TitaStory, Maluku Utara – Pegiat Lingkungan Hidup di Maluku Utara, Masri Anwar meminta Bursa Efek Indonesia (BEI) agar tidak menutup mata terhadap kerusakan lingkungan, masyarakat adat yang kian terjepit dan ancaman nyata terhadap pulau kecil di Maluku Utara, yang dipicu pertambangan nikel. Di satu sisi investor tambang Nikel menari bebas di lantai bursa, sementara ada masyarakat yang hidupnya terancam.
“Saham tambang Nikel, terutama yang berasal dari Maluku Utara sebaiknya dihentikan perdagangannya. Terlalu mahal taruhannya untuk rakyat di sana. Di pulau kecil tidak boleh ada kegiatan pertambangan, karena tanpa tambang saja, pulau kecil sudah memiliki risiko yang tidak pernah dialami para pemburu kekayaan alam. Mereka tidak pernah tahu, kecuali mencari untung,” jelas Pegiat Lingkungan Hidup di Maluku Utara, Masri Anwar, Jumat (12/4/2023).
Dalam satu pekan terakhir ini, katanya, ada dua berita yang sangat kontras. Satu berita dimana berita IPO Trimegah Bangun Persada Tbk atau Harita Nikel sukses meraup modal triliunan dengan sekali goyang di bursa saham.
Pemegang perusahaan tentu hanya sekejap mata menumpuk harta kekayaan yang merupakan hasil eksploitasi lingkungan, masyarakat adat dan pulau kecil. “Sangat memalukan dan penuh ketamakan. Membiarkan rakyat adat terdesak oleh hasrat menumpuk harta,” jelasnya.
Dalam laman resminya, Trimegah Bangun Persada (TBP) Tbk menjadi bagian dari Harita Group yang beroperasi di bidang pertambangan dan pengolahan / pemurnian bijih nikel dan mineral pengikutnya, berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Bahan Galian Nikel DMP (Dan Mineral Pengikut).
Seluruh aktivitas operasional berada di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. TBP telah mulai melakukan operasional tambang nikel sejak tahun 2010, hingga kemudian bertransformasi cepat dalam mengoperasikan fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel untuk mendukung amanat pemerintah, yaitu melalui hadirnya 2 smelter yang mengolah nikel saprolit dan 1 refinery yang mengolah nikel limonit.
Diare Renggut Nyawa di Lokasi Tambang
Ketika para pengusaha berpesta dengan dana dari IPO, di satu sisi muncul berita yang dilansir media milik pemerintah, Antara, dimana Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan di Provinsi Maluku Utara sejak Januari hingga awal Maret 2023 mencatat 520 kasus diare dan beberapa di antaranya menyebabkan kematian.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan Asia Hasyim, kasus penyakit diare kebanyakan dilaporkan terjadi di Pulau Obi, yang merupakan daerah pertambangan.
“Pulau Obi dengan kasus pertama dan kasus tertinggi di Kabupaten Halmahera Selatan, bahkan tiga orang dilaporkan meninggal dunia (di sana),” katanya kepada Antara di Labuha, ibu kota Kabupaten Halmahera Selatan, Jumat lalu.
Menurut laporan petugas kesehatan, ia mengatakan, penyakit diare menyerang anak berusia di bawah lima tahun hingga orang dewasa.
Asia mengatakan bahwa kasus penyakit diare di Pulau Obi tidak lepas dari masalah persediaan air bersih di daerah pertambangan tersebut.
Oleh karena itu, ia melanjutkan, Dinas Kesehatan bekerja sama dengan perusahaan dan pemerintah desa mengupayakan persediaan air warga bebas dari cemaran bakteri dan kuman penyebab penyakit dengan membagikan Kaporit untuk disinfeksi air guna mencegah peningkatan kasus diare.
“Situasi kontras ini yang seharusnya Negara, pemerintah tidak memfasilitasi eksploitasi terhadap rakyatnya sendiri. Sangat memalukan, karena pejabat pemerintah mendorong perusahaan untuk sekadar membagikan CSR. Pikiran jahat ini tidak keluar dari pejabat Negara kepada rakyatnya. Kecuali pejabat yang berkelakuan sebagai pengusaha atau pengusaha berkuasa seperti pemerintah. Mau apa kalau begini? Pengusaha jadi pemerintah, pemerintah mewakili pengusaha. Lantas siapa yang mengawal kepentingan rakyat seperti di Maluku Utara,” kata Masri yang juga akademisi Universitas Muhammadyah Ternate Maluku Utara ini.
Apa yang terjadi di Maluku Utara menunjukkan pengkhianatan nyata terhadap pasal 33 UUD 1945. Sebab, bagaimana menjelaskan, kekayaan alam yang semestinya dikuasai Negara tetapi diberikan kepada sekelompok pengusaha untuk berjualan di bursa efek.
“Kalau begini, minta maaf, pengusaha memanfaatkan Negara untuk merebut hak atau kesejahteraan milik masyarakat. Enak saja, mereka mau kasih pemanis CSR, tambang di kampungmu dan ambil CSR karena itu Anda mau, jangan di kampung orang. Saya khawatir banyak antek pengusaha di Negara ini, kalau melihat apa yang terjadi ini,” tegasnya.
Dia menegaskan, pihaknya hanya meminta BEJ, pemerintah menghentikan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia. Sebab, membiarkan hal itu sama dengan tidak melindungi rakyat di Pulau Obi, misalnya. Kesejahteraan hanya milik konglomerat yang kian menumpuk kekayaan, sementara masyarakat hanya kebagian menanggung kematian, penyakit dan kerusakan lingkungan.
“Ini tidak boleh terjadi. Jangan main-main, kami dapat informasi, ada komponen masyarakat adat yang sudah mengajukan masalah tambang nikel ini ke PBB, bagian perlindungan masyarakat adat. Ini kan tidak percaya dengan apa dilakukan pengusaha dan pemerintah,” katanya.
Berikan Keadilan
Sementara itu, Tokoh Maluku, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina yang dihubungi terpisah di Jakarta, mengaku tidak mengetahui detail penyakit diare yang terjadi Pulau Obi, meski memang di sana ada usaha tambang nikel. “Sebaiknya, saya cek dulu, biar tidak salah bicara,” tegasnya.
Engelina mengatakan, dirinya sudah beberapa kali memberikan peringatan mengenai cara mengelola sumber daya alam, bukan hanya di Maluku Utara, tetapi juga di Maluku, yang memang sangat tidak adil bagi masyarakat setempat. Sementara, memang beban yang muncul ditanggung masyarakat. Semestinya, ada pengaturan yang jelas, untuk masyarakat adat, sehingga masyarakat ikut sejahtera dan siap ketika pengusaha angkat kaki pada saatnya.
“Kalau tidak hanya mewariskan masalah dan kemiskinan. Ini kan tidak bagus dalam mengelola Negara. Sederhana saja, masyarakat senang, investor senang, Negara pasti senang. Tapi, jangan dong, ada satu pihak yang dikorbankan karena kekayaan dikeruk sedemikian rupa. Terus masyarakat dapat apa? Ini yang tidak terjawab,” jelasnya.
Engelina mengatakan, kalau keadilan bagi masyarakat tidak ada, tentu masalah di lokasi pertambangan akan selalu muncul, karena masyarakat sebagai pemilik kekayaan alam yang ada di wilayah justru menjadi korban untuk kepentingan pihak lain. Masyarakat adat merupakan pemilik sah Tana di Maluku Urara, sehingga sangat wajar kalau menikmati berkat yang ada di tanahnya.
“Saya kira berikan keadilan, semua bisa ada solusi. Tapi, kalau ego dan kekuasaan yang digunakan, ya saya berani bilang sulit ada kepuasan di masyarakat,” tegas Engelina.
Dia mengingatkan, kawasan timur itu merupakan kawasan miskin di Indonesia, kemudian kekayaannya diambil dan diperdagangkan, sehingga yang menikmati hasil kekayaan alam itu ada di daerah lain atau mungkin diinvestasikan lagi ke Negara lain. “Saya mau ajak, lihat kawasan itu jangan sebagai objek semata karena kekayaan alamnya. Tetapi itu dibiarkan miskin hampir permanen. Masa, ada kekayaannya tetapi tidak ada hati untuk kawasan ini,” tuturnya.
Gelar Aksi di Bursa Efek
Sementara itu masyarakat Pulau Obi, Maluku Utara, bersama JATAM, Enter Nusantara dan Trend Asia menggelar aksi di kantor Bursa Efek Indonesia (BEI), tepat di hari pertama anak perusahaan Harita Grup, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) ke public.
Muh Jamil Kordinator Aksi yang berasal Jatamnas dalam orasinya mengatakan, aksi ini bertujuan menunjukan ke publik luas rekam jejak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan dari operasi Harita Group di Kawasan Kawasi, Pulau Obi, maluku Utara. Sekaligus menunjukan pada pialang saham NCKL adalah investasi yang berbahaya, merusak lingkungan dan mendukung perampasan ruang hidup warga Kawasi.
Dari Proses IPO, anak perusahaan Harita Group itu diproyeksikan akan mendapatkan peningkatan kekeyaan bersih, USD 1,1 miliar menjadi USD 4,6 miliar. Penambahan modal ini akan digunakan salah satunya untuk membangun smelter nikel mereka yang kedua di Pulau Obi, smelter berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL).
“Bursa Efek Indonesia (BEI) yang memfasilitasi agenda IPO PT Trimegah Bangun Persada Tbk (TBP) anak perusahaan Harita Group, ikut dan wajib bertanggungjawab atas potensi pembangkitan kerusakan sosial-ekologi serta ekonomi rakyat di Pulau Obi dan perairannya,” kata Muh Jamil.
Dalam aksi tersebut, Jatam juga membeberkan aktivitas perusahaan yang merusak sumber air bersih warga dan meracuni laut, dalam operasionalnya, PT Trimegah Bangun Persada, bersama PT Gane Sentosa Permai, PT Persada Lygend, PT Mega Surya Pertiwi, dan PT Halmahera Jaya Feronikel di Pulau Obi, seluruh perusahaan itu berada dibawah naungan Harita Group, juga telah memicu konflik sosial akibat intimidasi dan kekerasan berulang terhadap warga yang mempertahankan ruang-ruang hidupnya. PT Trimegah Bangun Persada bersama sejumlah perusahaan lain milik Harita Group tersebut juga melakukan pencaplokan lahan warga secara sepihak tanpa negosiasi.
Kini, warga Kawasi dipaksa pindah dari kampung mereka oleh pihak perusahaan dan Pemerintah setempat. Dengan dalih keamanan karena terlalu dekat dengan operasi perusahaan. Warga dipaksa relokasi ke lahan milik PT Trimegah Bangun Persada yang dibeli Ecovillage, sebuah lahan bekas rawa sagu yang berjarak 5 km ke selatan Kawasi. Relokasi ini mencerabut nilai budaya dan historis warga; menyingkirkan warga dari sumber kehidupan mereka seperti tanah, kebun, dan laut. (TS-01)
Discussion about this post