titastory.id, ambon – Maluku mencatat konsumsi protein terendah ketiga di Indonesia, dengan rata-rata hanya 52,86 gram per hari, menurut data BPS dan GoodStats 2024. Kekurangan protein berisiko menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak-anak.
Kepala BPS Maluku, Maritje Pattiwaellapia, menyoroti konsumsi mie instan yang tinggi dan minimnya asupan protein berkualitas, seperti ikan dan sayuran lokal, sebagai penyebab utama.
Dalam kunjungan ke Jazirah Leihitu, ditemukan balita mengonsumsi susu berkadar gula tinggi, menggantikan susu formula.
“Kondisi ini menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat akan gizi,” ujar Pattiwaellapia. Padahal, potensi pangan lokal seperti ikan dan daun kelor yang kaya protein melimpah.
“Kita pernah turun di Jazirah Leihitu, Maluku Tengah, balita diberikan minuman susu kadar gula tinggi, seperti Indomilk, mestinya susu formula. Lebih banyak juga mengkonsumsi mie instan, mestinya diberikan makan ikan saja,”tambahnya.
Plh. Sekda Maluku, Suryadi Sabirin, menambahkan bahwa pemerintah akan memperkuat program pangan bergizi, termasuk pengolahan sagu sebagai alternatif makanan pokok. Selain itu, kerjasama dengan investor akan didorong untuk memperbaiki distribusi hasil tangkapan nelayan lokal. “Nelayan kita banyak ikan, tetapi pasar belum terhubung dengan baik,” ungkap Sabirin.
Penelitian dari jurnal plos one juga menegaskan bahwa ketidakseimbangan asupan gizi, terutama kekurangan protein, berdampak langsung pada perkembangan kognitif anak di wilayah pedesaan Indonesia. Untuk itu, edukasi gizi berbasis komunitas serta peningkatan infrastruktur distribusi pangan dinilai krusial guna mengatasi krisis ini.
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya keseimbangan gizi dan aktivitas fisik dalam meningkatkan kesehatan, terutama dalam mengurangi risiko kekurangan gizi mikro dan obesitas. Kajian ini menunjukkan bahwa intervensi terpadu yang menggabungkan promosi nutrisi dan aktivitas fisik dapat menghasilkan manfaat ganda yang signifikan, seperti peningkatan keragaman makanan dan kesejahteraan fisik serta mental. Hal ini relevan dalam konteks program pemberian makan di sekolah yang menargetkan peningkatan asupan nutrisi anak-anak dengan cara yang lebih holistik dibandingkan sekadar pencegahan obesitas saja.
Pattiwaellapia menekankan perlunya sosialisasi rutin dan pelibatan aktif instansi terkait untuk mendorong kesadaran akan pentingnya asupan protein.
“Ikan dan kelor tersedia di kampung, tetapi tanpa pengetahuan yang memadai, potensi ini tidak termanfaatkan maksimal,” tutupnya. (TS-11)
Discussion about this post