titastory, Halmahera Timur – Upaya warga adat di Kecamatan Maba dan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, mempertahankan wilayah adatnya dari perampasan oleh perusahaan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS), kini berujung pada kriminalisasi. Pada 10 Mei 2025, sebanyak 14 warga dari Desa Yawanli, Babasaram, Beringin Lamo, dan Wayamli menerima surat panggilan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Maluku Utara. Surat tersebut merupakan panggilan klarifikasi atas laporan External Officer PT STS, Kukuh Kurniawan Hermanto.
Dalam laporan itu, warga dituduh membawa senjata tajam, melakukan penghasutan, perampasan, serta perbuatan tidak menyenangkan saat aksi pada 21 April 2025. Tiga hari setelah aksi tersebut, Polda Maluku Utara langsung menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/73.a/IV/2025/Ditreskrimum.
Padahal, aksi warga pada 21 April merupakan bentuk protes terhadap aktivitas tambang yang telah menyerobot lebih dari 25 hektare lahan adat Wayamli tanpa persetujuan masyarakat adat. Aksi blokade dilakukan sebagai bentuk pembelaan terhadap hutan, kebun kelapa, dan sumber air bersih yang telah dirusak oleh PT STS. Analisis citra satelit menunjukkan deforestasi akibat operasi tambang mencapai 482,86 hektare, termasuk kerusakan pada aliran sungai dan area produksi pangan warga.
Ketua Salawaku Institute yang juga warga Halmahera Timur, M. Said Marsaoly, menegaskan bahwa peristiwa ini bukan sekadar konflik antara masyarakat dan korporasi, tetapi cermin dari sikap negara yang abai terhadap hak-hak masyarakat adat.
“Yang kami lawan adalah perampasan tanah dan kehancuran ekosistem. Tapi justru kami yang dikriminalisasi. Ini jelas bentuk kegagalan negara dalam melindungi masyarakat adat,” tegas Said.
Represif dan Brutal: Polisi Sebagai Centeng Perusahaan
Pada hari yang sama, 21 April 2025, saat 13 warga naik ke lokasi tambang untuk memverifikasi laporan bahwa PT STS kembali beroperasi di hutan adat, mereka justru dibubarkan paksa oleh polisi. Beberapa warga bahkan diborgol sebelum dipulangkan. Bukan melindungi, aparat justru bertindak represif terhadap warga yang memperjuangkan hak atas ruang hidupnya.
Puncak represi terjadi pada 28 April 2025, ketika sekitar 300 warga Maba Tengah melakukan protes di kantor perwakilan PT STS di Desa Baburino. Tanpa peringatan, polisi dan puluhan anggota Brimob membubarkan aksi damai itu dengan tembakan gas air mata. Tiga warga mengalami luka-luka dan puluhan lainnya mengalami trauma, termasuk anak-anak dan ibu-ibu yang ikut dalam aksi.

Keesokan harinya, 29 April 2025, 20 warga kembali dipanggil oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku Utara. Situasi ini menambah tekanan psikologis warga dan menegaskan pola kriminalisasi sistematis terhadap gerakan rakyat.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, Julfikar Sangaji, menilai aparat bertindak seperti alat perusahaan, bukan pelindung rakyat.
“Kami mencatat bahwa aparat justru berperan aktif membungkam warga yang menolak tambang. Ini bukan sekadar konflik sosial, tapi bentuk kekerasan struktural yang dilegalkan oleh negara melalui pembiaran dan dukungan terhadap korporasi perusak lingkungan,” ungkap Julfikar.

Negara Korporat: Kepentingan Ekstraktif Diatas Keadilan
Kondisi ini memperlihatkan wajah negara yang semakin berpihak pada korporasi ekstraktif. Keberpihakan aparat, pembiaran oleh pemerintah daerah maupun pusat, serta tidak adanya tindakan tegas terhadap perusakan lingkungan oleh PT STS menegaskan bahwa negara lebih memilih menjaga kepentingan bisnis ketimbang keselamatan warganya.
Edy Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut bahwa kriminalisasi ini merupakan bentuk pelanggaran HAM yang serius.
“Kriminalisasi terhadap warga adat Wayamli adalah pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang bersih dan hak atas tanah adat. Ini bukan hanya persoalan hukum pidana, tapi juga pelanggaran terhadap konstitusi dan hukum internasional yang mengakui hak masyarakat adat,” ujar Edy.

Tuntutan Masyarakat Sipil:
- Mabes Polri agar segera menghentikan seluruh proses kriminalisasi terhadap 14 warga Maba Tengah dan warga lainnya yang menolak tambang.
- Mabes Polri agar menyelidiki dugaan kolusi antara aparat kepolisian dengan pihak PT STS.
- Mabes Polri agar memproses hukum dugaan tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT STS.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mengevaluasi dan mencabut izin lingkungan PT STS, terutama terkait kerusakan wilayah adat dan kawasan hutan.
- Kementerian Kelautan dan Perikanan/Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut agar tidak menerbitkan KKPRL untuk jetty PT STS di Memeli karena bertentangan dengan RTRW Halmahera Timur dan prinsip keadilan ekologis.
- Kementerian ESDM agar menghentikan seluruh operasi PT STS dan melakukan audit menyeluruh atas legalitas konsesi tambangnya.