadir di persidangan tanpa alasan sah sebagaimana disyaratkan Pasal 162 Ayat (1) KUHAP.
“Pembacaan keterangan saksi yang tidak hadir tanpa alasan sah tidak memiliki nilai pembuktian. Tapi justru dijadikan dasar pertimbangan hakim. Ini pelanggaran serius terhadap asas peradilan yang adil,” ujar Fadly.
Kontradiksi dalam Kasus Ardi Tuahan
Hal serupa terjadi dalam perkara Ardi Tuahan yang didakwa menghasut warga untuk melakukan pengrusakan.
Kuasa hukum menilai, tidak ada satu pun saksi yang mendengar langsung Ardi mengucapkan perintah ‘bakar perusahaan’.
Sebagian saksi bahkan menyebut bahwa massa datang karena konflik internal warga terkait sasi, bukan karena ajakan Ardi.
“Fakta persidangan justru menunjukkan Ardi datang setelah massa berkumpul. Ia bahkan berusaha menenangkan situasi,” kata Dandy.
Beberapa saksi, seperti Rajab Tuahan dan Imran Samalehu, mengaku mendengar kalimat ajakan “bakar perusahaan” dari orang lain, bukan dari Ardi.
Sementara saksi Syahbudin hanya mendengar cerita dari pihak ketiga — bukan pengalaman langsung.
“Keterangan seperti ini dalam hukum disebut testimonium de auditu, yang tidak dapat dijadikan alat bukti. Tapi tetap dipakai untuk menghukum. Ini sangat tidak adil,” ujarnya.

Keadilan untuk Pejuang Lingkungan
Kasus Husein dan Ardi bukan sekadar perkara pidana biasa.
Di baliknya, ada perjuangan warga adat mempertahankan ruang hidup dari ekspansi tambang pasir garnet yang mengancam sumber air dan tanah adat Haya.
Bagi masyarakat Haya dan jejaring advokasi lingkungan di Maluku, vonis ini menjadi simbol bahwa suara rakyat yang membela bumi justru dibungkam oleh hukum.
“Mereka bukan perusuh. Mereka adalah anak negeri yang berani bicara melawan perusakan lingkungan,” ujar Dandi.
Kini, Husein telah menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Maluku, sementara Ardi masih mempertimbangkan langkah serupa.
Tim hukum dan jaringan solidaritas #SaveHaya berharap, majelis hakim di tingkat banding dapat meninjau ulang fakta secara objektif, bukan berdasarkan asumsi yang dibangun di ruang gelap peradilan.
Kasus ini menjadi ujian bagi lembaga peradilan di Maluku:
Apakah hukum akan berpihak pada kebenaran dan keadilan ekologis, atau tetap tunduk pada kepentingan modal dan korporasi tambang?
“Husein dan Ardi mungkin diadili, tapi yang sesungguhnya diadili adalah keberanian rakyat kecil membela tanahnya,” kata Dandi menutup nota pembelaannya.