Kriminalisasi Aktivis dan Operasi Militer di Papua: Kekerasan Terus Berulang

16/05/2025
Empat anggota Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) Ditangkap oleh Kepolisian Resor Sorong Kota, April 2025 lalu. Foto: Akun Facebook @Aliansi Mahasiswa Papua-AMP.

titastory, Sorong dan Intan Jaya – Empat aktivis politik dari Negara Federasi Republik Papua Barat (NRFPB) ditangkap oleh Kepolisian Resor Kota Sorong pada 28 April 2025. Mereka dituduh melakukan makar setelah membagikan surat ajakan dialog damai kepada sejumlah kantor pemerintahan di Papua Barat Daya. Penangkapan ini memicu protes dari berbagai pihak yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menyatakan bahwa penahanan keempat aktivis tersebut melanggar hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat secara damai.

“Polsek Sorong menahan dan mengkriminalisasi 4 aktivis adalah melanggar hak konstitusional,” tulis AMP dalam pernyataan resminya.

Empat anggota Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) Ditangkap oleh Kepolisian Resor Sorong Kota, April 2025 lalu. Foto: Akun Facebook @Aliansi Mahasiswa Papua-AMP.

 

Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua, menegaskan bahwa penggunaan pasal makar terhadap aktivis politik Papua merupakan penyalahgunaan wewenang. Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memperingatkan aparat penegak hukum untuk tidak menyalahgunakan pasal tersebut terhadap aktivitas politik yang damai. Gobay juga menyoroti bahwa hingga kini, pemerintah belum membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

Sementara itu, pada 13 Mei 2025, terjadi operasi militer di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. TNI melaporkan bahwa 18 anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) tewas dalam operasi tersebut. Operasi yang dilakukan oleh Komando Operasi Habema ini menyasar sejumlah kampung, termasuk Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba.

Namun, laporan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyebutkan bahwa operasi militer tersebut juga menyebabkan korban di kalangan sipil. Seorang anak berusia tujuh tahun dan seorang perempuan dewasa mengalami luka-luka akibat terkena serpihan peluru. Selain itu, tiga warga sipil dilaporkan tewas, dan ratusan lainnya mengungsi ke hutan untuk menghindari konflik.

PGI mendesak pemerintah dan aparat keamanan untuk menghentikan kekerasan di Papua dan mengedepankan dialog damai sebagai solusi penyelesaian konflik. “Kontak senjata yang berdampak pada warga sipil telah melanggar hak asasi manusia,” ujar Sekretaris Umum PGI, Darwin Darmawan.

Situasi di Papua menunjukkan bahwa pendekatan keamanan yang mengedepankan kekerasan hanya memperburuk kondisi dan menambah penderitaan warga sipil. Diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk menghormati hak asasi manusia dan membuka ruang dialog yang inklusif guna mencapai perdamaian yang berkelanjutan di Papua.

error: Content is protected !!