Krisis Air di Gunung Nona: Proyek Pemerintah Mangkrak, Warga Siwang Terpaksa Beli Air Rp200 Ribu per Tangki

05/10/2025
Keterangan : Gambar proyek mubazir di Dusun Siwang, Foto : Ed/ titastory.id

titastory, Ambon – Upaya pembangunan jaringan air bersih di Dusun Siwang, Negeri Urimessing, Kota Ambon, berakhir gagal. Infrastruktur yang dibangun pemerintah termasuk empat unit bak penampung dan ribuan pipa besi terbengkalai dan menjadi semacam “monumen” kegagalan.

Akibatnya, warga di kawasan Gunung Nona, tepatnya di Dusun Siwang, Kecamatan Nusaniwe, terpaksa mengeluarkan biaya besar untuk membeli air tangki.

Proyek PUPR Macet Setelah 1,5 Tahun

Ketua RW 07 Dusun Siwang, John Siahainenia, mengatakan wilayahnya yang mencakup 70 kepala keluarga (KK) telah lama mengalami krisis air. Proyek pengeboran air yang dikerjakan Dinas PUPR Kota Ambon awalnya sempat berhasil pada titik pengeboran kedua dan bisa dimanfaatkan warga selama sekitar satu setengah tahun.

Keterangan : Bak Tampung yang diduga mubazir, Foto : Ed/ titastory.id

Namun, pasokan air tiba-tiba berhenti total sekitar enam bulan terakhir. John menduga sumber air tersebut hilang setelah ada aktivitas pengeboran sumur yang diperdalam oleh pihak lain—disebut bernama Jan Haumasse—di dekat lokasi.

Upaya kerja sama untuk mendistribusikan air dari sumber baru gagal karena sistem gravitasi tidak mampu melayani ratusan warga secara merata, sehingga memicu protes. Akhirnya, Siahainenia memutuskan mengembalikan tanggung jawab pengelolaan air kepada PUPR Kota.

Warga Tercekik Hidup Mahal

Krisis berkepanjangan ini memaksa warga RW 07—yang mencakup RT 05 dan RT 08—bergantung pada pembelian air tangki. Satu tangki berukuran 6.000 liter dibanderol Rp200.000.

Menurut Siahainenia, keluarga kecil bisa menghabiskan satu tangki dalam satu hingga dua minggu. Saat musim kemarau, mereka membeli dua hingga tiga tangki per bulan. “Sejak saya tinggal di Siwang, ketersediaan air bersih selalu menjadi masalah mendesak,” ujarnya.

Kawasan Gunung Nona menghadapi masalah serius karena faktor geografis dan infrastruktur. Wilayah yang berada di lereng pegunungan ini membutuhkan sistem pompa dan reservoir yang lebih kompleks dan mahal dibandingkan kawasan dataran rendah.

Berkurangnya debit air, terutama pada musim kemarau, diperparah oleh hilangnya kawasan resapan akibat pembangunan permukiman di area tangkapan air.

Rencana solusi lanjutan, seperti mengganti pipa lama dengan pipa berdiameter dua inci atau menarik sumber air dari Batu Gantung oleh PDAM, hingga kini masih tertunda. PDAM mengaku perlu dukungan anggaran dari pemerintah pusat karena tingginya biaya yang dibutuhkan.

Ketua RT 05 RW 07, Ade Hukubun, mengakui kepadatan penduduk di Gunung Nona membuat permintaan air bersih sangat tinggi. “Akses jaringan belum merata, sementara suplai air dari sumber yang ada terus berkurang,” katanya.

Proyek Pemprov Jadi Monumen Bisu

Masalah serupa juga terjadi pada proyek sarana air bersih yang dibangun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku. Hasil penelusuran lapangan menunjukkan sedikitnya ada tiga bak penampung air milik Pemprov yang terbengkalai. Dua di antaranya merupakan proyek yang menggunakan teknologi panel surya (solar cell).

Dua bak penampung berukuran besar yang dibangun dengan sistem solar cell itu kini rusak, tak terawat, tertutup debu, dan dikelilingi semak belukar. Fasilitas yang semestinya menyuplai kebutuhan air bersih warga ini tidak berfungsi dan hanya menjadi monumen bisu atas kegagalan proyek.

“Jaringan air bersih yang dibangun Pemerintah Kota masih berfungsi. Tapi proyek milik Pemprov… nol besar,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Warga Berkelakar: Dibangun untuk ‘Binatang Hutan’

Kekecewaan warga mencapai puncaknya dan melahirkan sindiran pedas. Melihat kondisi bak penampung yang ditinggalkan di tengah area yang ditumbuhi vegetasi, mereka berkelakar:

“Pemerintah bangun bak mungkin untuk binatang hutan,” kata seorang warga sambil menunjuk ke arah salah satu bangunan bak di tengah semak.

Sindiran ini mencerminkan kemarahan warga. Proyek-proyek air bersih di Dusun Siwang belakangan menjadi sorotan media, terutama terkait dugaan pemborosan dana pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Seorang petani sayur, Mama Wati Wattimena, yang ditemui titastory di kebunnya pada Sabtu (27/9) lalu, menuturkan banyak jaringan pipa yang sudah rusak.

“Katong pung bapa-bapa sudah berusaha bikin bae (perbaiki), tapi seng (tidak) jadi. Sekarang akang (pipa) tinggal begitu saja,” ujarnya.

Mangkraknya fasilitas publik vital ini menunjukkan kelemahan dalam perencanaan dan pengawasan proyek di lingkungan Pemprov Maluku.

Warga Dusun Siwang meminta aparat penegak hukum (APH) menyelidiki proyek-proyek gagal yang dibiayai APBD maupun APBN melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) atau Balai Cipta Karya. Mereka juga mendesak DPRD Provinsi Maluku untuk tidak tinggal diam.

“Masyarakat menuntut audit menyeluruh terhadap proyek-proyek yang tidak berfungsi ini, untuk memastikan tidak ada kerugian negara akibat indikasi korupsi dan agar fasilitas yang sudah dibangun dapat segera difungsikan, bukan dibiarkan menjadi monumen di tengah krisis air bersih,” kata Bob Lamberkabel, warga setempat.

error: Content is protected !!