titastory.id, jakarta – Ancaman untuk mengkriminalisasi dua mahasiswa, Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis yang berdemo di depan kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), adalah tindakan berlebihan dan seyogyanya duhentikan
“Demonstrasi ini adalah buntut dari banjir berhari-hari di Halmahera dan peluncuran laporan terbaru JATAM terkait kerusakan lingkungan akibat operasi IWIP,” kata Al Farhat Kasman, Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Pada kamis 1 Agustus, JATAM bersama sejumlah warga Halmahera, Maluku Utara, Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur melakukan demonstrasi di depan kantor pusat IWIP dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.
Demonstrasi yang dilakukan adalah luapan kemarahan dan kekecewaan masyarakat Halmahera atas banjir bandang yang tingginya mencapai tiga meter yang menenggelamkan kawasan Halmahera Tengah hingga Halmahera Timur, Maluku Utara sepanjang 21-24 Juli 2024.
Faktanya, banjir tersebut melumpuhkan dan mengisolasi desa-desa pusat operasi IWIP, antara lain: Lelilef Woebulan, Lukulamo. Meluas hingga wilayah Transmigran Kobe, yang meliputi: Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya, Weda Tengah. Tak hanya itu, banjir juga meluas ke Sagea sampai wilayah Transmigran Waleh, Weda Utara, dan memaksa setidaknya 1,700 warga mengungsi
Dalam rilis yang diterima Titastory, di Halmahera Timur banjir merendam 12 desa. Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur.
Sementara di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Bencana banjir berulang ini dipicu oleh penggusuran hutan yang begitu masif. Global Forest Watch mencatat, sejak 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektar (kha) tutupan pohon, setara dengan penurunan 13% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan melepaskan emisi gas rumah kaca sebesar 22.4 Mt CO₂e.
Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel tersebut ,menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
“Kita di sini menuntut tanggung jawab IWIP atas kesengsaraan yang dialami warga Maluku Utara,” tekannya.
Dijelaskan, ketika orasi berlangsung di depan kantor IWIP, pensiunan Letnan Jenderal Suaidi Marasabessy yang berkantor di gedung yang sama dengan PT IWIP, di Sopo Del Tower ikut menanggapi aksi para demonstran.
“Sudah dikoordinasikan dengan Bupati,” kata Suaidi sambil dan berlalu kemudian masuk gedung. Jawaban tersebut tampaknya membuat jengkel demonstran. Massa lantas meneriaki nya, “Jendral tidak berguna, tidak melakukan apa-apa untuk masyarakat Maluku (daerah asal dia,” teriak para demonstran.
Beberapa hari setelah aksi, tepatnya tanggal 4 Agustus, Ketua Bravo 5, Ali Fanser Marasabessy dalam ungahan di akun TikToknya menyatakan tidak terima dengan tuduhan massa aksi terhadap Suaidi Marasabessy sebagai pendiri Bravo 5.
Secara spesifik Ali meminta Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis, dua mahasiswa yang ikut orasi untuk minta maaf dalam 2 kali 24 jam.
Ali Marasabessy juga mengatakan kedua orang tersebut bakal menanggung risiko jika tidak mengikuti permintaannya.
IWIP adalah sebuah komplek smelter nikel raksasa di Indonesia, wilayah tambang sekaligus pusat pemrosesan biji nikel menjadi stainless steel dan baterai listrik. Sebelum aksi tersebut JATAM merilis sebuah laporan berjudul Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP Sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi.
JATAM menggarisbawahi kerentanan Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan terhadap bencana hidrometeorologi. Ia makin menjadi berat akibat aktivitas tambang nikel.
Kondisi ini merupakan bentuk kekerasan dan penindasan gaya baru terhadap penduduk Halmahera yang dipaksa hidup berdampingan dengan bencana akibat kerusakan ekologi.
Selain kekerasan yang berdimensi ekologi, aktivitas tambang menghadirkan berbagai kekerasan fisik dan psikis bagi masyarakat Halmahera dan pekerja tambang.
Laporan itu mengungkapkan berbagai ancaman, intimidasi, hingga kekerasan dilakukan preman, polisi, dan aparat pemerintah desa untuk mendukung perampasan lahan dari masyarakat Halmahera atas nama perusahaan. Kekerasan laten juga diterima pekerja tambang dengan mengabaikan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sedikitnya 26 pekerja tewas selama IWIP dan PT Weda Bay Nickel beroperasi sejak 2018.
Aktivitas tambang nikel tidak hanya merusak lingkungan dan mencemari sumber pangan dan air warga, ancaman kriminalisasi warga untuk mempertahankan hak-haknya akan masif terjadi.
Jika kondisi ini terus dipertahankan, kerusakan ekologi akan berujung pada semakin tingginya angka kemiskinan dan memperlebar jurang kedalaman kemiskinan.
Muhamad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM menyatakan, ancaman dan intimidasi untuk mengkriminalisasi kedua mahasiswa Maluku di Jakarta tersebut adalah merupakan upaya pembungkaman partisipasi publik pejuang lingkungan atau dikenal dengan SLAPP.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 66 UUPLH yang menyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Juga amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) terkait lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sebaliknya, lanjut Jamil, tindakan mengancam dan mengintimidasi melalui media Elektronik adalah dugaan tindak pidana sebagaimana ketentuan pasal 335 jo. 369 KUHP serta UU ITE dapat dipenjara paling lama 4 tahun dan denda 750jt.
Koalisi Masyarakat Sipil menuntut pemerintah pusat dan daerah, serta perusahaan tambang nikel harus segera bertanggung jawab atas bencana banjir yang terjadi dan potensi bencana yang akan datang di kemudian hari.
Pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan bantuan sosial atas kerugian yang diderita warga akibat bencana banjir, tetapi menghentikan segala kegiatan ekstraksi yang telah menjadi sumber bencana dan menghancurkan ruang hidup dan sumber penghidupan warga Halmahera. (TS-04)
Discussion about this post