titastory.id, jakarta – Kriminalisasi terhadap dua mahasiswa, Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis, yang berdemonstrasi di depan kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) merupakan tindakan yang berlebihan dan harus segera dibatalkan. Hal ini disampaikan Tim Advokasi Gunung Tanah dalam rilis yang diterima titastory, Senin, (10/9/2024).
Kriminalisasi ini bermula ketika JATAM bersama beberapa warga Halmahera, Maluku Utara, Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur berdemonstrasi di depan kantor pusat IWIP dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta pada Kamis, 1 Agustus lalu.
Vebrina Monicha, Divisi Hukum Kontras, menyebutkan, sebanyak 304 orang pembela HAM dikriminalisasi, 83 kasus di antaranya berada dalam sektor SDA.
Dalam kasus serangan terhadap perempuan pembela HAM yang memperjuangkan lingkungan akibat terdampak aktivitas PT. IWIP, Christina dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh seorang mantan purnawirawan TNI, Semestinya sejak awal pihak kepolisian harus menolak laporan tersebut dikarenakan aktivitas Christina merupakan pejuang lingkungan hidup yang dilindungi oleh Pasal 66 UUPPLH.
“Selain itu, kami juga menyoroti PT IWIP yang berstatus sebagai Objek Vital Nasional dapat dijaga oleh pasukan TNI/POLRI. Dalam konteks ini, kebijakan tata kelola pengamanan obvitnas sangatlah bermasalah dari segi akuntabilitas dan transparansi pada praktik di lapangan. Lebih lanjut, kebijakan tersebut menyeret institusi TNI ke ranah bisnis keamanan yang mengakibatkan prajurit tidak profesional karena ditempatkan tidak pada tupoksinya sesuai peraturan perundang-undangan.” kata Vebrina.
Sementara itu, Edy K Wahid dari YLBHI, mengungkapkan, secara kontekstual ucapan Christina mewakili kepentingan publik dan lingkungan yang dikaitkan dengan peran Suaidi yang kerap meredam aksi-aksi protes Christina.
“Sehingga pernyataan Christina tidak dapat dikualifikasi sebagai pencemaran nama baik. Ucapan dari Christina adalah penilaian terhadap peran Suaidi di IWIP yang sekarang di sekitarnya terjadi banjir dan menimbulkan korban. Perbuatan seperti ini sudah dikecualikan dari SKB UU ITE, dan pada dasarnya memang bagian dari kebebasan berekspresi, sehingga tidak seharusnya dilaporkan menggunakan pencemaran nama baik atau tindak pidana lainnya.”
Menurut dia, laporan-laporan semacam ini adalah fenomena yang terus menerus terjadi di berbagai tempat. Pada dasarnya SLAPP adalah bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi. “Di Indonesia, pengaturan Anti SLAPP ada di UU 32 Tahun 2009 untuk melindungi pembela HAM lingkungan. Ada juga di Peraturan Kejaksaan, Peraturan Mahkamah Agung, dan yang terbaru, Permen LHK No. 10/2024 tentang Perlindungan Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.
Demonstrasi ini merupakan luapan kemarahan dan kekecewaan masyarakat Halmahera atas banjir bandang yang menenggelamkan Halmahera Tengah hingga Halmahera Timur, Maluku Utara sepanjang 21-24 Juli 2024.
Banjir tersebut melumpuhkan dan mengisolasi desa-desa pusat operasi IWIP, antara lain: Lelilef Woebulan; Lukulamo; wilayah Transmigran Kobe di Weda Tengah yang meliputi: Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya. Banjir pun meluas ke Sagea sampai wilayah Transmigran Waleh, Weda Utara, dan memaksa setidaknya 1,700 warga untuk mengungsi. Di Halmahera Timur, banjir merendam setidaknya 12 desa.
Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Bencana banjir berulang ini dipicu oleh penggusuran hutan yang masif. Data dari Forest Watch Indonesia menunjukkan, deforestasi akibat kegiatan pertambangan di Provinsi Halmahera Tengah seluas 2.739,80 hektar sepanjang 2021-2023. Khusus PT Weda Bay Nickel yang masuk di Provinsi Halmahera Tengah telah menyebabkan deforestasi seluas 1.783,89 hektare.
PT Weda Bay Nickel juga telah menyebabkan deforestasi di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan total luas 2.612,06 hektar. Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel tersebut, menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
“Demonstrasi ini adalah buntut dari banjir berhari-hari di wilayah-wilayah operasi tambang nikel di Maluku Utara, seperti di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Ternate, dan peluncuran laporan terbaru JATAM terkait kerusakan lingkungan akibat operasi IWIP,” ujar Al Farhat Kasman, Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
“Kalian enak kerja di sini. Kantor bersih, ber-AC. Sementara masyarakat di Maluku Utara bertarung dengan banjir. Kehilangan harta benda dan nyawa. Kami di sini menuntut tanggung jawab IWIP atas kesengsaraan yang dialami warga Maluku Utara,” tambah Farhat dalam demonstrasi tersebut.
Ketika orasi berlangsung di depan kantor IWIP, Letnan Jenderal (purn) Suaidi Marasabessy, yang juga berkantor di Sopo Del Tower, lewat di tengah-tengah aksi dan ikut menanggapi aksi. “Sudah dikoordinasikan dengan Bupati,” kata Suaidi sambil memonyongkan bibir dan berlalu kemudian masuk gedung.
Jawaban tersebut membuat demonstran marah, karena Suaidi terkesan menyederhanakan persoalan banjir yang terjadi akibat kerusakan multidimensi yang ditimbulkan aktivitas tambang nikel . Massa lantas meneriakinya, “Jenderal tidak berguna, tidak melakukan apa-apa untuk masyarakat Maluku (daerah asal dia).”
Tepat pada 4 Agustus 2024, Ali Fanser Marasabessy, Ketua Bravo 5 yang didirikan oleh Suaidi Marasabessy, dalam unggahan di akun Tik-Tok menyatakan tidak terima dengan tuduhan massa aksi terhadap Suaidi Marasabessy. Secara spesifik, Ali meminta Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis, dua mahasiswa yang ikut orasi, untuk “minta maaf dalam 2 kali 24 jam.” Ali Marasabessy juga mengatakan “risiko” yang bakal terjadi jika kedua orang tersebut tidak melakukan apa yang dia mau.
Menurut Muhamad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM, ancaman dan intimidasi untuk mengkriminalisasi kedua mahasiswa Maluku di Jakarta tersebut merupakan upaya pembungkaman partisipasi publik pejuang lingkungan atau dikenal dengan SLAPP.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 66 UUPLH yang menyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Juga amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) terkait lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Tindakan mengancam dan mengintimidasi melalui media elektronik adalah dugaan tindak pidana sebagaimana ketentuan pasal 335 jo. 369 KUHP serta UU ITE dapat dipenjara paling lama 4 tahun dan denda Rp 750 juta,” kata Jamil
IWIP adalah sebuah komplek smelter nikel raksasa di Indonesia, wilayah tambang sekaligus pusat pemrosesan bijih nikel menjadi stainless steel dan baterai listrik. Sebelum aksi tersebut, JATAM merilis sebuah laporan berjudul “Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP Sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi.
JATAM menggarisbawahi kerentanan Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan terhadap bencana hidrometeorologi, yang menjadi semakin berat akibat aktivitas tambang nikel. Selain itu, terdapat perampasan ruang pangan, ruang penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, perampasan hak atas air dan udara yang bersih dan sehat, serta perampasan atas ruang hidup yang sehat, bersih, aman, dan layak bagi warga Halmahera.
Kondisi ini merupakan bentuk kekerasan dan penindasan gaya baru terhadap penduduk Halmahera yang dipaksa hidup berdampingan dengan bencana akibat kerusakan ekologinya.
Mereka juga dipaksa bertahan hidup di dalam ruang yang sesak oleh berbagai pencemaran. Jika kondisi ini terus dipertahankan, kerusakan ekologi akan berujung pada semakin tingginya angka kemiskinan dan memperlebar jurang kedalaman kemiskinan.
Selain kekerasan berdimensi ekologi, aktivitas tambang menghadirkan berbagai kekerasan fisik dan psikis bagi masyarakat Halmahera dan pekerja tambang.
Laporan itu mengungkapkan berbagai ancaman, intimidasi, hingga kekerasan yang dilakukan preman, polisi, dan aparat pemerintah desa untuk mendukung perampasan lahan dari masyarakat Halmahera, atas nama perusahaan.
Kekerasan laten juga diterima pekerja tambang dengan mengabaikan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sedikitnya 26 pekerja tewas selama IWIP dan PT Weda Bay Nickel beroperasi sejak 2018.
Juru Kampanye Trend Asia Arko D. Tarigan menyatakan, ada dugaan kuat atas keterlibatan bisnis Jenderal (purn) Suaidi Marasabessy dan Menko Luhut Binsar Panjaitan di IWIP. Ia mempertanyakan keberadaan Suaidi yang terkesan ‘pasang badan’ dan bertindak sebagai mediator antara massa aksi dengan IWIP.
“Keberadaan kantor IWIP yang berada di Sopo Del Tower, gedung milik Luhut, menunjukkan ada konflik kepentingan antara Luhut sebagai pengusaha dan pejabat yang mendapatkan keuntungan dari IWIP. Dugaan ini semakin kuat dengan keterlibatan Suaidi dalam perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut,” ujar Arko.
Koalisi Masyarakat Sipil menuntut pemerintah pusat dan daerah, serta perusahaan tambang nikel harus segera bertanggung jawab atas bencana banjir yang terjadi dan potensi bencana yang akan datang di kemudian hari.
Pemerintah seharusnya tidak hanya sebatas bertanggung jawab dengan memberikan bantuan sosial atas kerugian yang diderita warga akibat bencana banjir, tetapi menghentikan segala kegiatan ekstraksi yang telah menjadi sumber bencana dan menghancurkan ruang hidup dan sumber penghidupan warga Maluku Utara, salah satunya di Halmahera. (TIM)
Discussion about this post